Monday, September 9, 2013

Diskriminasi Ganda pada Perempuan

Published on Riau Pos 18/8/2013, Copy link below to see
http://www.riaupos.co/1399-spesial-diskriminasi-ganda-pada-perempuan.html#.Ui58XH_TeNY

Telah seabad lebih perlawanan perempuan terhadap diskriminasi gender dilakukan. Namun belum sepenuhnya sistem patriarki yang menjadi inti penyakit ini terhilangkan seutuhnya. Gerakan yang dimulai dari Eropa apabila mengacu pada dunia akademik Barat bagaikan balita merangkak dalam perjuangannya. Pada mulanya hanya memberikan pandangan melalui tulisan ataupun karya seni yang dikenal dalam gelombang pertama. Kemudian berlanjut pada sesuatu hal bersifat nyata pada dekade 1960-an yang dikenal dalam gelombang kedua sehingga melahirkan para feminis intelektual. Sejauh ini gerakan ini telah mengakomodir posisi tawar perempuan dalam berbagai hal terutama adalah pengakuan persamaan dan ruang akses publik. Namun karena yang ada hanyalah representasi Barat, maka terlupakanlah nasib perempuan di dunia lain yang diskriminasinya tak bisa disamakan.

Diskriminasi yang terjadi di dunia ini bukan melulu hanya diskriminasi gender. Terdapat juga diskriminasi dunia ketiga apabila melihat oposisi biner Barat-Timur. Diskriminasi rasial antara kulit hitam dan kulit putih. Diskriminasi fisik oleh yang normal terhadap abnormal. Diskriminasi kelas sosial apakah itu soal kekayaan, jabatan, dan pekerjaan. Mungkin juga ada diskriminasi umur antara tua dan muda. Bagaimana jadinya dengan perempuan yang mengalami diskriminasi-diskriminasi di atas? Tentu saja mereka mengalami dua diskriminasi sekaligus. Perempuan timur mengalami diskrimanasi sebagai orang timur dan juga sebagai wanita. Kaum perempuan kulit hitam mengalami  diskriminasi rasial dan tentunya diskriminasi gender. Barangkali disinilah letak belum sempurnanya perjuangan feminisme karena mereka-mereka hanya menggunakan satu kacamata sehingga melupakan hal-hal yang nyata terjadi pada banyak perempuan. Malahan beberapa dekade ini feminisme malah sibuk memperjuangkan transgender yang notabenya bukanlah perempuan. Hal ini juga seakan-akan sekaligus meninggalkan cita-cita semula gerakan persamaan bagi semua jenis perempuan.

Tak dapat dipungkiri bahwa peran karya sastra dalam dunia perjuangan feminisme sangat menonjol. Sastra sebagai wadah penuangan pemikiran sangat ampuh untuk mengungkap kebobrokan sistem patriaki yang terpatri secara sistemis. Di luar dunia Barat sendiri ada Toni Morison yang secara gamblang menampilkan subordinasi wanita kulit hitam sampai dengan Arundhati Roy yang menelanjangi patriarki adat dan masyarakat India. Di Indonesia sendiri juga ada penulis perempuan yang menonjolkan keberanian dan keterbukaan macam Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Akan tetapi tak banyak penulis wanita Indonesia yang mengungkap masalah diskriminasi ganda yang sebenarnya banyak terjadi di Indonesia. Salah satu penulis wanita yang mencoba mengekplorasi diskriminasi ganda adalah Mona Sylviana dalam kumpulan cerpennya ‘’Wajah Terakhir’’.

Pada beberapa cerpen terdapat problematika diskriminasi ganda pada perempuan. Contohnya pada cerpen berjudul ‘’Pernikahan (Kisah Perempuan Nadin)’’. Dalam cerpen ini mengungkap mengenai masalah yang terjadi pada perempuan berkebutuhan khusus atau keterbelakangan mental. Tentu saja perlakuan yang ada padanya adalah diskriminasi. Hal yang terjadi adalah diskriminasi terhadapnya sebagai manusia berkebutuhan khusus dan sebagai wanita itu sendiri. Diskriminasi dilakukan oleh lingkungan eksternal dan internal lingkungannya. Dalam diskriminasi eksternal tentunya dia mengalami perlakuan dengan dianggap berbeda dari yang lain atau abnormal. Tokoh bernama Nadin mendapat perlakuan berbeda seperti basa-basi palsu orang lain terhadapnya. Nadin hanya memiliki satu teman yakni Sasha, namun Nadin merasa kehilangan ketika temannya ini akan menikah. Seakan-akan dia takkan memiliki teman sekaligus juga menyadari bahwa pernikahan takkan mungkin dialaminya karena mungkin tak ada yang mau dengannya. Di lingkungan internal sendiri perlakuan diskriminatif diberikan oleh Ibunya sendiri yang sering membentaknya seakan-akan tak puas dengan anak yang dimilikinya. Aksespun tidak diberikan padanya karena apabila keluar rumah akan selalu dimarahi.

Pada cerpen ‘’Ningsih’’, Mona mencoba memperlihatkan diskriminasi yang terjadi pada buruh perempuan. Buruh merupakan salah satu kelas sosial yang juga sering mengalami diskriminasi karena dianggap merupakan kelas rendah. Buruh mendapatkan diskriminasi dari internal pabrik atau perusahaan yang juga berimbas pada pandangan masyarakat. Penilaian ini menimbulkan penyepelean dan diskriminasi, apalagi bila buruh itu perempuan. Ningsih yang merupakan tokoh ini mendapatkan dua diskriminasi sekaligus sebagai buruh dan perempuan dalam pandangan masyarakat. Cerpen ini memberikan selingan pandangan mengenai perkosaan yang terjadi pada buruh perempuan. Masyarakat yang patriarki masih menyalahkan buruh perempuan yang diperkosa. Hal ini dikarenakan aktifitas buruh yang pulang malam sehingga mencoba memindahkan kesalahan pada buruh yang diperkosa. Jelas saja pandangan ini masih memuat unsur patriarki yang masih melihat perempuan sebagai barang ‘domestik’. Selain itu unsur persamaan juga tidak ada karena tentunya baik laki-laki ataupun perempuan berhak melakukan aktivitasnya pada waktu apapun.

Selanjutnya, perkara diskriminasi ganda juga bisa terlihat pada perempuan miskin kota. Dalam cerpen berjudul ‘’Kereta Api Malam’’ hal tersebut bisa dilihat. Masyarakat miskin kota juga merupakan suatu fenomena kelas sosial. Kehidupan kota yang keras mengharuskan segala daya apapun demi untuk bertahan hidup. Dalam cerpen ini terdapat seorang perempuan paruh baya yang bersuamikan laki-laki yang tinggi tingkat kerusakannya, penjudi, pemabuk, dan pezina. Sebagai perempuan yang memiliki suami seperti itu sungguhlah suatu penderitaan yang sangat. Sebagai wanita dan orang miskin tentunya wanita ini rentan terhadap segala diskriminasi. Mulai dari rumah tangganya sendiri sebagai perempuan dia mengalami perlakuan yang sangat patriarki dan sebagai orang miskin dia tak memiliki daya apapun melawan suaminya. Dalam pandangan masyarakatpun dia dianggap rendah seperti pada setting dalam perjalanan kereta. Wanita ini memakai baju yang lusuh dan kumal sehingga membuat orang lain jijik dan bagi yang ingin menuangkan nafsu gratis, diapun menjadi sasaran.

