Tuesday, December 18, 2012

Teror-teror Paranoia (dari Cerpen Edgar Allan Poe)

 


Publish on Riau Pos 16/12/2012 click this link
http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=892&kat=2#.UNFNNawwKdc




NAMA Edgar Allan Poe tentu tak asing lagi dalam peta kesusastraan dunia. Ia dikenal sebagai Master Horror Gothic yang membuat pembacanya masuk pada ruang gelap yang menyajikan ketegangan dan misteri. Di saat sastrawan seangkatannya sibuk menelurkan karya-karya berpesan moral seperti Charles Dickens dan Mark Twain, ia malah menghadirkan warna baru dengan teror-teror psikologis dalam cerpen-cerpennya. Dalam genre misteri sendiri ia juga membuat suatu hal otentik dengan menekankan pada kegilaan karakternya, beda dengan Agatha Christie yang lebih fokus pada usaha pemecahan misteri.

Tabiat karakternya yang selalu menyimpan suatu kelainan psikologis membuat para pembaca takut dan sekaligus penasaran. Sehingga ketakutan itu sendirilah yang membuat kita ingin terus membalikkan setiap halaman ceritanya. Karya-karyanya yang terkenal seperti Tell-Tale Heart dan Black Cat adalah beberapa contoh yang menyajikan teror-teror paranoia. Teror yang selalu menghantui tokohnya sehingga membuatnya paranoid dan melakukan hal-hal di luar kewajaran. Meskipun terlihat terlalu sadis, namun ini merupakan suatu siklus psikologis yang bisa merasuk siapa saja. Cerpen di atas dan cerpen lainnya bisa dibaca pada Kisah-Kisah Tengah Malam terjemahan Maggie Tiojakin yang memuat 13 cerpen pilihan karya Edgar Allan Poe.

Dalam cerpen Tell-Tale Heart (Terjemahan: Gema Jantung yang Tersiksa) memuat cerita seseorang yang sangat membenci tatapan mata seorang lelaki tua, padahal lelaki tua itu baik padanya dan begitu juga sebaliknya. Namun karena mata yang seperti mata burung bangkai itu sangat menjijkkan baginya, dia berencana untuk membunuh laki-laki tua itu. Tujuh malam berturut-turut ia mengintai mata lelaki tua itu, namun tak bisa melihatnya karena sedang tidur. Di malam kedelapan saat dia mengintai dengan sangat hati-hati, lelaki tua itu terbangun dan satu jam tak beranjak dari posisi duduknya di atas ranjang. Hingga akhirnya si aku berteriak dan menghantamnya ke lantai dan membalikkan ranjang hingga menimpa lelaki tua itu sampai mati. Ia lalu mencincang mayatnya dan menyembunyikannya di bawah lantai kayu. Keesokan harinya, polisi datang untuk bertanya-tanya. Sementara waktu ia bisa menyembunyikan perbuatannya, namun lama kelamaan ia mendengar suara jantung lelaki tua itu dari bawah lantai. Keras dan semakin keras sehingga ia tak tahan lagi untuk mengakui pembunuhan dengan menunjukkan sendiri letak mayat yang membuatnya jijik itu.

Dari sekuel di atas bisa dilihat bahwa konflik dimulai dari ketaksukaannya terhadap mata lelaki tua itu. Kebencian itu terus dipelihara sampai menimbulkan rencana pembunuhan. Dari aspek psikologi dapat ditarik bahwa elemen id naluriahnya terus memaksanya untuk terus memuaskan hasrat kebenciannya. Ia tidak berusaha memfilter apa yang diinginkan oleh idnya tersebut. Tidak adanya mekanisme menghambat laju napsu naluri kebinatangannya membuatnya semakin liar. Saat eksekusi pembunuhan akan dilakukan, ada jeda waktu satu jam untuk mengelola tindakan yang akan dilakukan. Namun tetap saja saat pengambilan keputusan dia menuruti perintah id untuk melancarkan rencana. Konflik tindakan ini akhirnya benar-benar dimenangkan oleh sang id. Bisikan untuk membunuh ini tentu datangnya dari ketidakinginan untuk kembali melihat sesosok mata yang menjijikkan itu. Setelah itu sepertinya dia menyerahkan segalanya kepada perintah id untuk memutilasi mayat lelaki tua itu.

Gejolak pergolakan psikologis lainnya terjadi pada saat polisi datang keesokan harinya. Dalam menanggapi keberadaan polisi tersebut, si pembunuh berusaha untuk terus menyembunyikan. Di sini terlihat siklus psikologis yang masih dikuasai naluri alamaiah untuk menghindari sesuatu yang dianggap akan tidak menguntungkannya. Mekanisme pertahanan ini memang adalah sesuatu yang wajar mengingat elemen id dalam psikologi juga mendorong seseorang untuk tidak berada pada suatu keadaan yang akan merugikannya. Terlihat dia membuat alasan bahwa lelaki tua pergi liburan ke pedesaan. Alasan inilah yang menjadi senjata dalam upaya penghindaran tersebut. Si pembunuhpun mempersilahkan polisi untuk memasuki kamar lelaki tua itu.

Pada saat berada dalam kamar tersebut bersama tiga polisi, di situlah muncul teror-teror paranoia yang selalu menghantuinya. Polisi tak terlalu menginterogasinya dan hanya berbincang dengan santai. Namun apa yang dialami oleh si pembunuh tidak demikian, meskipun dia tetap berusaha untuk santai bersahaja. Beberapa saat kemudian dia mendengar suara detak jantung dari balik lantai kayu yang makin lama makin keras. Di sinilah efek dari paranoia yang dijangkiti olehnya, karena di antara gejala paranoia adalah adanya halusinasi yang hanya dirasakan diri sendiri. Jelas sekali suara detak jantung itu sendiri merupakan suatu halusinasi darinya, dari efek rasa bersalahnya. Hingga akhirnya diapun mengakui, meskipun polisi tak berusaha sedikitpun untuk mencurigainya dan mengatakan, ‘’Dasar penjahat!’’ teriakku lantang, ‘’Tidak usah berpura-pura lagi! Aku mengakui perbuatanku! Bongkar lantai ini!-sini!-di sini!-aku bisa mendengar denyut jantungnya yang menjijikkan’’.

Sementara itu dalam cerpen lainnya yakni The Black Cat (Terjemahan: Kucing Hitam) juga menceritakan hal dengan fenomena psikologis yang cukup mirip dengan cerpen di atas. Tokoh aku sendiri adalah seorang yang sangat mencintai binatang karena dia merasakan kenyamanan dengan binatang dikarenakan pergaulan sesama manusia yang tidak memuaskannya. Setelah beristripun dia akrab dengan binatang, yang favorit baginya adalah kucing hitam bernama Pluto. Seiring berjalannya waktu kondisi mentalnya mulai tidak stabil karena sering mabuk-mabukan. Akibatnya dia sempat melampiaskan kemarahannya pada istri dan binatang-binatangnya. Plutopun juga jadi sasaran setelah sekian lama dia mencoba menahan amarahnya. Sampai akhirnya Pluto diangkat dan dicekik lehernya kemudian dicongkel matanya serta digantungnya di pohon.

Setelah membunuh kucing itu, rumahnya kebakaran namun ada satu dinding yang tidak terbakar dan menurutnya ada ukiran yang mirip Pluto. Setelah itu dia selalu dibayangi oleh sosok Pluto. Suatu saat di Bar dia melihat kucing mirip Pluto dan langsung mengambilnya. Diapun memperlakukan dengan penuh kasih sayang layaknya Pluto dulu. Namun lama kelamaan dia juga benci kucing itu sampai suatu saat dia ingin membunuh kucing itu dengan kapak. Malangnya istrinya menghalanginya sehingga diapun tak terkontrol sampai akhirnya Kapak tertancap di kepala istrinya. Diapun menyimpan mayat istrinya di dalam dinding yang kemudian dilapisinya lagi dengan bata sehingga tertutup dan berbentuk sama seperti dinding. Namun dia masih heran di mana Pluto berada. Polisipun datang untuk sekedar bertanya keberadaan istrinya, karena para tetangga juga telah melakukan pencarian. Dia bisa menyembunyikan pembunuhan ini sampai akhirnya dia mendengar tangisan dari lapisan dinding dan akhirnya mengakui perbuatannya. Kucing hitam mirip Pluto berada di atas mayat istrinya.

Sekilas terlihat memang cerpen ini sama polanya dengan cerpen Tell-Tale Heart. Perbedaannya barangkali hanya dari latar belakang tokoh-tokohnya. Si narator dalam cerita ini sejak kecil memang telah mengalami kelainan psikologis. Dia kerap menjadi olok-olokkan temannya sehingga dia menemukan pelarian dengan bermain bersama binatang. Ini juga merupakan suatu gejala paranoia di mana kecendrungan untuk mengasingkan diri terjadi karena adanya anggapan dan kecurigaan takkan diterima oleh sosial. Rasa khawatir inilah yang terus menterornya sehingga menjadikan suatu pergaulan sosial dengan manusia untuk tidak menjadi pilihan. Kemudian berbeda dengan cerpen pertama yang memiliki sesuatu yang dibenci, dalam cerpen ini kebencian lahir dari adanya suatu kasih sayang. Si pembunuh yang telah lama mencintai binatang akhirnya menemukan antiklimaks di mana dia kemudian sangat membenci hal yang disayanginya. Pengaruh luar mungkin bisa dijadikan alasan di sini yakni pengaruh mental yang dirasuki alkohol. Jelas di sini dimendi Id telah menguasainya mengalahkan dimensi super ego yang memuat nilai-nilai mulia, di sini adalah kasih sayangnya pada binatang.

