Published on Padang Ekspress 21/04/2013
Sejarah
telah nyata membentangkan sastra sebagai agen kemanusiaan. Beragam karya telah
menyentuh emosi khalayak dengan mengedepankan sisi kemanusian. Seperti halnya
dari Shakespeare sampai Hemingway. Semangat ini terus menggejala sampai
sekarang layaknya awal kemunculannya sejak Renaissance. Bahkan istilah
humanisme sendiri muncul dari “Revival of Learning”nya pada teks-teks Yunani.
Kajian-kajian ini seakan menetapkan ranah sastra sebagai alat kemanusiaan
dengan memprioritaskan manusia di atas segalanya. Melalui hal inilah humanisme
dianggap sebagai “isme” yang banyak dianut masyarakat meskipun dalam prakteknya
tidak utuh, banyak hanya dalam tataran wacana dan ideologi.

Humanisme
berhasil menyingkirkan sekat-sekat perbedaan seperti agama dan bangsa.
Tujuannya sendiri memang adalah menciptakan terjadinya kehidupan yang harmonis
dan damai dengan melihat sisi-sisi kemanusiaan. Seiring perkembangannya,
humanisme menemukan dan mendapatkan resistensi dari sesuatu yang bertentangan
dengan humanisme. Dalam kontek dangkal tentunya ini dari kalangan agama dan
bangsa. Lebih rinci lagi lawan humanisme adalah fanatisme dan Fundamentalisme
pada pihak agama dan Rasialis dari pihak bangsa. Seringkali juga humanisme
menjadi alat pembenaran untuk melakukan misi kemanusiaan dengan fakta-fakta
yang tidak manusiawi. Sepeti George W Bush dengan jargon “War on Terorism”nya
yang membuatnya justru seperti teroris. Dlanjutkan dengan Obama yang membunuh
Osama dengan cara yang tidak manusiawinya. Apakah mungkin Humanisme harus
dilakukan dengan tidak humanis.
Akan
tetapi hal di atas hanya rantai dari wajah Eropa dan Global, lain lagi bila
kita bicara di Indonesia. Negara ini tak punya Renaissance, perlawanan terhadap
Vatikan, dan revolusi Industri. Dalam tataran ideal dan Undang-Undang memang
Indonesia sangat mengedepankan sisi kemanusiaan yang jelas terlihat bahkan
hanya dari pembukaan UUD 45. Namun dalam sejarahnya, banyak sekali hal-hal
ironis, miris, dan paradoks mengenai humanisme di Indonesia. Bangsa ini punya
ribuan masalah kemanusiaan, mulai dari konflik antar agama, antar suku dan
golongan, sampai antar ideologi. Sampai sekarang ini tak jelas apa akar
masalahnya dan siapa yang salah akibat semua peristiwa itu. Apa yang benar
dalam tataran Eropa dan dunia belum tentu benar di Indonesia dan apa yang salah
bisa saja benar di Indonesia. Seakan-akan benar juga apa yang dikatakan Justin
Bibier kalau Indonesia adalah “Random Country”. Segala ketidakjelasan ada
disini.
Tidak
hanya dalam kehidupan nyata, ketidakjelasan ini juga terlihat dalam karya
sastra. Salah satu contohnya pada novel “Maryam” kaya Okky Madasari. Novel ini
sendiri merupakan pemenang Khatulistiwa Literary Award 2012 kategori Prosa.
Terlepas dari ketidakjelasan penghargaan itu sendiri, novel ini berhasil
menyiratkan problematika kemanusian orang-orang Ahmadiyah. Konflik yang bukan
antar agama, melainkan intra agama. Okky mengekplorasi kesulitan Ahmadiyah
dalam cinta, eksistensi, dan sosial
kemasyarakatan. Kisah Ahamadiyah yang terusir dari tanah sendiri, terusir lagi
dari tanah berikutnya sampai hidup di pengungsian yang sampai sekarang belum
jelas kehidupannya dan bahkan kematiannya. Karena jika kematian menimpa
Ahmadiyah, kemana akan dikebumikanpun masyarakat juga ada yang protes.
Ketidakjelasan otoritas disini juga terang sekali mengenai siapa yang punya
kekuasaan. Apakah pemerintah, kaum Agamis, atau Masyarakat.