Diskriminasi ganda juga bisa menghinggapi perempuan yang tua secara usia menikah. Tentu saja bayang-bayang sebagai perawan ting-ting akan selalu mendera. Perasaan ini membuat rasa minder pada yang mengalaminya. Hal ini bisa terlihat pada cerpen ‘’Suara Tua’’. Cerita mengenai seorang perempuan yang ingin mengutarakan isi hatinya pada pria yang berada 20 tahun dibawahnya. Dengan status sebagai gadis tua ini, si tokoh mengalami diskriminasi dari masyarakat baik sebagai perempuan maupun sebagai orang berumur. Perempuan seperti ini sering sekali dilecehkan dan digunjingi, sedikit lebih menderita daripada laki-laki yang berumur belum menikah. Bagi perempeuan, terlambat menikah akan dicap takkan laku lagi dan malajanglah sampai tua. Akibat diskriminasi ini tokoh yang ada dalam cerita ini makin mengkerdilkan diri dari lingkungan. Ini terlihat dalam perbincangan yang banyak tidak bisa dimasukinya karena tak mengalami dan merasakan sehingga sering menjadi pendengar.

Cerpen lainnya yang memperlihatkan penderitaan perempuan yang mengalami diskriminasi ganda adalah ‘’Mata yang Menyala’’. Kali ini diskriminasi terjadi pada seorang perempuan dengan bentuk tubuh yang tidak seperti kebanyakan yakni gendut. Apa yang dialaminya adalah beban dan diskriminasi ganda sebagai seorang perempuan dan seorang yang gemuk. Meskipun telah ada emansipasi wanita, ternyata wanita masih menjadi objek definisi bagi dominasi laki-laki. Dalam hal ini definisi kecantikan masih didefinisikan oleh pria. Ini terlihat dari lingkungan yang dihadapinya dimana sebagai perempuan gendut dia tak mendapat perhatian seperti perempuan lainnya. Malahan di cerita ini dia mendapat perlakuan asusila dari seorang tukang ojek. Perlakuan yang tentu saja hanyalah pelampiasan nafsu bagi lelaki dan ditambah lagi yang melakukannya adalah lelaki tua dan kumal.

Strata sosial seringkali menjadi acuan tinggi rendahnya martabat seseorang. Apabila stratanya tinggi baik oleh kekayaan ataupun jabatan, pihak tersebut akan dihargai tinggi pula. Namun apabila strata sosialnya rendah, pihak tersebut akan menjad objek ekploitasi dan diskriminasi. Apa jadinya strata seseorang dengan label pelacur? Tentu saja ini akan jadi hal yang memalukan tapi harus ditanggung oleh si empunya. Dalam cerpen ‘’Mata Marza’’, Mona Sylviana Cuma mengulas hal ini. Cerpen ini menceritakan Marza yang dalam perjalanannya menuju WC dengan spilis yang menyakitinya dalam sebuah pameran lukisan bertema ‘pelacur’. Sebagai perempuan dan pelacur tentunya tak ada yang menginginkan hal ini. Pelacur mestinya mesti jadi perhatian gerakan penguatan perempuan. Hal ini dikarenakan pelacur mengalami penderitaan secara organ tubuh dan juga stigma sosial. Dalam cerita ini Marza merupakan representasi pelacur yang sering menjadi objek tapi seakan-akan dibiarkan untuk menderita. Satu lagi diskriminasi ganda terhadap perempuan dan strata sosialnya.

Kemudian diskriminasi ganda juga dilakukan dengan berbasis perbedaan etnis. Dalam cerpen ‘’Wajah Terakhir’’ ditampilkan fenomena pemerkosaan yang diderita oleh perempuan beretnis Cina. Etnis Cina adalah sebuah etnis minoritas di Indonesia yang sebagian besar bahkan telah hidup lama di Indonesia. Namun sebagai minoritas seringkali etnis ini menjadi sasaran kemarahan dalam konteks tertentu. Dalam cerpen ini diperlihatkan memorial seorang perempuan Cina pada masa kerusuhan 1998 di Jakarta. Sebagai seorang Cina dan perempuan, perlakuan yang dialaminya menjadi berlapis. Dalam alurnya diperlihatkan bagaimana kelompok Cina perempuan tak hanya menjadi sasaran amuk masa, namun juga perkosaan. Hal ini dikarenakan tentunya karena dia adalah perempuan. Berbeda dengan laki-laki yang hanya menjadi sasaran kekerasan. Sedangkan perempuan mengalami perkosaan dan berujung dengan kematian. Akan tetapi apabila perempuan itu tidak matipun, beban perkosaan ini tentu akan selalu membekas selama masa hidupnya.
    
Itulah beberapa diskriminasi ganda yang terekam dalam kumpulan cerpen Mona Sylviana. Sesungguhnya masih banyak lagi diskriminasi ganda pada perempuan yang bisa diekplorasi di Indonesia yang penuh keragaman masalah ini.***     


Bayu Agustari Adha
Penulis Esai ini adalah alumni Sastra Inggris UNP.  

Sumber gambar http://www.belbuk.com/wajah-terakhir-kumpulan-cerita-p-22530.html

Sunday, July 14, 2013

Destrukturisasi Lokalitas (Dari Cerpen Zelfeni Wimra)