Seperti diketahui, binatang lainnya telah menjadi pelampiasan kemarahannya, namun untuk sang kucing hitam Pluto dia masih menahannya hingga akhirnya meledak dengan kejadian dia mencongkel mata si Pluto. Pelampiasan kehendak Id yang bersifat destruktif terus menguasainya sampai akhirnya dia menggantungnya. Namun setelah rumahnya terbakar dan melihat ukiran Pluto di dinding yang tidak terbakar, teror rasa bersalah terus menghantuinya. Ukiran Pluto tersebut jelas merupakan suatu halusinasi dari dirinya. Ukiran ini akan terus membuatnya menjadi paranoid karena bayangan itu terus menghantuinya. Akibatnya, dia berusaha untuk mencari wadah penebus rasa bersalah. Kucing yang dikiranya mirip Pluto diambilnya dan diniatkan untuk merawatnya dengan kasih sayang.

Akan tetapi sepertinya keakrabanlah yang menimbulkan kebencian karena lama-lama dia membenci juga kucing ini. Apalagi ditambah dengan adanya halusinasi tanda putih lingkaran di dada kucing itu yang dianggapnya sebagai tali gantungan Pluto. Kebiasaannya yang selalu memanjakan kehendak ingin menghancurkan membuatnya menyerah juga untuk ingin membunuh kucing ini, walaupun akhirnya yang terbunuh adalah istrinya. Istrinya yang disimpannya di balik dinding yang dibuatnya sendiri mungkin terasa janggal dan tidak logis. Namun apabila dianalogikan dengan binatang-binatang yang disiksanya, istri dan binatang merupakan dua korban yang sama. Di mana kebencian dilahirkan dari suatu keakraban dan kasih sayang. Tidak adanya rasa takut untuk membunuh istrinya adalah suatu perasaan superior yang dimilikinya karena istrinya memang tidak pernah sekalipun berlawanan dengannya.

Teror-teror yang membuatnya menjadi paranoid jelas sekali saat polisi datang rumahnya. Meskipun dia mencoba santai, namun usaha-usaha menyembunyikan perbuatan itu tak begitu kebal. Perasaannya yang seakan-akan ada yang akan membahayakannya menjadi umpan balik yang membuatnya tidak stabil saat dia mengetuk dinding di mana istrinya di dalamnya dengan tongkat. Dia mengatakan ‘’Kalimatku dijawab seseorang dalam dinding-seperti tangisan, suara itu awalnya menyerupai isak tangis anak kecil, yang lama-lama membengkak menjadi teriakan binatang atau setan’’. Teror yang menghantuinya membuatnya khawatir dan ketakutan sehingga tanpa sadar dia telah memperlihatkan perbuatannya. Edgar Allan Poe sepertinya tak hanya menyumbang untuk sastra dan psikologi tapi sepertinya dia juga memberi metode interogasi untuk pelaku kejahatan. Faktanya kita lihat memang banyak pembunuhan yang terjadi akibat oleh orang terdekat. Walaupun hidup satu abad lebih di masa lalu, tapi tampaknya pemikirannya telah melampaui zamannya.***


Bayu Agustari Adha
Adalah penulis sastra yang rajin menulis esai dan karya-karyanya dimuat diberbagai media, salah satunya Riau Pos.

Saturday, November 24, 2012

Menggugat Kemapanan dengan Sastra



 Published on Singgalang 18/11/12

Seperti kata pepatah, hidup itu adalah perjuangan. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari perjuangan fisik, politik dan diplomasi, sampai dengan perjuangan berbentuk tulisan pada media yang bisa memberikan pencerahan. Perjuangan berbentuk tulisan sendiri bisa juga menjadi dua cara, baik itu yang melalui tulisan jurnalistik non fiksi dan juga berupa karya fiksi. Dalam perjuangan jurnalistik non fiksi dapat melalui tulisan opini ataupun gagasan. Namun  kadang kala sering juga belum menghasilkan dan malahan sering dibungkam, maka karya sastralah yang seterusnya berbicara. Sehingga muncullah suatu slogan yang kira-kira berbunyi “Jurnalisme dibungkam, Sastra bicara”.
Disamping menghamparkan suatu cerita, sastra juga menyusupkan perjuangan melawan relasi kekuasaan yang telah menjadi mapan. Kemapanan kekuasaan ini coba digugat melalui asupan emosi yang hadir dalam tubuh sebuah karya. Kemapanan ini sendiri secara harfiah merupakan suatu narasi yang telah mendominasi sehingga berpretensi menjadi sesuatu yang dianggap layak. Namun apabila ditelisik lebih jauh, kemapanan itu sendiri menghadirkan ketidakadilan bagi pihak yang tersubordinasi. Perlawanan terhadap kemapanan disini bukan hanya terhadap struktur Negara, tapi lebih terhadap realita sosial yang telah hidup dan berkembang menjadi mapan di kalangan masyarakat. Hal inilah yang coba digugat oleh sastra.
Salah satu contoh karya yang didalamnya memuat beberapa gugatan adalah Novel “Saman” karya Ayu Utami. Novel ini bisa dijadikan suatu representasi yang coba menggugat segala kemapanan yang beredar di tengah kita. Kemapanan yang coba digugat diantaranya praktek kapitalisme dan relasi gender. Dalam hal praktek kapitalisme sendiri sesungguhnya terdapat suatu konspirasi busuk yang bermuara pada suatu kerakusan. Hal ini bisa dilihat dalam cerita yang menggambarkan proses berhegemoninya kapitalisme bidang energi oleh korporasi multinasional dan juga kapitalisme agraris. Sedangkan relasi gender yang coba digugat adalah konsesi kedudukan pria dan wanita. Pria berabad-abad mendapatkan posisi lebih kuat dan superior oleh tatanan masyarakat, adat dan agama.
Kapitalisme sendiri masih berdiri tegap menjadi sistem ekonomi yang dianggap layak dalam kegiatan ekonomi. Tak ada sistem lain yang mampu mengunggulinya untuk mencapai suatu kemakmuran materi. Namun dalam operasinya seperti diketahui dilakukan dengan berbagai cara. Bahkan sampai menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan karena ditopang oleh suatu kerakusan seperti pada praktek perusahaan energi multinasional. Dalam kisah Saman sendiri terdapat suatu konspirasi dalam praktek kapitalisme di bidang energi, khususnya eksplorasi minyak bumi. Terdapat suatu konspirasi busuk dalam mengeruk kekayaan alam ini.
Diceritakan adanya sebuah perusahaan bernama Texcoil beroperasi di sekitar laut Cina Selatan daerah kepulauan Natuna. Perusahaan dijalankan oleh orang Indonesia yang dipimpin oleh tokoh yang bernama Rosano. Dia merupakan anak pejabat di Kementrian Pertambangan. Konon jabatan ini didapat karena adanya konspirasi busuk antara pengusaha dengan pemerintah. Rosano diberikan posisi tinggi agar pemerintah memuluskan izin ekplorasi di kepulauan Natuna itu. Mengacu pada hal di atas, praktek kapitalisme sendiri rupanya tidak murni hanya dilakukan oleh pihak asing namun juga diiringi oleh kerakusan pribumi lainnya. Hal ini menjadi suatu perselingkuhan yang indah antara perusahaan dan pemerintah untuk mengeruk pundi-pundi materi dengan megangkangi keadaan rakyat.
Dalam perjalanannya, suatu setting memperlihatkan suasana kerja dimana rosano memaksa untuk melakukan analisa oleh pihak seismoclyse, namun Sihar yang mengepalainya menolak karena beralasan tekanan di bawah masih tinggi. Rosano terus memaksa dan bersitegang dengan Sihar hingga akhirnya Sihar dipecat secara sepihak, lalu menyuruh anak buah Sihar untuk mengambil tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan itu. Rosano memaksa, meski tekanan masih tinggi. Akhirnya terjadilah suatu ledakan yang menyebabkan Hasyim, salah satu pekerja meninggal. Inilah muara dari suatu kerakusan tadi dimana nilai kemanusiaan menjadi tak berarti. Rosanopun berusaha melakukan pembenaran dengan mengatakan bahwa itu adalah kecelakaan kerja. Kecelakaan itu wajar dan kewajaran tentu nantinya akan menjadi kebiasaan yang berpotensi untuk terus terjadi. Slogan “Safety First” hanya menjadi suatu “lips service”.
Praktek kapitalisme lainnya yang coba digugat adalah kegiatan ekonomi agraria. Praktek yang masih terus berlanjut sampai sekarang hingga menimbulkan berbagai konflik. Disini kapitalis juga beroperasi menggunakan perangkat kekuasaan yakni pemerintah. Dalam novel ini diceritakan kegiatan pengusaha dan pemerintah yang memaksa petani untuk mengubah komoditi pertanian dari bertanam karet menjadi bertanam sawit. Karakter yang ada disini adalah Saman yang merupakan pastor di daerah Perabumulih, Sumatera Selatan. Dia bergabung bersama petani dari desa sebelah yakni LubukRantau dengan menanam karet. Seiring dengan timbulnya Sawit sebagai komoditi yang menggiurkan, investor dan pemerintah memaksa petani untuk menanam sawit sehingga karet yang telah ditanam harus dibongkar menjadi sawit.
Pemerintah dan investor menuai perlawanan dari warga karena perjanjian hanya dibuat sepihak dan warga harus membubuhkan tandatangan atas pemakaian lahan mereka. Pergolakan terjadi dimana Saman memimpin perjuangan ini. Saman yang bukanlah penduduk Lubuk Rantau menjadi pihak yang ditenggarai menghasut warga. Karena perlawanan terus terjadi, pemerintahpun melakukan usaha paksa yang kejam dengan membunuh dan membakar perumahan warga. Samanpun disiksa setelah ditangkap. Diapun juga difitnah melakukan tindakan subversi terhadap pemerintah dan dituduh melakukan praktek kristenisasi.
Jelas sekali kelihatannya bahwa praktek kapitalisme di Indonesia dilakukan oleh dwitunggal pengusaha dan pemerintah dengan rakyat sebagai objeknya. Hal ini terlihat tak ada bedanya dengan apa yang dilakukan oleh Belanda. Cuma saja orangnya berbeda yang satu berkulit putih dan yang saat ini berkulit coklat. Hal ini terjadi tentu dilatarbelakangi oleh nafsu kebinatangan yang besar untuk keuntungan pribadi dengan melakukan penyimpangan kekuasaan oleh pemerintah. Sementara bila ada perlawanan maka akan dicap sebagai tindakan subversif sehingga para aparat merasa berhak untuk menindas warga. Pengusaha disisi yang sama selalu menganggap dirinya telah menciptakan kesejahteraan bagi rakyat dengan membuka lapangan kerja. Namun seringkali, rakyat hanya dijadikan seekor kuda untuk menanggung beban kerja demi keuntungan perusahaan. Dapat kita lihat sekarang disamping dampak lingkungan, dampak sosial juga tak terhitung dengan adanya korban jiwa akibat pemaksaan kehendak  yang didorong oleh nafsu kerakusan.
Relasi gender antara pria dan wanita juga mejadi salah satu kemapanan yang digugat oleh Ayu Utami dalam novel ini. Kemapanan paradigama yang mengsubordinasi kedukan pria diatas wanita telah menjadi tradisi dari masa ke masa. Tradisi superioritas pria ini dikembangkan oleh masyarakat dan nilai-nilai adat serta agama. Gugatan yang ada dalam cerita ini dapat dilihat dari karakteristik pada tokoh wanitanya. Laila yang mencintai Sihar meskipun Sihar sudah punya istri. Hal yang ditekankan disini adalah hak setiap wanita untuk mencintai. Selama ini wanita hanyalah sesuatu yang dicintai, dikasihi, dicumbui, dan di-di lainnya yang mengindikasikan suatu kepasifan terletak pada pihak wanita. Disini Laila mencoba untuk menjadi aktif dengan terus mencintai lelaki itu sehingga ada suatu pretensi untuk berubah menjadi subjek. Namun kelemahannya tetap saja ada yakni dia mau saja dibuat menunggu oleh Sihar.
Pada karakter lainnya, Shakuntala, juga memperlihatkan hal-hal bersifat perlawanan pada kemapanan posisi pria. Dia sangat membenci ayahnya yang dapat dirunut sebagai gugatan atas kekuatan laki-laki. Itu tak hanya dalam sistem yang ada di Indonesia, namun juga dalam sistem yang berkembang di Barat. Pada suatu setting Shakuntala begitu jengkel dengan keharusan untuk memakai nama Ayah dalam penulisan nama di Passport, sampai-sampai dia menghentikan niatnya ke luar negeri seperti dalam dialog ini,
“Nama saya Shakuntala. Orang jawa tak punya nama keluarga”
“Anda memiliki ayah, bukan?”
“alangkah indahnya kalau tak punya”
“Gunakan nama ayahmu,” kata wanita di loket itu.
“Dan mengapa saya haru memakainya?”
“Formulir ini harus diisi.”