Published on Padang Ekspress 30/06/2013
  
Perkara lokalitas telah menjadi bahan tersendiri terutama oleh penulis yang mempunyai akar lokal atau yang memang berada di lingkungan lokalitas bernaung. Akan tetapi ada satu hal yang dominan dalam menuangkan lokalitas ini yaitu lokalitas yang semakin terhimpit oleh pengaruh global. Seperti yang telah dikemukakan Katrin Bandel dalam tulisannya “Etnisitas dan Kota”. Karya yang menyajikan etnisitas umumnya berbicara mengenai dampak yang terjadi oleh kota terhadap etnis, sedangkan yang berbicara Kota tak sedikitpun menyinggung lokalitas. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa Globalitas dari kota bersifat agresif, ekspansif, dan destruktif terhadap lokalitas yang seperti bernasib selalu tertindas tanpa perlawanan.
Kehancuran lokalitas ini dilakukan secara sistmatis dengan ditopang oleh wacana-wacana advanced (kemajuan) dan prospered (kesejahteraan). Akan tetapi ekpansi ini tidak melihat adanya penghapusan, penghilangan, dan penghancuran sejarah lokalitas itu sendiri baik yang bersifat fisik ataupun nonfisik. Kenyataan ini melahirkan berbagai karya fiksi yang mengungkapkan betapa kejamnya kemajuan dan kesejahteraan itu sendiri sehingga tak bisa lagi dikembalikan seperti semula. Salah satu penulis yang menghadirkan isu-isu ini adalah Zelfeni Wimra dalam kumpulan Cerpen “Yang Menunggu dengan Payung” yang umumnya berlatar tempat dan budaya Minangkabau. Dalam 17 cerpen di dalamnya memang membicarakan perkara penantian dan kesetiaan seperti yang tertulis di sampul belakang buku. Namun apabila dilihat lebih lagi, banyak diantara karyanya memuat perkara kehancuran lokalitas oleh pengaruh globalitas. Pelaku dan hal yang mendorong penghancuran disini direpresentasikan oleh pemerintah melalui tindakan langsung ataupun kebijakan, gaya hidup, dan penduduk etnis itu sendiri yang terpengaruh rayuan globalitas.
Penghancuran lokalitas yang dilakukan pemerintah atas nama negara terjadi pada dua cerpen berjudul “Tabung Cahaya” dan “Puisi Malam Penghabisan”. Keduanya menampilkan kehancuran lokalitas langsung secara fisik dan berlanjut pada hal-hal nonfisik. Detailnya cerita ini mengisahkan pembangunan PLTA Koto Panjang di perbatasan Riau Sumbar dengan membuat Bendungan menahan aliran Sungai Kampar Kanan. Pembuatan ini menggelamkan ribuan rumah, ribuan km jalan, kebun, ladang dan fasilitas lainnya di sekitar tepian sungai. “Tabung Cahaya” bersetting setelah bendungan dibangun sekaligus dengan narasi kenangan sebelum terjadi pembangunan. Tokoh sentral adalah seorang pemuda yang harus menyelam untuk menziarahi makam Ibunya. Sedangkan “Puisi Malam Penghabisan” bersetting saat-saat akan dibangunnya PLTA dengan keinginan seorang Ibu yang ingin dimakamkan di tanah yang akan ditenggelamkan. Perbedaan keduanya juga terlihat dari cara narasi dimana “Tabung Cahaya” lebih bercerita datar apa adanya dan “Puisi Malam Penghabisan” berbentuk Prosa lirik dengan kalimat-kalimat emosional dengan ritme semakin dan semakin meningkat.
Wacana yang dikeluarkan dalam rangka penghancuran lokalitas ini adalah wacana pembangunan. Senjata yang ampuh untuk meluluhkan hati penduduk dengan tujuan demi kemajuan masyarakat. Padahal jika dilihat, daya yang didapat oleh PLTA ini tidak sesuai harapan dan telah menjadi sampel salah satu proyek gagal dengan mengorbankan segala hal yang tak ternilai. Mulai dari ganti rugi yang tak sesuai, relokasi yang tak sebanding dengan tempat asal, sampai pada pengerahan aparat untuk memaksa penduduk direlokasi. Kehilangan tak hanya tanah, tapi juga kenangan dan sejarah itu sendiri sehingga menjadikankan manusia-manusia tanpa sejarah. Belum lagi efek masa kini dimana terdapat daerah yang rutin terkena banjir akibat terhambatnya aliran sungai. Metode penghancuran ini jelas sekali akibat dari kerakusan pemerintah yang tergiur oleh gelontoran dana dari Jepang. Dengan hancurnya lokalitas ini, maka dengan sendirinya telah terjadi pemutusan rantai sejarah dari daerah terkena dampak.
Destrukturisasi Lokalitas juga dlakukan oleh Pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya. Hal ini terlihat pada cerpen “Sunat” dan “Nasi Dingin”. Disini terlihat bagaimana sebuah kebijakan pemerintah berdampak pada putusnya suatu budaya, kebiasaan, bahkan pola hidup. Dalam cerpen “Sunat”, dimuat budaya sunat yang dilakukan secara adat oleh budaya setempat. Pemerintah melalui kebijakannya menghancurkan nilai lokal dengan menyatakan budaya sunat tradisional dianggap berbahaya. Padahal kegiatan ini dilakukan untuk membuat perempuan menjadi baik-baik dan tidak gatal, serta bisa bermental mandiri dan tidak cengeng, serta baik-baik menjaga kewanitaannya. Pemerintah melegitimasikan sunat terhadap perempuan hanya dilakukan sekali saja pada saat melahirkan oleh Bidan. Secara tidak langsung pemerintah juga menghancurkan eksistensi dukun dan menggunakan tiraninya untuk mengarahkan pada institusi kesehatan yang dianggap ilmiah seperti Dokter dan Bidan.
Sementara itu dalam cerpen “Nasi Dingin”, pemerintah melalui kebijakannya menghancurkan rantai kebiasaan representasi masyarakat lokal. Kebijakan pemerintah itu adalah pemusnahan unggas yang ada dalam masyarakat seiring menyebarnya virus flu burung. Pemerintah dan perangkatnya memaksakan pembunuhan massal unggas meskipun belum tau apakah unggas itu terjangkit atau tidak. Rantai budaya yang dihancurkan dalam cerpen ini adalah tidak adanya lagi yang memakan nasi dingin setelah hewan ternaknya dipaksa oleh pemerintah untuk dimusnahkan. Meskipun terlihat sepele, kegiatan ini dapat memutus rantai kehidupan yang sebelumnya dilaksanakan secara rutin. Nasi dingin yang biasanya dimakan ternak, kini menjadi terbuang, membuat Ibu Rumah Tangga menjadi bingung. Keluarganya tak mau makan nasi dingin, namun apabila dialihkan pada hal lan seperti membuat kerak nasi, zaman sekarang tak banyak yang suka memakannya.
Destrukturisasi lokalitas lainnya yang tergambar dikumpulan cerpen Zelfeni Wimra tak hanya berasal dari pemerintah, namun juga zaman itu sendiri. Hal ini bisa terjadi oleh perkembangan teknologi dan peningkatan gaya hidup modern. Melalui perkembangan teknologi, siklus kehidupan yang dulu dijalani bisa saja hilang. Hal ini tergambar dalam cerpen “Suara Serak di Seberang Radio”. Budaya berkirim surat dalam program radio sempat menjadi kebiasaan yang menggejala dalam kehidupan hiburan masyarakat. Namun setelah berkembangnya teknologi komunikasi, budaya ini perlahan-lahan hilang. Surat ini telah digantikan teknologi telepon seluler yang secara teknis sangat mudah dan praktis. Namun yang hilang adalah romantika dan proses yang ada dalam dunia surat menyurat. Di cerpen ini seorang pemuda kampung rutin mendengar radio dan pada saat tertentu mengirim surat melalui pos dengan proses perjalanan yang cukup panjang. Namun sejak adanya HP, program yang biasa didengarkannya tidak ada dan surat-surat yang telah dikirimnya hanya menjadi tumpukan oleh sang penyiar yang akhirnya dibuang oleh sang suami penyiar. Disini terlihat betapa kejamnya teknologi membunuh proses romantika yang dinikmati seseorang.
Gaya hidup metropilitan, modern, globalisasi terus merangsek menjalar ke seluruh daerah. Gaya hidup ini sendiri terlihat dalam simbol-simbol yang disuguhkan pada mata kita. Misalnya adalah pusat pebelanjaan, Mall, Plaza, yang seakan-akan menjadi syarat untuk setiap daerah agar dapat dikatakan bergaya hidup metropolis dan modern. Karena kuatnya hasrat untuk gaya hidup ini, maka harus dikorbankanlah suatu kenangan lokal seperti terminal Ibukota Provinsi di Kota Padang yang telah berubah menjadi pusat perbelanjaan modern. Dalam cerpen “Layang-Layang Bulan”, terkesibat dua orang yang berusaha mengenang lagi terminal yang pada masa kecilnya menjadi tempatnya tumbuh dan bermain. Namun sekarang, sejarah kecilnya itu telah menjadi angkuh berdiri dengan bangunannya dan orang-orang di dalamnya. Mall yang tega menindih terminal itu secara tidak langsung telah menghilangkan sejarah. Romantika yang ada saat para perantau berangkat pergi, suara-suara agen, dan anak-anak yang menghabiskan masa kecil di terminal karena dibawa oleh orang tua pencari nafkah di terminal tak bisa dipanggil lagi oleh kokhnya simbol modernitas ini.
Penghancuran lokalitas ini rupanya tak hanya dilakukan oleh pihak yang berada di luar lokalitas itu sendiri. Tetapi juga bisa berasal dari pihak internal yakni masyarakat atau penduduk lokal itu sendiri. Lebih ringkasnya ini dilakukan dalam tahap eksekusi meskipun dorongan datangnya juga dari globalitas sentral itu sendiri. Dalam kumpulan cerpen ini dapat dilihat dalam cerita “Di atas Dipan Penantian” dan “Bini Perantau”. Keduanya sama-sama mengungkapkan rintihan orang yang ditinggalkan. Cerpen pertama mengenai seseorang yang menunggu kematian dalam kesunyian dimana di kampungnya tak ada lagi penduduk. Sedangkan yang kedua mengenai suasana keluarga yang ditimpa banjir tanpa adanya sang pemimpin keluarga, karena pergi merantau. Kegiatan merantau disini lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya.
Mungkin kurang bijak rasanya apabila kegiatan me\rantau ini dikatakan sebagai penghancuran lokalitas, apalagi jika dilihat adanya budaya merantau Minangkabau. Namun disini penulis mencoba mengambil dari sisi lain. Bisa saja ada kesalahan dari esensi pergi merantau itu sendiri. Dulu lebih banyak kegiatan meranta ini adalah untuk bertualang, mencari ilmu, atau bahkan penyebaran ajaran. Jika kita lihat di cerpen “Di atas Dipan Penantian”, kepergian orang-orang kampung hanyalah alasan materi semata karena tidak puas dengan negeri dataran tinggi yang hanya bisa bersawah dan berladang. Trend globalitas sekarang tak lagi mencari daerah subur, tapi daerah yg memiliki kandungan barang tambang. Akibat hal inilah penduduk kampung berbondong-bondong pergi dan hanya meninggalkan satu keluarga yang menunggu mati. Dalam cerpen “Bini Perantau”, seorang suami juga pergi karena alasan materi sehingga membuatnya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya mencari dimana rupiah bisa dikeruk.
Jelaslah disini kehancuran lokalitas menjadi tema yang bisa diekplorasi dalam sastra Indonesia kontemporer sekarang ini. Globalitas tak menyadari apa yang telah dikokohkannya menimbulkan suatu efek bagi lokalitas sehingga terjadi destrukturisasi secara sistematis, memutuskan dan menghilangkan rantai sejarah.
        Bayu Agustari Adha
Penulis Esai
Alumni Sastra Inggris UNP

sumber gambar http://www.bukabuku.com/browse/bookdetail/2010000086636/yang-menunggu-dengan-payung.html

Sunday, June 9, 2013

Masih Halalkah Darah Salman Rusdhie?