Dapat terlihat ternyata peradaban barat yang majupun masih mempraktekkan ideologi patriarki yang berpusat pada laki-laki. Ini bukan suatu tindakan kekurangajaran terhadap orang tua, namun ini adalah suatu kerangka sosial yang perlu dicermati. Ini adalah suatu bom waktu saja dari dominasi laki-laki terhadap pria sehingga memunculkan perlawanan. Shakuntala juga jengkel dengan adat Jawa yang ketika menikah mengharuskan istri untuk mencuci kaki suami sebagai sembah bakti istri yang dia pikir sebagai sebagai suatu kepatuhan dan ketidakberdayaan wanita.
            Sementara itu karakter lainnya yakni Yasmin, pada satu sisi dia tetap berlaku sesuai pandangan social terhadap wanita. Dia berkeluarga dan menikah dengan adat Jawa. Namun disisi lainnya dia juga membalikkan apa yang selama ini dianggap kodrat kepada wanita. Yasmin melakukan “Agresi” kepada Saman. Apa yang dilakukannya merupakan suatu titik balik dalam relasi pria dan wanita. Dia menunjukkan prilakunya sebagai subjek yang menginginkan dan bukan objek yang diinginkan. Dia tak terbelenggu aturan sosial dimana pria harus memulai terlebih dahulu. Kejadian ini terjadi pada saat Yasmin menolong Saman untuk pergi melarikan diri ke luar negeri, sebelum pergi Yasmin menaklukkan Saman untuk melakukan hubungan intim. Memang terlihat agresif namun apa yang dilakukan merupakan suatu kesadaran manusia atas apa yang diinginkan tanpa harus dikepung oleh konstruksi sosial. Samanpun menerima dan menikmati apa yang diperlakukan terhadapnya oleh Yasmin dan selalu merindukan Yasmin melakukan hal itu lagi, seperti di pesan-pesan email mereka:
JAKARTA, 20 JUNI 1994
   Saman,
   Taukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmatimu ketika ejakulasi. Aku ingin datang kesana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.

NEW YORK, 21 JUNI 1994
   Yasmin,
   Ajarilah aku. Perkosalah aku.

            Begitulah karya Ayu Utami, penuh dengan gugatan sehingga emosi kian terasa dalam aroma perlawanan. Setelah karya ini menang pada Sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 1998, banyak pihak mengatakan bahwa Ayu Utami telah menguak suatu gaya penulisan yang sangat menggugah. Sementara itu disisi lain ada juga yang menganggapnya sebagai kelompok “Sastra Selangkangan”. Perlu ditekankan disini bahwa apa yang disampaikannya adalah suatu gugatan yang tajam dan bukan suatu vulgarisme, yang ada adalah suatu kelugasan.

Thursday, November 1, 2012

Satir Imajiner dalam Sastra

 Published on Riau Pos 14/10/2012
 just click link below,
http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=728&kat=2


 Pada tataran tertentu sastra dianggap sebagai suatu refleksi kehidupan seperti apa yang dipandang oleh Plato. Makanya Plato sendiri agak merendahkan sastra karena kalau sastra adalah refleksi maka itu adalah mimesis lapis ketiga. Itu terjadi karena dia menganggap bahwa kehidupan ini adalah suatu refleksi dari ide. Maka dari itu jikalau kehidupan sendiri adalah refleksi dari ide, jadi sastra mengalami dua kali tingkat turunan mimesis.

Bermula dari ide turun ke kehidupan, dan barulah bergenerasi kepada sastra sehingga ibarat penyaringan, akan terdapat unsur-unsur yang tereliminasi. Namun faktanya apa yang terjadi dengan dunia sastra tidak menunjukkan hal yang demikian. Banyak diantara karya sastra tidak melulu merupakan refleksi utuh kehidupan, namun juga dibumbui imajinasi dan beragam gaya para penulis. Rasanya mendekati tepat pula apabila kita mengikuti murid Plato sendiri yang menyatakan bahwa sastra adalah sebuah representasi.

Sastra sebagai representasi berarti bahwa apa yang ada pada sastra adalah suatu wujud perwakilan dari kehidupan nyata. Dia tidak sama persis dengan kehidupan nyata, tetapi mengambil bahan dari kehidupan nyata lalu diramu oleh seorang sastrawan. Hasilnya karya-karya yang dihasilkan salah satunya berbentuk imajinasi yang berakar pada kehidupan nyata. Secara kasat mata mungkin apa yang disajikan tidak logis untuk dicerna, namun hal itu merupakan gaya tersendiri di mana sastra tak utuh untuk menyentuh logika tapi yang utama adalah menyentuh emosi. Karya-karya imajinatif itulah yang menjadi representasi dari kehidupan dan bukanlah rekaan si pengarang. Salah satu tujuannya juga untuk memberikan satir atau sindiran atau olok-olokan terhadap suatu hal yang menjadi perhatian si pengarang. Pada umumnya di Indonesia saat ini genre sastra cerpenlah yang sering menggunakan hal ini. Upaya pengungkapan satir yang imajinatif dapat kita lihat pada karya-karya cerpen Agus Noor dalam bukunya berjudul Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia.

Agus Noor memang dikenal sebagai cerpenis mapan Indonesia. Karya-karyanya yang bersifat imajinatif tersebut memang sangat menggelitik melalui penjelajahan gaya yang dilakukannya. Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia ini sangat terlihat jelas betapa nakalnya Agus Noor bermain dengan imajinasi. Bagian pertama yang hadir dalam buku ini berjudul ‘’Empat cerita buat Cinta’’. Cerita pertama berjudul ‘’Pemetik Air Mata’’. Awalnya Agus Noor menjelajahi penceritaannya mengenai asal-usul adanya peri pemetik air mata manusia. Setelah lika-liku cerita imajinatif mengenai hal itu, tibalah akhirnya bahwa air mata-air mata itu dicuri dan telah dijadikan bahan dagangan oleh para pedagang asongan. Sandra, tokoh yang ada dalam cerita tak mempercayai ini karena dia tak melihat peri datang setiap dia dan ibunya yang seorang pelacur menangis. Mama Sandra selalu marah melihat Sandra menangis. Sandra kemudian juga mempunyai anak. Nasibnya lebih baik dari ibunya yang pelacur. Sandra adalah wanita simpanan yang beroleh anak. Anaknya mengetahui adanya peri pemetik air mata itu dan juga membeli air mata itu dari pedagang asongan dan Sandra tidak menyukainya.