Published on Riau Pos 09/06/2013, click link below to see
 http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=1262&kat=2#.UbVGUNjhPMw

Kurang lebih seperempat abad yang lalu, pemimpin tertinggi spritual Iran Ayatollah Khomeini mengeluarkan fatwa mati terhadap Shalman Rusdhie. Sastrawan Inggris kelahiran India ini dikecam karena novel ‘’Satanic Verses’’-nya yang dianggap menghina umat Islam. Akibat fatwa ini, terjadi suatu gejolak berupa kericuhan.

Pihak Barat yang menyaksikan tidak bisa memahami kenapa umat Islam begitu marah oleh karena hanya suatu ekspresi Seni Sastra. Hal ini makin menyudutkan Islam karena media Baratpun hanya menyorot kekacauan yang ada. Tak ada berita tandingan seperti pertemuan Ulama 45 negara Muslim di Kairo yang tidak sepakat dengan fatwa mati ini kecuali Iran sendiri. Selain itu Orientalis, Edward Said, yang pembenci dominasi barat dan pembela Palestina juga tidak mendukung fatwa ini. Beliau mengatakan tidak semua yang mengutuk novel ini benar-benar membaca novel ini. Berarti jelas Said menekankan untuk pembacaan sastra yang komprehensif.

Akibat kehebohan fenomena ini terciptalah wacana yang mengambang dan penuh keragu-raguan. Shalman Rusdhie tak kunjung mati dan fatwa juga tak kunjung dicabut, malahan jumlah uang bagi yang bisa membunuh Shalman semakin meningkat. Itu terjadi apabila isu-isu lain yang mempunyai kemiripan dengan kasus Shalman mencuat ke permuakaan. Seperti karikatur Nabi Muhammad ataupun yang baru-baru ini terjadi, film amatir ‘’The Innocence of Moslem’’. Iklim politikpun di sini terlihat kental hanya antara Iran dan Inggris. Peristiwa diberikannya gelar kehormatan Knight kepada Shalman Rusdhie oleh Ratu Elizabeth II atas dedikasinya di bidang Sastra menyulut kemarahan Iran. Tak tanggung-tanggung hubungan diplomatikpun langsung diputus dan Dubes Inggris di Iran diusir. Menjadi semakin rumit untuk mengambil sikap sebagai khalayak akan apa yang seharusnya diperlakukan terhadap Shalman Rushdie.

Apabila kita memandang dari kacamata ekspresi seni, Karya sastra bukanlah suatu upaya pembenaran melainkan hanya suatu penawaran sudut pandang pada hal tertentu sehingga tak mungkin ada kebenaran absolut di dalamnya. Di sana terdapat representasi dan bukanlah refleksi. Apa yang ditawarkan Salman Rusdhie merupakan upaya membuat tesis terhadap masalah yang menyebabkan keterbelakangan Islam dewasa ini. Tesis itu adalah keterbelakangan dikarenakan adanya ayat-ayat yang diselewengkan oleh sang penyalin tulisan ke dalam kitab sehingga muncullah ayat-ayat yang dianggap menyesatkan. Namun substansi sebenarnya adalah masalah fanatisme atas nama agama yang menjadi pusat perhatian oleh Shalman Rusdhie. Karena apabila kita runut sampai sekarang, nyatalah terlihat bahwa Salman Rushdie adalah seorang demokrat liberalis pembenci fundamentalisme. Hal itu dapat terlihat dalam karya-karyanya yang selain bernuansa poskolonial, juga terdapat kebenciannya akan fanatisme dan otoriternya Negara Timur dan tentu juga penawaran idenya yang mendambakan demokrasi.

Tepat dua tahun setelah hebohnya ‘’Satanic Verses’’, pada tahun 1990 Shalman Rushdie kembali menerbitkan novel dengan judul ‘’Haroun and the Sea of Stories’’ (Terjemahan: ‘’Harun dan Samudra Dongeng’’). Sekilas memang tampak tidak sesangar ‘’Satanic Verses’’ karena hanya kisah seorang anak yang berpetualang ke dunia fantasi. Namun apabila dilihat mendalam, dalam novel ini Rushdie masih menyorot kenyataan miris dunia ketiga, impiannya akan demokrasi dan kebenciannya akan kediktatoran. Ketiga hal tadi direpresentasikan oleh tiga setting atau latar yang ada dalam novel ini yakni kota Alifbay, Ghuppee, dan Chupwala.

Kota Alifbay adalah tempat nyata latar dari cerita ini. Alifbay digambarkan sebagai kota yang menyedihkan. Penduduk miskin sangat banyak dan terdapat sedikit orang kaya hidup dengan sangat nikmatnya. Para politikus di kota inipun juga sangat korup sehingga tak dipercayai oleh rakyat. Harun, tokoh utama di sini adalah anak dari Rasyid, seorang tukang dongeng. Rasyid adalah pendongeng yang hebat yang ceritanya seperti terus mengalir tanpa sekat. Rakyat kecil banyak menyukai cerita-ceritanya. Untuk meraih simpati pada pemilu, politikus menyewa Rasyid untuk berdongeng agar rakyat memilih mereka.

Namun selain itu juga ada yang apatis mengenai pemahaman terhadap dongeng ini, itu terlihat dalam diri tetangga Harun yang mengatakan ‘’Apalah guna dongeng-dongeng itu, hidup ini serius, untuk apa menghabiskan waktu pada hal-hal yang tidak nyata’’. Para politikus sendiri sebenarnya juga tidak menyukai dongeng karena dongeng hanya dianggap sebagai suatu alat perayu rakyat.

Dari ringkasan cerita mengenai Alifbay sangat jelas sekali bahwa ini adalah potret negara dunia ketiga yang sangat tumpang tindih. Kesenjangan yang begitu nyata terjadi antara si kaya dan si miskin. Rakyat miskin tak punya hiburan selain dongeng oleh dari si raja dongeng. Para politikus yang belum matang dan masih bersifat feodal menggambarkan gagapnya kehidupan demokrasi di negara ketiga. Sikap yang apatis terhadap dongeng memperlihatkan situasi literasi di dunia timur yang tidak begitu membaca memahami makna dalam suatu rekam seni. Kondisi ini diperparah karena diperlihatkan oleh pihak atau kaum menengah. Sementara itu dari kalangan akar rumput terlihat menghargai ini walaupun kecendrungannya adalah sebagai hiburan. Akan tetapi sesungguhnya ini adalah suatu upaya pelarian psikologis dari masalah yang terus menghimpit kalangan bawah dalam kehidupan timpang tindih negara ketiga.

Kemudian kota Ghuppee adalah kota fantasi dari pertualangan Harun. Di kota inilah terdapat samudera dongeng, dimana ceritanya ayah Harun Rasyid mendapat pasokan cerita dari sini. Di tempat ini setiap waktu selalu terang sampai pada batas tertentu. Penghuni di kota ini dikenal sebagai penggosip dan pendebat. Di sini juga dikenal dengan kerajaan perpustakaan di mana nama-nama perangkat kerajaan ada halaman, jilid, dan yang tertinggi kitab jendral. Pada masa tersebut kota ini mengalami ancaman dari kota Chupwalla. Putri kerajaan yang gemar bernyanyi dengan suaru jelek diculik. Kemudian samudera dongeng juga dicemari oleh kerajaan Chupwalla sehingga ceritapun menjadi berubah-ubah karena adanya pencemaran tersebut.

Dari gambaran tersebut dapatlah kita lihat bahwa inilah impian seorang Salman Rushdie akan dunia demokrasi di mana setiap orang memiliki hak berbicara dan berpendapat. Nama-nama perangkat kerajaan jelaslah mengindikasikan kota yang berilmu pengetahuan dan menjunjung tinggi intelektualitas. Gambaran kehidupan seperti inilah sesuatu yang ideal bagi Shalman Rusdhie. Penduduk yang dikenal penggosip ini sebenarnya hanya menunjukkan bahwa di sana tidak terdapat suatu tirani untuk merepresi keinginan seseorang berbicara. Secara tidak langsung memang Shalman Rusdhie menyindir apa yang telah terjadi padanya dimana haknya berkarya dianggap sebagai sesuatu tidak wajar oleh dunia timur. Kecintaan Guppee terhadap samudera dongeng adalah suatu wujud penjagaan literasi leluhur yang harus diperjuangkan. Sesuatu yang telah hilang dalam diri orang timur yang memiliki kekayaan literasi namun tak pernah merasa memiliki sehingga teracuni oleh ketamakan pihak berkuasa.

Kota ketiga di novel ini, Chupwalla, digambarkan sebagai raja kesunyian dan bayangan. Semua penghuni tak ada yang berbicara dan setiap waktupun adalah kegelapan sehingga yang terlihat hanyalah bayangan. Sang raja kota ini sangat membenci kota Guppee dan menjulukinya sebagai kota omong kosong yang selalu ribut. Usahapun dilakukan dengan mencemari samudera dongeng dengan cairan hitam dan menculik putri kerajaan kota Guppee. Terdapat seorang tokoh bernama Mudra si pendekar bayangan yang berpihak kepada Guppee dan membantu menyerang Chupwalla untuk mengembalikan sang Putri. Ketika berperang para pasukan terlihat berkelahi tak tentu arah karena nyatanya mereka berkelahi dengan bayangannya sendiri. Tentara Chupwalla yang terbiasa diam dan menyimpan rahasia membuat mereka tak kompak sehingga terjadi perpecahan antar mereka dan saling curiga membuat Guppee dengan mudah menang.

Potret ini sangat nyata sekali merepresentasikan negara atau pemerintahan otoriter dan diktator di mana tak ada suara dan kebebasan. Hal ini tentunya mengacu pada keadaan dunia ketiga ataupun Timur Tengah yang banyak dipimpin oleh diktator dan tak adanya demokrasi di sana. Bangsa yang dipimpin diktator rakyatnya hidup dalam kesadaran palsu. Kenyataan dan apa yang di dalam sanubari mereka berbeda. Hal ini dapat dilihat saat mereka seperti bertarung dengan diri sendiri yang jelas menyiratkan suatu konflik batin. Jika dilihat pada negara yang masih bertahan dengan diktator sekarang lebih dikarenakan kesejahteraan yang ada sebagai penghasil minyak. Seperti halnya Qatar, Arab Saudi, UEA, Bahrain. Namun jika kita lihat negara yang tak begitu memiliki kekayaan, keadaannya hancur berantakan, sebut saja Afganistan. Kemudian juga ada negara pasca diktator yang hancur dan bergejolak seperti Mesir, Libya, Suriah yang berada antara diktator dan mencoba demokrasi.

Dari gambaran tersebut bisa jadi karena memang sepertinya Shalman Rusdhie tak jauh berbeda dengan penulis lainnya yang menilai kebebasan sebagai hal yang hakiki. Selanjutnya fundamentalisme dan fanatisme yang diktator di dunia timur harus segera dihilangkan. Ide yang didukung oleh pihak Barat terhadap penulis dunia ketiga di samping kepentingan oleh pihak Barat itu sendiri. Khaled Hossaini dan Orhan Pamuk, contoh dari beberapa penulis yang konsen dalam ketidakadilan dan kehancuran yang ada di dunia Timur mendapat sambutan dan apresiasi oleh Barat. Sampai sekarang, fenomena fatwa mati ini masih mengambang dan Salman Rusdhiepun tak jelas statusnya. Hal ini tentu saja disebabkan oleh lemahnya fondasi fatwa itu sendiri dan faktor politis dalam menanggapi fatwa ini. Secara aplikasi memang fatwa hanya sekedar pendapat yang tidak terlibat langsung dalam eksekusi. Apalagi yang diberi fatwa oleh Petinggi Iran adalah warga negara luar dari negaranya.***      


Bayu Agustari Adha,
Alumni Sastra Inggris UNP

Sumber gambar http://www.jpnn.com/read/2012/01/21/114828/Salman-Rushdie-Pilih-Ngumpet-