Secara kasat mata memang kisah ini tidak masuk akal sama sekali. Mulai dari cerita peri yang entah ada atau tidak sampai pada cerita dijualnya air mata. Namun menarik untuk ditelusuri unsur satir yang ada dalam cerita ini. Air mata merupakan suatu yang identik dengan kesedihan. Dengan air mata, sesuatu yang tidak dapat terselesaikan dapat hilang dengan mencucurkan air mata. Intinya adalah air mata adalah kebutuhan manusia dan telah menjadi takdir bagi manusia untuk menangis menitikkan air mata. Berhubungan dengan konteks cerita bisa dipahami bahwa satir yang hadir adalah suatu sindiran terhadap kehidupan nyata yang telah akrab dengan kesedihan dan kepedihan hidup. Itu terlihat dari apa yang dialami Sandra, ibunya, dan anaknya. Kesedihan terjadi tentu ada sebabnya yang tak lepas dari lingkungannya. Tetapi apa yang dilakukan Sandra dengan melarang anaknya membeli air mata itu adalah suatu upaya kemunafikan dalam menafikan kodrat manusia sebagai makhluk yang berteman dengan kesedihan. Sandra tidak ingin menunjukkan kesedihan yang ada dan memilih untuk terus hidup dalam kebohongan seperti yang dilakukan kepada anaknya dengan menyembunyikan kenyataan bahwa papanya adalah suami orang.

Satu hal lagi satir yang ada bisa dikupas dengan membaca fenomena mengapa air mata itu telah menjadi barang dagangan. Hal ini menandakan bahwa memang saat ini kesedihan juga telah menjadi suatu komoditas. Itu terlihat mulai dari yang beroperasi secara jelas dan yang abstrak. Yang beroperasi dengan jelas adalah seperti para pengemis yang menjual kesedihan dan kemelaratan untuk memperoleh uang. Banyak juga diantaranya yang memperlihatkan bagian fisik yang terlihat menyedihkan untuk memperoleh simpati agar dikasihani. Kemudian menjual kesedihan sebagai komoditi dalam bentuk abstrak bisa dilihat dari populernya cara-cara menarik simpati oleh berbagai pihak. Contohnya program televisi yang mengekspos kesedihan sebagai produknya dan ada juga yang menarik simpati dengan kisah hidupnya dahulu yang menyedihkan agar karya atau produknya terjual. Jadi, hakikatnya mereka menjual kesedihan untuk menarik simpati, bukan menjual produknya melalui kualitasnya.
Cerita kedua di sini berjudul ‘’Penyemai Sunyi’’ menceritakan seorang laki-laki yang menemui rumahnya di mana keluarganya semuanya terbunuh. Saat itulah dia melihat setangkai sunyi yang ada di halamannya sambil terus membayangkan kenangan bersama keluarganya.

‘’Setangkai sunyi yang cemerlang dengan perpaduan warna-warna yang paling rahasia membuatku tergetar dan bertanya-tanya’’. Begitulah gambaran keindahan yang dilukiskan lelaki itu. Sebelum pulang dia membayangkan istrinya akan membukakan pintu dan menyiapkannya kopi hangat dan anak-anaknya yang masih belajar ataupun menonton TV. Dalam renungan diapun masih merasakan seakan-akan ada suara istrinya dan anaknya dari dalam memanggil masuk, namun itu hanya ada dalam kenangan. Setelah itu setangkai sunyi yang berbentuk bunga itu terus tumbuh mekar dan besar sehingga memukau banyak orang, namun ketika ditanya orang dia selalu menjawab bahwa itu adalah setangkai kesunyian.

Cerita ini bersifat filosofis melalui perenungan yang dilakukannya. Satir yang ada di sini bisa dimaknai sebagai suatu fase kehidupan di mana manusia harus melalui suatu masa kesunyian. Kesunyian itu dimaknai sebagai suatu akibat dari tindakan manusia yang telah lupa akan anugerah sosial, dalam hal ini adalah keluarga. Karakter semasa hidupnya tak memanfaatkan waktu kebersamaan dengan keluarganya. Dia yang selalu pulang malam membohongi istrinya dan dia yang menganggap remeh kehadiran dari anaknya. Akhirnya dia mengalami kehampaan tanpa mereka semua.  Hanya kesunyian yang akan hadir apabila waktu yang telah ada tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Namun hal menarik yang dihadirkan oleh Agus Noor adalah metaphor bunga sebagai lambang kesunyian. Apa yang mendasari ini? Ini merupakan suatu hal yang berbeda lainnya di mana biasanya bunga dianggap sebagai suatu hal yang menggambarkan keindahan dan bukanlah kesunyian. Mungkinkah ini sebagai perlawanan simbol pada pemahaman umum orang-orang bahwa bunga perlambang dari kegembiraan karena hidupnya warna yang dimilikinya? Apakah manusia telah salah kaprah atau manusia yang hanya melihat kulit luar dari sewujud bunga yang sebenarnya di dalamnya adalah tawaran kesunyian? Interpretasi bisa berbeda di sini.

Cerita ketiga dengan judul ‘’Penjahit Kesedihan’’ menceritakan fenomena tukang jahit dalam suatu kota. Dulu banyak gerombolan tukang jahit datang menjelang Lebaran dan semua orang gembira. Lebaran tak lengkap tanpa menjahitkan pakaian pada para penjahit itu. Setelah beberapa lama, penjahit itu semakin berkurang oleh imbas modernisme. Akhirnya merekapun menyingkir ke pinggir kota. Tak lama kemudian merekapun juga hilang satu per satu oleh zaman. Namun masih ada satu penjahit yang masih bertahan. Ceritanya dia tak hanya bisa menjahit pakaian tapi juga bisa menjahit kesedihan menjadi kebahagian karena memiliki jarum yang diakuinya didapat dari Nabi. Lama kelamaan banyak saja orang yang datang kepadanya untuk menjahit kesedihan sampai antriannya sepanjang ujung cakrawala ini.

Unsur satir yang dapat dilihat dari karya imajinatif ini pada mulanya adalah fenemona tersingkirnya kaum tertentu oleh suatu modernisme. Masyarakat tak menyukai lagi hal-hal yang berakar dari masyarakatnya sendiri melainkan menyukai hal yang lebih modern dan materialistis. Ini merupakan satir dan balada terhadap kesedihan yang dialami oleh para pencari nafkah tradisi kita yang harus tersingkir oleh peradaban modern yang tak kenal kasihan. Selain itu, dapat dilihat di sini pertukaran pola pikir masyarakat yang telah menjadi lebih instan dan tidak mempertimbangkan proses dalam menilai suatu hal. Dulu mereka dengan setia melihat bagaimana setiap penjahit meliuk-liukkan jarumnya, tapi sekarang mereka lebih suka beli barang yang langsung jadi di mal dan butik. Namun ketika manusia telah merasakan keanekaragaman material tersebut, mereka suatu saat juga menjadi hampa sehingga tak mendapatkan kebahagian sehingga menjamurlah orang-orang yang mencari kebahagiaan untuk menjahit kepedihannya. Inilah suatu fenemona yang disebut kehampaan spiritual karena hidup didunia yang materialistis. Ketika mereka telah memiliki semuanya, mereka tak juga bahagia karena masih merasa hampa karena kosongnya jiwa. Hal ini disebabkan tidak adanya kegiatan spiritual. Kegiatan melihat penjahit melakukan jahitannya pada masa dulu bisa jadi suatu analogi kegiatan spiritual sehingga ada suatu kenyamanan dalam hati pada saat melakukan atau menyaksikan.

Cerita keempat dalam bagian cerpen ini adalah ‘’Pelancong Kepedihan’’. Di sini diceritakan fenomena pelancong dari luar yang berwisata untuk menyaksikan kesedihan pada suatu kota. Di sana para pelancong sangat terkagum-kagum melihat kesedihan dan kemelaratan yang ada karena tidak merasakan dan melihat hal tersebut di negerinya. Mereka membawa bekal dan beberapa persediaan dokumentasi. Mereka mengambil foto apa saja yang dilihatnya dan kadang-kadang mereka juga berfoto dengan penduduk setempat yang tertlihat menyedihkan. Konon pula foto itu juga dijadikan perangko yang dibanggakan sebagai bukti mereka pernah ke kota kepedihan. Salah satu hal yang membuat para pelancong tertarik adalah dimana kota ini dibangun untuk keruntuhan. Maka ketika bumi di kota ini tanahnya bergerak, para pelancongpun langsung bereaksi memperlihatkan ketertarikannya dengan apa yang terjadi.

Tentu saja imajinasi ini akan terasa tidak logis. Namun intensitas yang dibangun tentunya bukan bertujuan untuk membujuk logika, namun lebih kepada upaya untuk menyentuh perasaan. Hal ini dilakukan dengan pembuatan realita cerita yang hiperbola. Agus Noor juga memainkan bayangan diluar lingkaran yang ada untuk memberikan satir atas apa yang menjadi fenomena bagi Indonesia yang sering mengalami keruntuhan. Mulai dari keruntuhan secara fisik sampai dengan keruntuhan secara moril. Indonesia sebagai bangsa yang akrab dengan bencana akhir-akhir ini memang telah menyerap perhatian Internasional. Maka banyaklah orang asing yang berdatangan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Apakah pelancong yang disangkakan oleh Agus Noor adalah sejumlah lembaga pemerintah ataupun NGO asing yang berkunjung dengan kedok kemanusiaan. Sejumlah kejadian telah memperlihatkan hal tersebut, seperti tsunami Aceh, gempa Jogja dan gempa Padang. Memang terkesan terlalu verbal untuk menuduh mereka sebagai pelancong di dalam cerita. Namun kembali lagi kita menilik pada hakikat sastra sebagai suatu representasi suatu realita. Sastra tidak menuduh, akan tetapi adalah mencoba untuk menggugah pembaca melalui imajinasi yang ada sehingga dapat menjadi pegangan ataupun suatu antisipasi.***


Bayu Agustari Adha
Penulis yang rajin membaca karya-karya baru serta menulis esai. Bayu adalah Tutor Bahasa Inggris di EasySpeak.