Monday, April 22, 2013

Humanisme Sastra Indonesia

Published on Padang Ekspress 21/04/2013



Sejarah telah nyata membentangkan sastra sebagai agen kemanusiaan. Beragam karya telah menyentuh emosi khalayak dengan mengedepankan sisi kemanusian. Seperti halnya dari Shakespeare sampai Hemingway. Semangat ini terus menggejala sampai sekarang layaknya awal kemunculannya sejak Renaissance. Bahkan istilah humanisme sendiri muncul dari “Revival of Learning”nya pada teks-teks Yunani. Kajian-kajian ini seakan menetapkan ranah sastra sebagai alat kemanusiaan dengan memprioritaskan manusia di atas segalanya. Melalui hal inilah humanisme dianggap sebagai “isme” yang banyak dianut masyarakat meskipun dalam prakteknya tidak utuh, banyak hanya dalam tataran wacana dan ideologi.
Humanisme berhasil menyingkirkan sekat-sekat perbedaan seperti agama dan bangsa. Tujuannya sendiri memang adalah menciptakan terjadinya kehidupan yang harmonis dan damai dengan melihat sisi-sisi kemanusiaan. Seiring perkembangannya, humanisme menemukan dan mendapatkan resistensi dari sesuatu yang bertentangan dengan humanisme. Dalam kontek dangkal tentunya ini dari kalangan agama dan bangsa. Lebih rinci lagi lawan humanisme adalah fanatisme dan Fundamentalisme pada pihak agama dan Rasialis dari pihak bangsa. Seringkali juga humanisme menjadi alat pembenaran untuk melakukan misi kemanusiaan dengan fakta-fakta yang tidak manusiawi. Sepeti George W Bush dengan jargon “War on Terorism”nya yang membuatnya justru seperti teroris. Dlanjutkan dengan Obama yang membunuh Osama dengan cara yang tidak manusiawinya. Apakah mungkin Humanisme harus dilakukan dengan tidak humanis.
Akan tetapi hal di atas hanya rantai dari wajah Eropa dan Global, lain lagi bila kita bicara di Indonesia. Negara ini tak punya Renaissance, perlawanan terhadap Vatikan, dan revolusi Industri. Dalam tataran ideal dan Undang-Undang memang Indonesia sangat mengedepankan sisi kemanusiaan yang jelas terlihat bahkan hanya dari pembukaan UUD 45. Namun dalam sejarahnya, banyak sekali hal-hal ironis, miris, dan paradoks mengenai humanisme di Indonesia. Bangsa ini punya ribuan masalah kemanusiaan, mulai dari konflik antar agama, antar suku dan golongan, sampai antar ideologi. Sampai sekarang ini tak jelas apa akar masalahnya dan siapa yang salah akibat semua peristiwa itu. Apa yang benar dalam tataran Eropa dan dunia belum tentu benar di Indonesia dan apa yang salah bisa saja benar di Indonesia. Seakan-akan benar juga apa yang dikatakan Justin Bibier kalau Indonesia adalah “Random Country”. Segala ketidakjelasan ada disini.
Tidak hanya dalam kehidupan nyata, ketidakjelasan ini juga terlihat dalam karya sastra. Salah satu contohnya pada novel “Maryam” kaya Okky Madasari. Novel ini sendiri merupakan pemenang Khatulistiwa Literary Award 2012 kategori Prosa. Terlepas dari ketidakjelasan penghargaan itu sendiri, novel ini berhasil menyiratkan problematika kemanusian orang-orang Ahmadiyah. Konflik yang bukan antar agama, melainkan intra agama. Okky mengekplorasi kesulitan Ahmadiyah dalam cinta,  eksistensi, dan sosial kemasyarakatan. Kisah Ahamadiyah yang terusir dari tanah sendiri, terusir lagi dari tanah berikutnya sampai hidup di pengungsian yang sampai sekarang belum jelas kehidupannya dan bahkan kematiannya. Karena jika kematian menimpa Ahmadiyah, kemana akan dikebumikanpun masyarakat juga ada yang protes. Ketidakjelasan otoritas disini juga terang sekali mengenai siapa yang punya kekuasaan. Apakah pemerintah, kaum Agamis, atau Masyarakat.
Cinta merupakan suatu yang kodrati, kasarnya binatang juga memiliki cinta. Namun semua tak berjalan mulus, ada lika-likunya. Kadang perbedaan menghalangi seperti yang dialami seorang Ahmadi, Maryam. Ya, kisah picisan yang selalu ada dalam dunia ini. Maryam yang seorang Ahmadi menghadapi rintangan dari orangtua untuk tidak menikah dengan orang diluar Ahmadi, sementara itu orang diluar Ahmadi juga menginginkan untuk tidak berpasangan dengan orang Ahmadi, disini representasinya orang tua Alam, suami pertama Maryam. Ibarat bola pimpong, Maryam dibolak-balik oleh para orang tua tersebut. Humanisme jelas tidak bekerja pada kedua belah pihak orang tua. Pada diri masing-masing tersimpan suatu eksklusivitas kelompok. Terlihat betapa alerginya Indonesia pada perbedaan. Hanya Maryam dan Alam yang tidak memperdulikan perbedaan, namun karena kuatnya pengaruh orang tuanya, Alampun menuruti untuk menyuruh Maryam melepaskan identitas Ahmadiyah.
Terlihat bahwa hanya Maryam yang merupakan humanis disini. Dia berpegang teguh bahwa Ahmadiyah ataupun bukan Ahmadiyah sama-sama Islam. Maryam memenuhi satu unsur humanisme yakni toleransi terhadap perbedaan dan tidak terlalu fasis dalam dalam mengilhami suatu keyakinan. Namun Maryam melakukan hanya dalam tatanan ide dia sendiri, dalam hal praktis Maryam mengamini untuk tidak humanis dengan mengorbankan dia sendiri. Dia setuju untuk meninggalkan identitas Ahmadiyah dan dilabelkan seakan-akan telah kembali ke jalan yang benar saaat menikah dengan Alam. Diapun juga menghiraukan orang tua dengan wali nikah orang lain. Apa yang dilakukan hanya mengalah untuk menghilangkan sekat-sekat perbedaan, namun dengan relanya dia menjadi korban. Akhirnya diapun tak tahan dan bercerai dengan Alam, karena orangtuanya yang masih sering menyinggung masalah Ahmadiyah. Akhirnya Maryam pulang ke orang tuanya, tapi tak mendapati karena orang tuanya telah terusir sebagai Ahmadi.
Dalam hal keberlangsungan eksistensi, Ahmadiyah menghadapi perlawanan dari berbagai institusi. Dari pemerintah sendiri melalui sekolah sebagai institusi pendidikan, orang yang terduga Ahmadiyah mendapat perlakuan ketidakadilan meskipun dalam hal akdemis tak ada keterkaitan. Namun karena kata “sesat” yang selalu disematkan ke Ahmadiyah, apapun hasil akademis takkan mempengaruhi. Ini terjadi pada adik Maryam, Fatimah, yang mendapatkan nilai merah pada mata pelajaran agamanya. Institusi lain yang juga berperan untuk kehancuran Ahmadiyah adalah institusi keagamaan. Ahmadiyah telah resmi dilarang pada masa sebelum reformasi, namun tak terjadi hal apa-apa. Tapi kenapa sekarang kekacauan terjadi. Itulah keanehan Indonesia. Lembaga MUI mengeluarkan fatwa haram lagi untuk Ahmadiyah, setelah dulunya telah dilakukan. Apa maksud semua ini. Dengan dikeluarkannya lagi para ulama yang merasa menjadi wakil Tuhan menemukan alat pembenaran untuk membasmi Ahmadiyah dengan provokasi dan kekerasan. Disinilah perlu ditanya apakah ada humanisme itu di Indonesia.
Setali tiga uang, pemerintah pusat dan daerah sama sekali tak bisa membuat suatu ketentraman. Ahmadiyah yang mengadukan nasibnya hanya disuruh bersabar dan ujung-ujungnya diminta untuk menanggalkan segala keyakinan sambil berkeluh mengatakan Ahmadiyah keras kepala. Intinya adalah turuti saja kehendak masyarakat agar tak ada lagi keributan. Aparat keamanan seperti Polisipun tak ada bedanya, mereka hanya menyuruh Ahmadiyah untuk menghindari warga dan meninggalkan rumah yang mereka bangun dengan jerih payah sendiri. Warga dibiarkan untuk berbuat kerusakan terhadap hal-hal berkaitan dengan Ahmadiyah. Seakan-akan apabila massa telah bertindak, maka itu adalah suatu kebenaran yang tak perlu dianggap sebagai suatu tindak pidana oleh kepolisian.
Dalam novel ini sepertinya Okky Madasari memang hanya mengedepankan sisi humanisme yakni toleransi dan individualisme. Keduanya saling berkaitan erat untuk menegaskan kehidupan saling menghargai kebebasan pribadi. Maryam tidak terlalu mengekplorasi secara komprehensif perbedaan Ahmadiyah dan apa yang membuatnya berbeda. Yang jelas hanyalah berbeda dan hargailah perbedaan itu. Sekiranya memang begitulah pesan karya ini. Novel ini tak menerangkan siapa tokoh Ahmadi yang fotonya ada pada setip rumah penghuni Ahmadi. Bahkan nama Mirza Ghulam Ahmadpun tak pernah disebut. Yang ada hanya sesosok pria memakai sorban dan berjenggot. Ahmadiyah bermarwah pada Mirza Ghulam Ahmad, seperti halnya Muslim Syiah kepada Ali bin Abi Thalib. Bagi yang mengetahui permasalahan Ahmadi bisa jadi mereka tahu, namun bagi yang tidak, novel ini bisa saja menghadirkan bias. Kejelasan apakah Ghulam Ahmad mengaku nabi atau tidak juga tak diperbincangkan. Apalagi mengenai adanya pembagian Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore.
Sebenarnya apakah perbedaan antara muslim biasa dan Ahmadiyah? Dalam novel ini perbedaan tersebut hanyalah adanya perkumpulan Jemaah Ahmadiyah yang dilakukan pada kala tertentu. Kemudian jemaah Ahmadiyah akan Sholat bersama di mesjid Ahmadiyah pula, meskipun rumahnya dekat dengan mesjid biasa. Perbedaan yang unik adalah seringnya jemaah Ahmadiyah menonton bersama, namun tidak disebutkan menonton apa di novel ini. Kalau kita telusuri, apa yang ditonton Ahmadi adalah “Moslem Television Ahmadiyyah (MTA)” yang berpusat di London, Inggris. Televisi ini adalah suatu bentuk jejaring jemaah Ahmadiyah seluruh dunia mengenai perkembangan, isu, dan kajian terbaru. Apa yang menjadi pembeda sesungguhnya tidak kentara dalam data novel ini, penulis saja yang memvonis Ahmadiyah berbeda. Satu lagi hal yang tidak diperinci adalah latar peristiwa Monas, perseteruan dua ormas yang tak lain tak bukan adalah FPI versus AKKBBnya Gunawan Muhammad yang konon diaturnya sendiri atas permintaan penguasa untuk upaya pengalihan isu kenaikan BBM
Humanisme yang diteriakkan, termasuk dengan karya ini, sampai sekarang belum berbuah apa-apa. Ahmadiyah tetap hidup dalam label sesat. Sungguh ironis nasib humanisme di Indonesia. Selain lemahnya dan tak ada itikat baiknya penyelenggara negara, humanisme yang dikobarkan bias jadi sangat mentah, gagap, dan latah. Semangat berhumanisme hanya untuk ajang eksistensi diri dan politis. Atau hanya dengan semangat membenci kaum agamis ataupun yang berlabel agama untuk mengukuhkan diri sebagai humanis sejati.                   
  Bayu Agustari Adha
Pembaca Karya Sastra dan Penulis Esai
Alumni Sastra Inggris UNP