Saturday, October 6, 2012

Sastra dengan Karakter Bukan Manusia

Published on Riau Pos 30 September 2012, click link below
http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=690&kat=2

UNSUR dalam sastra yang berperan penting adalah karakter. Dalam penyajian sebuah karya sastra khususnya fiksi, karakter tersaji dengan sudut pandang tertentu. Inilah yang nanti akan jadi narator sebuah fiksi. Ada beberapa sudut pandang yang disediakan dalam penyuguhan karya sastra. Di antaranya sudut pandang orang pertama, kedua dan ketiga. Sudut pandang orang pertama adalah si aku dan/atau kami dalam cerita. Si aku menceritakan segala hal menurut apa yang dipikirkan dan dialami si aku mengenai dirinya maupun karakter lainnya. Orang kedua adalah kamu dan kalian, sudut pandang ini jarang digunakan karena susah diterapkan. Sudut pandang ketiga adalah narator sebagai orang di luar cerita sehingga sering disebut menggunakan sudut pandang ketiga adalah yang tahu segala yang ada dalam cerita tanpa terlibat dalam alur cerita.

Karakter dalam sastra secara umum dipahami sebagai orang yang direpresentasikan dalam sebuah alur cerita. Tiap karakter memperlihatkan karakteristiknya melalui berbagai sudut pandang di atas. Umumnya secara konvensional karakter dalam cerita adalah manusia, namun seiring ekplorasi kegiatan sastra, karakter tak hanya manusia. Karakter bukan manusia ini mungkin diprasangkakan sebagai karakter makhluk hidup lainnya, seperti binatang atau makhluk gaib dan fantasi. Meski bukan manusia, mereka masih memiliki karakteristik manusia yang berpikir. Namun yang dimaksud di sini sebagai karakter bukan manusia adalah karakter yang merupakan benda mati dan mereka jadi karakter dalam cerita. Ini tentu jadi suatu hal yang terasa tak logis, tapi tentu penulis punya intensitas tersendiri di dalamnya baik itu estetika ataupun tataran nilai.

Fenomena gaya penulisan seperti ini dapat kita lihat pada cerpen Norman Erikson Pasaribu, ‘’Sepasang Sosok yang Menunggu’’ di Kompas Ahad (9/9/2012). Dalam cerpen ini yang jadi karakter adalah sebuah boneka dan sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang pertama dimana cerita dikelola si boneka tersebut. Contoh lain adalah cerpen Ayu Maesa Djenar, ‘’Mandi Sabun Mandi’’, salah satu dari kumpulan cerpen Jangan Main-main (dengan Kelaminmu). Sebenarnya cerpen ini memakai sudut pandang ketiga dimana ada narator yang menjadi pemandu cerita. Tapi, para karakter benda mati yakni cermin dan meja diketahui karakternya melalui dialog-dialog yang diucapkannya bukan melalui pandangan narator sehingga secara tak langsung si karakter juga bertindak dengan sudut pandangnya.

Dalam cerpen Norman Erikson Pasaribu, sepasang boneka adalah karakter dalam bentuk benda mati. Salah satu boneka jadi narator untuk alur yang disuguhkan. Dengan demikian jelas sekali sudut pandang yang dihadirkan adalah melalui boneka ini. Dia (boneka) menceritakan dirinya dan apa yang dialaminya dalam kerangkanya berhubungan dengan Jack, si tokoh protagonis. Boneka bertindak layaknya manusia, dia mengutarakan perasaannya mengenai nasibnya dan pandangannya. Mulanya dia menceritakan keberadaannya di sebuah tempat lembab dan penuh asap di mana botol minuman berjejer pada lemari. Bersama boneka-boneka lain dia berada di tempat itu. Layaknya manusia punya juga satu boneka yang sentral dalam pikirannya. Dia pun berkelakar pada boneka lainnya ‘’Kamu memiliki banyak teman sementara aku sendirian. Teman-temanmu menghilang bersama pengunjung  yang pulang, satu demi satu. Hingga hanya kita berdua yang tersisa’’. Bisa dipahami, boneka ini menyalurkan sudut pandangnya melalui nasib yang dialaminya dimana dia bersama boneka yang satu lagi merupakan sisa-sisa yang tak dilirik di antara boneka lainnya. Secara estetika itu sangat menggugah emosi dimana ini menghadirkan refleksi ke pembaca untuk juga memahami bahwa boneka pun punya rasa kesedihan.

Alur cerita mulai beranjak kala Jack membawa mereka ke rumahnya karena ingin menghadiahi anak perempuannya sepasang boneka saat ulang tahun. Tinggallah kedua boneka itu kembali bersama di tempat yang berbeda. Kehidupan baru pun dijalani sepasang boneka ini bersama Mary, anak Jack. Bersama-sama mereka melalui hari-hari yang unik dimana Mary memperlakukan mereka tanpa kata-kata. Seakan-akan ketiganya saling memahami tanpa perlu bahasa. Suatu waktu tibalah momen yang mengakhiri kebersamaan mereka bertiga. Dalam pandangan si boneka Mary dibawa terbang oleh sesosok berpakaian putih. Artinya Mary telah tak berada di dunia lagi. Itu terlihat dari pandangannya terhadap Jack yang terus menangis. Boneka berceloteh meneriaki Jack, ‘’Cari dia, seseorang telah menculiknya! Namun dia tak hiraukan kita. Jack dan istrinya Jane hanya menangis, entah mengapa dan untuk apa. Apa yang terjadi, Jack? Mengapa kamu menangis? Mengapa hanya menangis?’’. Cara seperti ini tentu mengundang simpati. Kehidupan Jack pun kacau. Ia sering pulang malam dan mabuk-mabukan menurut pandangan boneka itu.

Tiba akhirnya Jack punya ide membuka toko boneka. Kehidupan yang lebih baik kembali datang dimana Jack sudah mulai bergairah. Mereka bersanding dengan boneka-boneka lain dan berharap tak ada yang membawa mereka karena sudah nyaman bersama Jack. Suatu saat pernah seorang gadis ingin membeli salah satu boneka yang adalah boneka perempuan bersepatu. Dengan polosnya boneka satu lagi berharap boneka itu tak dibawa karena tak ingin berpisah dan begitu pula perasaan boneka satunya lagi. Untungnya Jack tak menjualnya karena ia berkata bahwa itu boneka anaknya. Tiap hari mereka menikmati hidup bersama Jack dan Jane. Boneka yang narator berada tepat di depan cermin dan boneka perempuan dalam lemari kaca. Kadang-kadang mereka di bawa makan bersama oleh Jack dan Jane dan juga bercanda tawa serta sering mengucapkan kalimat ‘’aku mencintaimu’’ dimana dalam pandangan boneka narator dia juga jadi sering ingin mengucapkan itu ke boneka perempuan. Seiring waktu, Jane juga telah meninggalkan mereka dan tak beberapa lama kemudian Jack juga. Sebelum pergi akhirnya Jack bicara ke boneka untuk pamit pergi menyusul Mary dan Jane.

Kepolosan boneka inilah yang membuat cerita jadi sangat hidup. Di dalamnya ada kejujuran dan sikap yang dilandasi tanpa niat jahat sekecil apapun. Salah satu yang membuat cerpen ini menarik memang dalam segi estetika dan daya imajinasi pengarang yang pandai merekayasa cerita melalui karakter boneka menjadi sangat menyentuh. Bisa juga dilihat di sini bahwa adanya pergeseran nilai pandangan terhadap manusia. Karena cerita ini secara implisit bisa diinterpretasikan sebagai contoh komparasi antara manusia yang berakal dan benda mati yang tidak. Itu terjadi pada sudut pandang manusia yang cenderung tak dipercayai lagi karena selalu berpandangan dalam kerangka subjektif. Beda dengan benda mati yang berpandangan polos. Dalam kata lain, pemilihan benda mati sebagi karakter adalah implikasi dari ketidakpercayaan lagi terhadap manusia.

Pada cerpen lainnya karya Ayu Maesa Djenar, ‘’Mandi Sabun Mandi’’, karakternya adalah meja dan cermin. Karakter-karekter ini adalah properti dalam suatu kamar motel. Cerpen ini menceritakan adegan hubungan intim yang disaksikan cermin dan meja dan meja dan mereka melakukan dialog di sini. Dialog itu merupakan pembicaraan mereka tentang pasangan yang berhubungan dan sesekali mereka juga taruhan mengenai proses hubungan intim sendiri, ejakulasi dalam atau luar. Meja dan cermin hadir tak berkomunikasi dengan karakter pasangan yang berhubungan. Mereka ternyata bukan pasangan resmi, satu lelaki setengah baya dan satu lagi perempuan Indo muda.

Pemunculan karakter cermin dan meja di sini adalah suatu satir pada kehidupan modern ala urban di kota besar. Ini menggambarkan pola hidup kebohongan dengan direpresetasikan selingkuh. Satire atau sindiran yang ingin dialamatkan adalah untuk mengejek manusia yang merasa mereka bisa bersembunyi dan tampil palsu dalam realitanya. Kecongkakan ini terbantahkan bahwa sebenarnya sepandai apapun kita bersembunyi pasti ada yang melihat kita, dalam cerpen ini direpresentasikan oleh cermin dan meja. Adanya karakter ini juga ingin memperlihatkan bahwa ulah manusia yang telah melampaui batas dalam bermain dengan kesenangan dunia. Ini diperlihatkan di mana meja dan cermin pun juga menggeleng dengan perilaku manusia seakan-akan makhluk yang dikaruniai akal, tapi berlaku seperti binatang yang mementingkan nafsu seperti terlihat dari dialog di bawah ini,

‘’Cermin bukankah itu perempuan yang datang kemarin?’’
‘’Ya. Meja.’’
‘’Tapi ia tak bersama laki-laki yang kemarin.’’
‘’Meja... meja... begitu saja kok heran. Lelaki itu juga sering gonta-ganti pasangan kemari.’’
‘’Wah...wah... jaman modern sekarang ini tak ada yang luar biasa lagi ya cermin. Semuanya menjadi super biasa.’’

***

Bayu Agustari Adha
Tutor Bahasa Inggris di EasySpeak

Saturday, September 22, 2012

Sastra Keroyokan ala Kaum Urban

Published on Riau Pos 12/092012 http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=635&kat=2


Ibarat teknologi, sastra juga berkembang melalui inovasi-inovasi yang dilakukannya. Baik itu dalam penerbitan, konten dan konsep penulisan. Dalam hal menerbitkan sebuah karya sastra, sekarang tak lagi melalui metode konservatif walau metode itu masih umum berlaku. Saat ini dalam menerbitkan, kita bisa menerbitkan sendiri. Tak seperti dulu di mana seorang penulis harus memantapkan nama dulu dan pada akhirnya ada penerbit yang tertarik.

Seiring berjalannya waktu terdapat ketidakpuasan atas penerbit yang hanya berorientasi profit sehingga muncul perlawanan di situ di mana seakan-akan penerbit telah melakukan monopoli. Sekarang siapapun bisa menerbitkan karya sastra tanpa harus melalui penerbit. Jika ada modal yang cukup atau bantuan dana, karya bisa diterbitkan sendiri dengan menanggung seluruh biaya produksinya. Bahkan bila tak ada modal pun karya bisa juga dipublikasikan di dunia maya, jika ada yang pesan maka buku siap dicetak. Bila juga tak bisa dicetak, penulis juga bisa jadi penulis di dunia maya melalui e-book, blog, atau jadi sastrawan facebook (jaringan sosial).

Dalam hal konten sebuah karya sastra, terhitung sejak reformasi 1998 telah banyak inovasi sastra yang terlempar ke publik. Dari fenomena munculnya label ‘’Sastra Selangkangan’’ oleh beberapa oknum pada penulis-penulis wanita, beberapa nama seperti Ayu Utami dan Ayu Maesa Djenar. Kemudian muncul pula genre sastra yang sering dikelompokkan sebagai Sastra Islami seperti ‘’Ayat-Ayat Cinta’’. Setelah itu bejibun pula teronggok karya-karya sastra sejenis. Hingga sampai akhirnya muncul Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi. Wajah per’sastra’an Indonesia semakin semarak. Diikuti juga oleh A Fuadi dengan Negeri Lima Menara-nya. Karya Sastra curhat pengalaman pribadi yang menawarkan sebuah inspirasi.

Sementara itu, dalam hal konsep cara penulisan sastra juga mengalami mobilisasinya tersendiri. Tradisinya sastra ditulis oleh seseorang yang isinya merupakan suatu paduan ide pemikirannya dan beberapa di antaranya dibumbui sentuhan para editor. Sekarang muncul lagi suatu terobosan baru dimana karya sastra ber-genre fiksi ditulis secara kolektif sehingga membentuk suatu padanan karya yang menyatu. Tren ini belum diketahui persis apa motifnya, apakah karena kekeringan ide ataukah hanya untuk menunjang sebuah inovasi. Salah satunya juga dilakukan Ayu Maesa Djenar berjudul 1 Perempuan 14 Laki-laki yang ditulis bersama beberapa kolega yang umumnya bergelut di dunia seni dan hiburan.

Selain karya tersebut, ada juga karya hasil keroyokan beberapa pengarang dengan judul novel Love Asset yang ditulis 14 wanita dari berbagai latar belakang profesi yang tergabung dalam komunitas Women Scipt ‘n Co. Karya tersebut mencerminkan kehidupan ala urban yang mungkin sering kita lihat dalam layar penyalur budaya pop yakni televisi. Aroma, citarasa dan romantika  kehidupan urban sangat kental sekali diperlihatkan melalui simbol-simbol bahasa kekotaannya, trending topic-nya dan kisah pelajaran moral normatifnya.

Kaum urban apabila dirujuk dalam pengertian dari konsep urbanisasi memang adalah kaum yang berpindah dari desa ke kota. Tapi untuk periode ini urban tak bisa diartikan lagi secara umum sebagai orang desa yang ditinggal di kota. Karena pada umumnya di daerah urban seperti Kota Jakarta yang dipenuhi para pendatang. Orang yang lahir di Jakarta pun telah bisa dikatakan urban mengingat pola hidup yang telah tercipta sebagai kota majemuk. Dalam mengarungi atmosfer tersebut terdapat beberapa ciri yang menjatidirikan sebagai kaum urban perkotaan. Di antaranya adalah pemakaian bahasa, tak hanya dalam hal linguistik tapi juga latar yang menghasilkan suatu produk bahasa. Kecenderungan itu terlihat dalam tata cara pemilihan kata untuk menandakan sesuatu. Dalam novel ini terdapat banyak sekali produk bahasa yang ingin mencirikan dirinya sebagai kaum urban.

Tentunya pemakaian bahasa asing menjadi ciri umum masyarakat urban mengingat ibukota seperti Jakarta adalah pintu gerbang masuknya serangan budaya global. Contohnya adalah kata bed cover yang sejatinya berarti alas kasur, namun dalam hal diksinya penulis memilih kata bed cover. Memang tak ada salahnya untuk memilih kata bed cover, tapi disinilah letak suatu kecenderungan untuk diakui sebagai orang perkotaan. Virus ini jika dilihat secara kasat mata memang telah menjamur di kalangan masyarakat urban yang tentunya hanya dengan motif untuk dianggap sebagai kaum yang high class. Dalam kehidupan sehari-hari hal ini mudah sekali terlihat seperti apa yang kita lihat ketika Agnes Monica yang sering memakai beberapa kata bahasa Inggris dalam kalimatnya.

Tak hanya kata yang ada padanannya pada bahasa Indonesia, namun kaum urban juga mengartikulasikan kata yang tak ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Hal ini mengacu umumnya pada penyebutan suatu benda yang langsung kepada mereknya. Seperti halnya jas hitam Vercase, parfum Emprio Armany diamond, real estate, parcel diamond dan Pantr. Tak semua orang akan paham dengan bahasa-bahasa seperti ini dan mirisnya hal ini hanya pretensi yang sebenarnya ingin menarsiskan dan menasbihkan diri sebagai kaum elit.

Kemudian dalam hal pemilihan topik utama atau trending topic novel ini juga melihatkan ciri yang sangat urban. Apalagi kalau tidak kalau topiknya adalah cinta dan karir. Memang topik cinta adalah hal yang universal dan pasti tak bisa dihilangkan dari zaman dahulu sampai sekarang. Tapi, tentu tidak pula hal ini dianggap sebagai sesuatu yang sublim dan masih banyak lagi topik yang mungkin lebih bermanfaat lagi bagi kalangan layak. Lebih detailnya lagi dalam hal proses aplikasi cinta itu sendiri. Jelas sekali bahwa praktik cinta yang disodorkan adalah murni tata cara cinta serapan budaya luar yang tentunya tidak bisa dianggap umum bagi Indonesia.

Dalam novel ini menceritakan kisah cinta antara Ratu dan Adam dimana proses dalam bagian awal adalah aksi Adam yang menggunakan helikopter untuk memperlihatkan cintanya. Adam dengan pilot helikopternya terbang mendekati jendela apartemen Ratu untuk memberikan kejutan untuk menyatakan ‘’Maukah kau menikah denganku?’’. Kalimat ini nyata sekali merupakan saduran murni dari perkataan will you marry me? Ungkapan yang diucapkan seseorang untuk melamar pasangan di negara maju. Yang jadi pertanyaan adalah haruskah proses cinta seperti ini. Sangat jelas sekali bahwa dinamika kaum Urban memang mengekor pada pola terapan budaya luar. Tak bisakah dengan cara lain?

Kemudian cerita berlanjut dengan tiba-tiba saja helikopter disambar petir dan Adam terluka masuk rumah sakit. Dalam hal itu ternyata Ratu merupakan simpanan papanya Adam. Ratu jadi bingung namun dia teguh untuk terus mencintai Adam yang setelah itu lumpuh dan berkuat hati merawat sampai Adam benar-benar sembuh. Konflik pun terjadi dimana Ratu hanya dibolehkan menemani Adam hanya sampai sembuh oleh Papa Adam dan mamanya yang juga membenci Ratu. Adam pun mengetahuinya dan menolak untuk sembuh karena percuma apabila dia sembuh dia tak bisa bersama Ratu. Begitulah, cerita yang sering kita temui di layar sinetron.