Sunday, March 17, 2013

Muatan Ekokritik Gus Tf Sakai


Diterbitkan Padang Ekspress 17/3/13

Setelah tertidur sekian lama, akhirnya alam pemikiran manusia tersadar bahwa mereka tak hidup sendiri di alam ini. Ternyata butuh keseimbangan menjalani kehidupan di dunia ini dengan ekosistim lain. Akibatnya lingkunganpun terlambat untuk menjadi isu seksi setelah kerusakan telah meluas terjadi. Hal ini menandakan ke-egois-an tanpa batas dalam menindas keberadaan alam. Itu terjadi karena manusia terlalu fokus pada hal yang bersifat “Human-Centric”. Dalam sejarah dunia yang diwacanakan Eropa, sejak Renaissance manusia seakan-akan telah menemukan bahwa manusialah pusat episentrum dunia. Dengan kekuatan daya pikirannya manusia bisa melakukan apa saja walaupun itu menindas yang lainnya, termasuk alam. Jadi manusia berpikir bahwa dialah yang menjadi subjek sedangkan yang berada diluarnya adalah objek, salah satunya lingkungan.
            Pemikiran ini seakan senada dengan jargonnya Descartes masa itu “Cogito Ergosum”, Saya berpikir, saya ada. Semangat ini walau bagaimanapun memang memberikan kemajuan peradaban, akan tetapi manusia juga lupa bahwa alam sendiri adalah tempatnya untuk ada.  Akibatnya ekplorasi terhadap alam semakin menjadi-jadi untuk menandakan kemenangan manusia atas alam. Ketidaksadaran ini sangat lama terjadi, apabila dirunut pada peradaban kuno penuh dengan dominasi kosmosentris, pertengahan dengan teosentris, peradaban modern dengan antroposentris, dan pada abad 20 dengan Logosentris. Kesadaran terjadi setelah adanya dampak. Menurut Siswo Harsono, kondisi demikian disebabkan oleh ketidakseimbangan dominasi budaya yang terlalu ekploitatif terhadap alam. Hal ini tampaknya berpangkal pada pola pikir dkotomis “nature/culture”, Alam/Kebudayaan.
Revolusi industri menghabisi kekayaan alam dengan laju yang mengerikan, menghancurkan hubungan dengan tanah dan menyingkirkan petani ke belakang; kapitalisme industrial menghasilkan abad modern, dan mengeruk seluruh bahan baku tanpa mempedulikan akibat-akibat lingkungan; dan perilaku semodel itu memperoleh alibi ilmiah dari kredo Baconian bahwa pengetahuan ilmiah adalah kemenangan teknologi atas alam (Croatt dan Rankin, 1997:30-35). Hingga muncullah aktivis dan kritikus lingkungan. Dalam Sastra sendiri sebagai suatu disiplin ilmu juga menerapkan hal ini yang biasa disebut ekokritik, yakni kritik sastra berparadigma lingkungan. Ekokritik Amerika menilai perlu adanya perombakan dikotomis tersebut dengan menggantinya menjadi trikotomis “Nature-Nurture-Culture”, Alam-Pemeliharaan-Budaya agar terjadi suatu keseimbangan.
            Dalam karya sastra, perkara membicarakan alam tentu telah banyak. Namun kebanyakan hanya berkerangka alam sebagai alat untuk ekplorasi estetis. Dengan kata lain alam masih dianggap sebagai objek, bukan sesuatu yang perlu dipelihara. Namun, dalam sastra populer seperti lirik lagu memang telah ada yang membicarakan pelestarian alam seperti halnya Ebiet G Ade, bahkan dari Minang sendiri telah ada lagu “Rimbo Rimbun” oleh Trio Sarunai yang mengajak untuk tak menebang hutan. Jika kita lihat pada sastra kontemporer, beberapa telah coba mengupas hal ini seperti yang dilakukan Gus tf Sakai dalam kumpulan cerpennya “Kaki Yang terhormat”. Beberapa cerpen memuat unsur ekokritik tentang fenomena alam, meski tidak sebagian besar. Yang lainnya berupa prahara homoseks, lokalitas dan moralitas, namun tak begitu menarik perhatian saya ketimbang isu lingkungannya. Beberapa cerpen tentang hal ini diantaranya berjudul “Kulah”, “Kaki yang Terhormat”, “Orang Bunian”, dan “Liang Harimau”.
            Pada cerpen pertama “Kulah”, Gus tf mengekplorasi nostalgia seorang urban pada desanya. Desa yang dulunya memiliki mata air yang dinamai namanya sendiri yakni “Mata air Marni”. Seiring berlajunya waktu, mata air berubah menjadi kulah, sejenis tempat berwudhu, hingga kemudian menjadi menggenaskan dan tak dipaka lagi, karena airnya menyebabkan kematian Ima, keponakannya dan beberapa anak lainnya. Dari sini kita bisa lihat bahwa pada mulanya ada keseimbangan antara alam dan manusianya atau “nature” dan “culture”. Alam disini berupa mata air yang mengalir, kemudian bermutualisme dengan manusia yang memanfaatkannya untuk mengaliri sawah dan untuk keperluan lannya bagi manusia. Situasi menadi berubah sesuai dengan perkembangan manusia yang mengalami industrialisme.
            Dampak lingkungan menyebabkan air memiliki bau yang menyengat menyebabkan kematian tak hanya manusia tapi juga ekosistim lannya dimana sawah di sekitar mati dan tak tergarap lagi. Pencemaran air ini tentu murni akibat adanya limbah akibat operasi pabrik yang menggunakan bahan kimia, meski cerpen tak menyebut lokasi pabrik tersebut. Jelas jika ditelusuri memang pabrik bisa jadi sengaja atau tidak sengaja dalam mengalirkan air limbah ini. Akan tetapi sepertinya hal ini adalah ketidaksengajaan yang disengaja. Dalam perencanaan industri tentu saja harus ada analisis Amdal dan penentuan tempat terakhir limbah. Penentuan tempat limbah inilah yang menjadi hal yang krusial untuk diawasi karena praktek ini sering dilakukan tanpa azas keterbukaan dalam artian dimana ada tempat kosong untuk bisa dibuang, dibuanglah kesana.
            Hal inilah yang menandakan kemenangan teknologi manusia terhadap alam. Dengan demikian terdapatlah suatu ketidakseimbangan antara budaya dan alam. Budaya kapitalisme yang menekankan ekploitasi untuk suatu komoditi telah melupakan keberadaan alam itu sendiri yang akan terkena dampak. Tak hanya itu, manusia lainnya dengan budaya yang masih menjaga keseimbangan yakni masyarakat desa juga terkena imbasnya, baik berupa nyawa dan mata pencaharian. Namun dalam cerpen ini, karena kekurangan sumber daya manusia, penduduk desa malah menganggapnya sebagi sesuatu yang mistis dan angker pada mata air tersebut.seperti dialognya dibawah ini,
                                         “Bapak temani saja, Marni,” kata Pak Lam tadi pagi.
                                         Tapi Marni benar-benar tak ingin ditemani.
                                         “Kau tidak takut?”bergetar suara Mak Sani.