Satu lagi nilai yang rata-rata sering diwacanakan oleh para kaum urban adalah kisah perjuangan hidup seseorang dalam mengarungi terjalnya kehidupan. Diceritakan Ratu yang dulu sepeninggalan ayahnya berusaha mandiri menolong ibunya untuk membiayai hidupnya dan keluarganya. Ratu rela tak menikmati masa mudanya dengan berkegiatan membuat kue, menjajakannya dan meramu jamu tradisional. Tak hanya itu Ratu juga pintar menjahit dan lambat laun dari mulut ke mulut usahanya berkembang. Selepas SMK, Ratu memutuskan kuliah di Jakarta. Di sana dia tinggal bersama Tantenya yang kejam dan suami yang selalu berpikir mesum terhadap Ratu. Hari-hari ratu diwarnai oleh pelecehan yang dilakukan oleh tante dan suaminya.

Melihat kisah tersebut, tampak sekali ciri-ciri cerita Indonesia yang biasa kita saksikan di layar kaca. Kaum urban dengan kehidupan dan romantikanya mengarungi kehidupan di kota besar. Inipun semakin mengukuhkan ciri Indonesia yang haus akan cerita yang mengharapkan belas kasihan dan kisah inspiratif  dari zero to hero. Satu lagi tentunya kaum urban juga sangat dekat dan merasa sehati bila menyelami cerita-erita seperti ini. Menjadi suatu kejanggalan mengapa selalu banyak kisah dihadirkan seperti ini. Apakah semua orang mengalami hal seperti ini dan apakah ada karakter yang benar-benar kejam seperti itu layaknya Mariam Belina di sinetron Kisah sedih di Hari Minggu.

Para pengarang sejatinya memang berhak menuliskan apa saja dalam karyanya. Ketika itu sudah terlempar ke khalayak, itu sepenuhnya tak menjadi domain pengarang lagi. Ya, itu hanya jargon yang sebenarnya hanyalah suatu pelarian tanggung jawab. Tapi, dilain pihak para pembaca juga berhak menyatakan pendapatnya dan jangan menganggap bahwa pembaca sebagai silent majority atau bersifat pasif. Cukuplah hanya di sinetron kita menikmati cerita-cerita seperti ini. Solusinya perlu diadakan kontrol disini yakni melalui pembaca itu sendiri. Pembaca harus lebih meningkatkan pola resepsi pada hal-hal yang dikonsumsinya. Bila tidak, pembaca yang hanya larut dalam buaian alur cerita akan menjadi suatu bentuk mimesis dari karya yang disodorkan penulis. Bertolak belakang dengan anggapan Plato yang menganggap bahwa sastra adalah tiruan dari realita. Akan tetapi disini karya sastra bukan lagi sebagai refleksi dari kenyataan, tetapi kenyataanlah yang menjadi refleksi dari sastra itu sendiri. Kenyataan menjadi bentuk tiruan dari apa yang dihadirkan oleh fiksi. Dalam hal ini pola kehidupan urban yang diciptakan akan mempengaruhi pembaca sehingga aksi yang dilakukannya adalah tiruan dari fiksi.***

Friday, August 10, 2012

Pertarungan Ideologi dalam Sastra

Add caption

Published on Riau Pos 12/08/2012/
http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=581&kat=2