Keangkeran menurut orang desa ini terjadi akibat adanya perubahan struktur pada ekosistim lainnya pada sekitar kulah. Pohon-pohon berkembang tidak dengan selayaknya. Daun-daunnya mengecil dan bercaplak. Batang yang biasanya lurus panjang, menjadi pendek, dan kulitnya berbongkah-bongkah. Jelas sekali apa yang ingin diungkapkan sang pengarang adalah betapa besarnya dampak yang telah terjadi akibat pencemaran air ini. Selain manusia juga membuat tumbuhan menjadi compang-camping dan tidak berkembang sebagaimana mestinya
            Jika dalam cerpen di atas kritik lingkungan diarahkan pada industri yang menyebabkan limbah atau lebih detilnya industri manufaktur, dalam cerpen “Kaki yang Terhormat” memuat isu pertambangan. Hal ini terlihat dari cerita yang menyajikan tragedi dipangkasnya bukit yang berbentuk kaki. Seorang nenek yang sangat mengagumi bukit tersebut dan sekaligus mengagumi kaki. Bukit tersebut dipotong oleh rencana anak bungsunya sendiri yang kaya raya di perantauan. Saking kayanya sampai-sampai kemana-mana anaknya menggunakan helicopter. Kemudian dia membangun pabrik semen dengan bahan dari bukit tersebut. Akhir cerita si anakpun terlibat kasus korupsi dan si nenekpun  menyatakan bahwa anaknya menjadi seperti itu karena tak lagi menggunakan kaki, sebab kemana-mana pergi dengan helicopter. Lengkap sudah penderitaan si nenek, bukit yang dikaguminya dihabisi dan anaknyapun menjadi gunjingan karena kasus korupsi.
            Pertambangan juga merupakan kegiatan yang rentan akan menelanjangi alam. Hal ini dikarenakan tambang hanyalah sebuah kegiatan yang mengerus isi alam tanpa ada pembaruan terhadap objek. Bukit yang menjadi sumbernya, tentu bukit juga yang akan dihabisi karena memang bukit bukanlah sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Perseteruan antara alam dan budaya disini dapat diidentifikasi antara kapitalisme modern dengan bukit itu sendiri. Budaya produk humansentris menekankan pada ekploitasi materi untuk dijadikan komoditi demi mendapatkan kapital yang lebih besar lagi. Jadi, meskipun secara umum cerpen ini bercerita absurd mengenai kaki yang selalu dikagumi sang nenek, namun isu lingkungan seperti pemberdayaan energi dan sumber daya alam juga dapat diteropong disini sebagai isu yang krusial.
            Bentuk penyimpangan lingkungan lainnya dapat dilihat pula pada cerpen berjudul “Orang Bunian”. Cerita ini sendiri merupakan nostalgia dan romantisme si narator pada keadaan masa lalunya. Kenangan itu adalah mengenai Bukit Burai dan aktivitas yang ada dialamnya. Dulunya Bukit tersebut adalah tempatnya berburu dimana terdapat tiga lapis bagian bukit yakni “lapis atas, lapis bawah, dan “Lakuak” atau lembah. Di lapis bawah ada kegiatan berburu dan kemudian di lapis lembah ada dunia lain yang kabarnya dihuni orang Bunian. Akan tetapi sekarang itu telah berubah dengan adanya tanah-tanah pribadi dan Villa-Villa mewah dengan pohon-pohon yang ditata ulang. Secara kronologis terdapat dua masa pengkebirian manusia terhadap alam dalam cerpen ini.
            Pertama, adalah masa dimana manusia memperlakukan salah satu entitas alam yakni melalui perburuan Babi. Sebelumnya, manusia setempat melakukan perburuan Babi hanyalah untuk pemberantasan Hama. Namun setelah itu, kebudayaan ini berkembang menjadi suatu budaya hobi untuk kesenangan. Merasakan petualangan enaknya saat-saat menunggu sasaran keluar, melepaskan anjing, dan lari bersorak-sorak saat gerombolan anjing berusaha untuk mendapatkan sang Babi. Singkatnya ini adalah produksi kesenangan melalui penderitaan oleh yang lain. Kemudian kedua, setelah itu muncullah suatu industri Pariwisata yang tujuan akhirnya juga suatu kesenangan. Pada frase ini tidak hanya binatang yang kehilangan eksistem, namun eksistensi tumbuhan alam terdahulu juga dipangkas. Kemudian dilakukanlah reproduksi alam yang seolah-olah alami dengan pembangunan Villa dan penataan kembali tanaman-tanaman. Tentu secara tidak langsung keadaan binatangpun juga terkena imbas, karena perubahan ekosistem dan tentu tempat itu juga harus steril dari Binatang karena tentu akan mengganggu ketentraman pariwisata.

            Metode penindasan terhadap alam juga terjadi pada wilayah yang dekat dengan alam sendiri yakni Agraria. Hal ini dicatat dalam cerpen berjudul “Liang Harimau”. Cerpen yang memuat kasus pembukaan lahan di hutan lindung. Rasikun sang empunya lahan mempekerjakan Sadim untuk melakukan perambahan lahan di hutan yang secara kultural dianggap sesuatu yang tak boleh disentuh. Namun akibat sulitnya hidup membut Sadim menerima tawaran untuk merambah hutan tersebut. Di saat yang sama penduduk kampung Sadim mengadakan upacara adat yang sakral untuk menghormati alam, Rasikun tak memperbolehkannya ikut dengan alasan lahan harus siap tanam sebelum musim hujan. Dengan hati galau, Sadim pergi juga merambah hutan dan melihat Harimau yang menatapnya. Namun paginya terjadi peristiwa Sadim membunuh Rasikun, namun Sadim mengaku yang ditusuknya adalah Harimau.
            Sebagaimana yang kita ketahui hutan lindung tidak boleh dijamah sedikitpun dalam aturan formal. Dalam aturan masyarakat sendiri yang kental dengan mitos juga menganggap ada hutan tertentu yang tidak diperbolehkan diperlakukan demikian. Namun kenapa Rasikun bisa dapat membeli dan membuka lahan? Tentu saja ini merupakan suatu konspirasi dibalik hal itu. Kemungkinan dapat dikaitkan dengan pemerintah setempat. Sudah barang rahasia umum bahwa kepala daerah telah menjadikan perizinan hutan menjadi suatu komoditi untuk mendulang rupiah. Indonesia yang mempunyai lahan luas memang telah menjadi primadona untuk industri agraris. Jelaslah disini bahwa ada kompromi busuk antara si pemodal dengan pemerintah. Jadi bisa diidentifikasi bahwa memang kapitalisme modern telah menjadi musuh abadi dari alam itu sendiri.
            Setelah kita lihat beberapa cerpen di atas, dapatlah dipahami bahwa ada beberapa metode dalam menunjukkan keangkuhan manusia di atas alam. Caranya dapat berbeda-beda. Diantaranya melalui pabrifikasi industri, pertambangan, pariwisata, dan industri agraria. Meskipun dalam plot cerita Gus tf Sakai tidak dominan memuat unsurnya, namun dibaliknya terdapat persoalan besar abad ini yakni keberlangsungan lingkungan. Plot cerita semakin memperkuat efek kejut terhadap pembaca akan suasana yang miris tersebut.

Bayu Agustari Adha
Pembaca Karya Sastra dan Penulis Esai