Sastra berfungsi tidak hanya memberikan hamparan kisah yang tertera begitu saja. Namun dibalik itu sastra juga menyelipkan suatu pertarungan ideologi dalam konflik dan alur yang disajikan. Ideologi merupakan satu set ide dan gagasan yang terdapat dalam satu kelompok, kaum, bahkan Negara. Walaupun hanya bersifat fiksi tapi emosi yang disajikan terbukti lebih lama membekas dari pada karya non fiksi. Hal itu bisa dilihat pada karya Khaled Hosssaini berjudul “The Kite Runner” yang secara implisit menyajikan suatu pertarungan ideologi yang membuat suatu Negara yakni Afganistan menjadi Negara hancur berantakan tanpa henti sampai saat ini. Apa yang membuatnya menjadi hancur adalah pertarungan ideologi yang saling memaksakan tanpa adanya suatu negasi. Ideologi itu diantaranya Nasionalisme,  Liberalisme, Komunisme, dan Fanatisme.
Ideologi Nasionalis berhegemoni disini dalam kerangka yang dangkal. Nasionalisme ini beranjak dari primordialisme  suku dominan yang ada di Afganistan. Watak budaya membesar-besarkan ini menjadi suatu ciri khas orang Afgan. Jika seseorang mengatakan anaknya seorang dokter maka kemungkinannya anak itu hanyalah pernah lulus ujian Biologi. Inilah kecintaan pada tanah air yang dibesar-besarkan sehingga membawa dampak buruk pada masyarakat itu sendiri. Dalam novel ini digambarkan suku  mayoritas yakni Pashtun yang menginferiorkan suku Hazara. Diceritakan karakter utama Amir yang seorang Pasthun mempunyai teman bermain yang merupakan anak jongos keluarganya yakni Hassan bersuku Hazara. Amir memang tidak menganiaya ataupun menyiksa Hassan, akan tetapi watak superioritas sebagai suku Pasthun tetap tertanam pada tindakannya walaupun tidak sebenarnya dalam hati. Baba Amir dan ayah Hassan, Ali, dulunya juga seperti itu mereka besar bersama dengan perbedaan majikan dan pembantu.  Mereka selalu main bersama namun tak pernah sekalipun baik Baba ataupun Amir menyebut Ali dan Hasan sebagai teman.
Tindakan terjadi hanya karena konstruksi masyarakat Afgan yang memberi paradigma rendah pada orang Hazara. Dalam kesehariannya, Ali dan Hassan sering mendapat olok-olokan dari kaum Pasthun yang berbeda secara fisik dengan kaum hazara. Setiap hari Ali memperoleh cemoohan dari remaja yang agak besar dengan sebutan Babulu atau Hantu. Kutipan hinaan itu diantaranya “Hei, Babulu, Apa yang kamu makan hari ini?” teriakan itu disambut derai tawa.  Mereka menyebutnya pesek, begitulah ciri-ciri Ali dan Hassan dan kebanyakan suku Mongol Hazara. Suku ini keturunan Mongol dan sedikit mirip dengan orang Cina. Julukan-julukan untuk orang Hazara diantaranya  pemakan tikus, pesek, dan keledai pengangkut barang. Malangnya stigma ini terus terwarisi sampai pada anak-anak yang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Hassan juga kerap diperolok, terutama oleh Assef, tokoh antagonis di novel ini dengan sebutan-sebutan di atas.
Assef menjadi representasi nasinalisme yang bermuara pada fasisme. Dia merupakan pengagum Hitler dengan ibu keturunan Jerman dan Ayah seorang Pasthun. Satu setting menceritakan assef bersama temannya mencegat Amir dan Hassan untuk membiarkannya menyiksa Hassan seorang Hazara. Dia mengatakan “Afghanistan adalah Negara milik bangsa Pasthun. Dari dulu begitu, dan akan selalu begitu. Kita adalah orang-orang Afghan sejati, orang-orang Afghan murni, tidak seperti si pesek ini. Kaumnya mengotori tanah air kita.” Assef tak hanya marah kepada Hassan, tetapi juga kepada Amir karena telah bermain bersama dengan Hassan. Dalam hati Amir bahwa Hassan bukan temannya melainkan pembantunya, namun karena segan Amir tak mengatakannya. Hassanpun melindungi Amir dengan menggertak Assef dengan ketapelnya. Kekalahan Assef ini menjadi dendam yang semakin besar dan abadi baginya..
Tak hanya hubungan persukuan yang membuat suatu nasionalisme sempit seperti ini, aliran agama juga menegaskannya walaupun sama-sama Islam. Pasthun menganut Sunni dan Hazara sebagai Syi’ah. Latar belakang utama penindasan ini memang adalah perbedaan Mahzab agama ini. Hal itu tetap dijaga. Pernah suatu ketika Amir mempertanyakan ini pada Guru agamanya namun gurunya hanya mencibir dan mengatakan bahwa orang Iran memang ahli mengarang cerita. Guru tersebut menyerngit ketika menyebut kata Syiah seolah-olah itu adalah suatu penyakit. Pada saat Amir membaca buku karangan Iran mengenai suku Hazara. Dia baru mengetahui bahwa ternyata kaum Pasthun telah menindas dan memperlakukan suku Hazara dengan buruk. Hazara coba melawan tapi dapat dihentikan dengan kekerasan yang tak bisa terkatakan. Pasthun mengusir Hazara dari tanahnya, membakar rumahnya dan menjual para wanitanya
Namun disisi lain pemikiran ini juga mendapat perlawanan dari orang Pasthun sendiri yang berupa pemikiran liberal. Hal itu dapat dilihat dari karakter ayah Amir sendiri, Baba yang menunjukkan kejijikannya pada kaum Sunni yang merasa sok suci. Hal ini terlihat ketika Amir mengatakan kepada ayahnya bahwa menurut guru agamanya minum Wiski itu haram. Baba dengan percaya diri mengatakan bahwa apa yang dipelajari di sekolah tak akan menemui titik temu dengan kenyataan. Bahkan dia mengatakan
“tapi sebelumnya pahamilah ini terlebih dahulu, Amir: Kau takkan pernah belajar hal-hal yang berguna dari para idiot berjenggot itu. Mereka tidak melakukan apa-apa kecuali menghitung butiran tasbih dan  memamerkan hafalan isi buku yang ditulis dengan bahasa yang tidak mereka pahami. Kuharap Tuhan melindungi kita semua jika suatu saat Afghanistan jatuh ke tangan mereka”
Pernyataan ini jelas mencerminkan seseorang yang berideologi liberalisme karena kecendrungan sering menganggap kaum yang berlabel agama adalah pendongeng tanpa logika yang melakukan pembenaran dengan hafalan ayatnya.
Baba sendiri adalah orang yang tergila-gila dengan gagasan tentang Amerika. Dia juga pernah mengatakan bahwa di dunia ini hanya ada tiga lelaki sejati yakni sang penyelamat gagah berani, Inggris, dan Israel, selebihnya adalah mereka yang sama saja dengan nenek-nenek yang hobi bergosip. Tentu saja pernyataan ini menyentak banyak orang karena secara de facto memuja Israel tentu saja mengindikasikan anti-Islam. Tapi dia menyatakan bahwa semua ini tidak ada hubungannya dengan agama. Dimatanya Israel adalah pria sejati di sebuah pulau dikelilingi oleh lautan bangsa Arab yang terlalu sibuk memikirkan produksi minyak mereka sehingga tidak peduli pada nasib bangsa sendiri.”lakukanlah sesuatu untuk mengatasi masalah! Bertindaklah. Kalian kan orang Arab, pergi sana, tolong orang Palestina!”, serunya.
Hingga sampai akhirnya Uni Soviet menginvasi Afghanistan, maka masuklah satu ideology lagi yakni komunisme. Ideologi buruh yang tumbuh menjadi gerakan otoriter di atas segala pembenaran. Ideologi yang pertamanya menyokong majunya kaum buruh malah berujung kekejaman oleh para tentara Uni Soviet. Afghanistan yang sedang gagap berideologi harus menelan lagi paksaan ideologi baru. Apa yang dilakukan oleh Uni Soviet jelas bertentangan karena yang terjadi di lapangan sebenarnya hanyalah nafsu kekuasaan sebagai pertarungan Negara adidaya dengan Amerika sehingga segala hal yang berhubungan dengan Amerika dimusnahkan. Itu terjadi kepada pihak Afghan segala aspek sampai-sampai pada hal-hal budaya pop seperti musik. Di novel ini seorang musisi modern menjadi seperti anjing oleh tentara Rusia hingga akhirnya tewas menggenaskan.
Dalam aksinya para penginvasi dengan sesukanya memetakan aliran ideologi para penduduk tanpa jelas kriterianya. Dengan menggunakan cecunguk dari Afghanistan sendiri Tentara Uni Soviet telah membantai begitu banyak jiwa yang terindikasi tidak berafiliasi pada komunis. Mereka diam-diam menguping pembicaraan orang lain. Komentar kecil yang terlontar saat menunggu penjahit mengupas baju bisa mengirim seseorang ke penjara bawah tanah Poleh-Charki. Keluhan tentang pelaksanaan jam malam yang dilontarkan di hadapan tukang daging bisa mengantarkan seseorang menghabiskan waktunya dibalik jeruji, dibalik hadapan moncong senapan klashinov. Kejadian ini berlangsung begitu lama sehingga menyebabkan Afghanistan menjadi Negara tanpa masa depan karena sibuk dengan rutinitas perang.
Hingga akhirnya pada tahun 1989, Uni Soviet meninggalkan Afghanistan. Seharusnya penarikan pasukan itu menjadi kemenangan bagi penduduk Afghanistan. Tetapi perang terus berkecamuk, kali ini antar warga Afgan sendiri, kaum Mujahiddin melawan pengikut Najibullah, pemerintah boneka Soviet. Gelombang pengungsi Afgan terus membanjiri Pakistan. Pada tahun itu pula perang dingin berakhir dan tembok Berlin dirobohkan. Namun di tengah kekacauan itu, Afghanistan terlupakan. Kabul saat itu menjadi rebutan antara faksi-faksi yang ada. Ibukota Afghanistan ini telah jatuh ke tangan Massoud, Rabbani, dan kelompok Muhajiddin antara 1992-1996. Telinga menjadi terbiasa mendengar desingan peluru dan ingar bingar adu tembak. Sedangkan mata menjadi akrab dengan pemandangan seseorang manggali timbunan puing-puing bangunan untuk mencari tubuh sanak saudaranya sampai pada saat Taliban memenangkan pertikaian 1996.
Pada masa Taliban inilah muncul lagi satu ideology yang semakin memperparah keadaan yakni Fanatisme. Pada mulanya memang semua orang di Afganistan menyambut Taliban dengan sukacita. Para warga menari di jalanan dan menyapa prajurit Taliban seperti pahlawan, memanjat tank mereka dan berfoto bersama. Namun itu hanya berjalan sesaat, tanpa diduga Taliban melakukan hal-hal yang tidak masuk akal atas nama agama dengan memerangi rakyat Afghan sendiri. Permainan layang-layang diharamkan dan 2 tahun setelah berkuasa mereka membantai suku Hazara yang beraliran Syiah.
Tak hanya itu, Taliban juga melakukan ketidakadilan kepada kaum perempuan. Hal itu terjadi ketika istri Hassan berbelanja di pasar. Dia membeli sesuatu, namun karena penjualnya agak sedikit tuli dia bersuara agak keras. Hal itu terdengar oleh tentara Taliban dan langsung menghampiri dan memukuli sembari mengatakan bahwa kementrian kesusilaan melarang wanita bersuara keras. Hal ini jelas menandakan pemahaman sempit oleh Taliban sehingga hal-hal yang perlu dinegosiasipun diabaikan. Karena Hassan adalah Hazara maka ancaman-ancaman kematian senantiasa menimpanya hingga akhirnya dia mati dengan ditembak kepala bagian belakang oleh Taliban karena identitas Hazaranya.
Fanatisme sempit ini juga diterapkan pada cara berpakaian. Afghan laki-laki diwajibkan memakai pakol sedangkan wanita memakai burqa dan laki-laki harus berjanggut sepanjang dada yang mereka anggap sesuai syariat. Jelas ini suatu pemahaman yang salah dari paham fanatisme yang dianut dengan mengatasnamakan syariah. Disisi lain para prajurit Taliban malah menasbihkan hal-hal tertentu hanya pada mereka seperti dimana hanya Taliban yang bisa menikmati daging kambing. Dalam keseharian operasionalpun mereka berpatroli dengan sangat kejam seperti orang kehausan untuk membunuh. Mereka terus memancing rakyat untuk berbuat kesalahan dan dengan begitu mereka bebas menindas sampai dengan membunuh. Ini makin menjadi pemandangan sehari-hari sehingga yang terlihat hanya seorang anak bersama ibunya tanpa ayah. Sebagian besar ibupun lebih memilih menumpangkan anaknya dipanti asuhan yang kondisinya menyedihkan karena wanita juga dilarang bekerja sehingga tak ada biaya untuk memenuhi kebutuhan. Seorang ayah telah menjadi suatu sesuatu yang langka di masa Taliban.
Pada masa itu ada satu kebiasaan yang gemar sekali dilakukan oleh Taliban yaitu prosesi perajaman kepada para pezina pada saat jeda istirahat pertandingan sepakbola. Setelah wasit membunyikan peluit turun minum pertunjukan tambahan segera dimulai. Dua truk merah berbak terbuka memasuki stadion melalui gerbang. Seorang wanita dengan terbungkus burqa hijau duduk di salah satu bak truk, sementara seorang pria dengan mata tersekap duduk di bak truk lain. Kedua truk berjalan mengelilingi lapangan seolah-olah membiarkan seluruh penonton memperhatikan mereka. Truk berhenti di belakang gawang yang telah menyediakan dua lubang. Kemudian datang lagi satu truk berisi pasukan Taliban. Kemudian mereka memasukkan kedua pezina ke masing-masing lubang sedalam dada. Kemudian berbicaralah seorang ulama dengan melafalkan surat Al-qur’an yang panjang. Lalu ulama itu berceramah mengenai keharusan menegakkan Syariat kehendak Allah dan Nabi Muhammad. Lalu dimulailah acara inti dimana seorang pria memungut batu dan memperlihatkannya kepada penonton lalu melemparkannya kepada para pezina sampai akhirnya daging dan darah berserakan. Pertunjukanpun selesai.
Peristiwa ini secara naluriah jelas suatu tindakan yang bersifat sadisme yang semakin mejauhkan Islam sebagai agama yang damai. Hal itu terjadi karena fanatisme sempit yang tak bisa menyaring dan menterjemahkan hukum Allah sehingga terjadi salah tafsir dimana perlu dilakukan peninjauan terlebih dahulu
Karakter yang merepresentasikan ideology fanatisme ini ternyata tak lain adalah Assef. Seorang pengagum Hitler yang menjelma menjadi Taliban. Jelas disini bahwa Taliban telah menjadi wadah baginya untuk melampiaskan hasrat fasisme yang dianutnya. Terang sekali bagaimana perselingkuhan ideologi Fasisme dengan fanatisme yang berupa Taliban. Dalih Syariat itulah yang digunakannya, menurutnya
“Menegakkan keailan kepada masyarakat adalah pertunjukan terhebat. Drama. Ketegangan. Dan yang terbaik diantara semuanya adalah pendidikan missal. Kau tidak akan mengerti makna kata pembebasan hingga kau melakukannya, berdiri di hadapan seruangan target, membiarkan peluru melayang, membiarkan dirimu mengetahui bahwa dirimu lebih unggul, lebih baik, dan lebih mulia. Mengetahui bahwa dirimu telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan”
Begitulah upaya pembenaran yang dilakukannya. Tampak nyata bahwa dia menggabungkan ideologi Fasisme ala Hitler dengan Fanatisme sempit sehingga dia merasa melakukan sesuatu atas kehendak Tuhan.