Cinta
merupakan suatu yang kodrati, kasarnya binatang juga memiliki cinta. Namun
semua tak berjalan mulus, ada lika-likunya. Kadang perbedaan menghalangi
seperti yang dialami seorang Ahmadi, Maryam. Ya, kisah picisan yang selalu ada
dalam dunia ini. Maryam yang seorang Ahmadi menghadapi rintangan dari orangtua
untuk tidak menikah dengan orang diluar Ahmadi, sementara itu orang diluar
Ahmadi juga menginginkan untuk tidak berpasangan dengan orang Ahmadi, disini
representasinya orang tua Alam, suami pertama Maryam. Ibarat bola pimpong,
Maryam dibolak-balik oleh para orang tua tersebut. Humanisme jelas tidak
bekerja pada kedua belah pihak orang tua. Pada diri masing-masing tersimpan
suatu eksklusivitas kelompok. Terlihat betapa alerginya Indonesia pada
perbedaan. Hanya Maryam dan Alam yang tidak memperdulikan perbedaan, namun
karena kuatnya pengaruh orang tuanya, Alampun menuruti untuk menyuruh Maryam
melepaskan identitas Ahmadiyah.
Terlihat
bahwa hanya Maryam yang merupakan humanis disini. Dia berpegang teguh bahwa
Ahmadiyah ataupun bukan Ahmadiyah sama-sama Islam. Maryam memenuhi satu unsur
humanisme yakni toleransi terhadap perbedaan dan tidak terlalu fasis dalam dalam
mengilhami suatu keyakinan. Namun Maryam melakukan hanya dalam tatanan ide dia
sendiri, dalam hal praktis Maryam mengamini untuk tidak humanis dengan
mengorbankan dia sendiri. Dia setuju untuk meninggalkan identitas Ahmadiyah dan
dilabelkan seakan-akan telah kembali ke jalan yang benar saaat menikah dengan
Alam. Diapun juga menghiraukan orang tua dengan wali nikah orang lain. Apa yang
dilakukan hanya mengalah untuk menghilangkan sekat-sekat perbedaan, namun
dengan relanya dia menjadi korban. Akhirnya diapun tak tahan dan bercerai
dengan Alam, karena orangtuanya yang masih sering menyinggung masalah
Ahmadiyah. Akhirnya Maryam pulang ke orang tuanya, tapi tak mendapati karena
orang tuanya telah terusir sebagai Ahmadi.
Dalam
hal keberlangsungan eksistensi, Ahmadiyah menghadapi perlawanan dari berbagai
institusi. Dari pemerintah sendiri melalui sekolah sebagai institusi
pendidikan, orang yang terduga Ahmadiyah mendapat perlakuan ketidakadilan
meskipun dalam hal akdemis tak ada keterkaitan. Namun karena kata “sesat” yang
selalu disematkan ke Ahmadiyah, apapun hasil akademis takkan mempengaruhi. Ini
terjadi pada adik Maryam, Fatimah, yang mendapatkan nilai merah pada mata
pelajaran agamanya. Institusi lain yang juga berperan untuk kehancuran Ahmadiyah
adalah institusi keagamaan. Ahmadiyah telah resmi dilarang pada masa sebelum
reformasi, namun tak terjadi hal apa-apa. Tapi kenapa sekarang kekacauan
terjadi. Itulah keanehan Indonesia. Lembaga MUI mengeluarkan fatwa haram lagi
untuk Ahmadiyah, setelah dulunya telah dilakukan. Apa maksud semua ini. Dengan
dikeluarkannya lagi para ulama yang merasa menjadi wakil Tuhan menemukan alat
pembenaran untuk membasmi Ahmadiyah dengan provokasi dan kekerasan. Disinilah
perlu ditanya apakah ada humanisme itu di Indonesia.
Setali
tiga uang, pemerintah pusat dan daerah sama sekali tak bisa membuat suatu
ketentraman. Ahmadiyah yang mengadukan nasibnya hanya disuruh bersabar dan
ujung-ujungnya diminta untuk menanggalkan segala keyakinan sambil berkeluh
mengatakan Ahmadiyah keras kepala. Intinya adalah turuti saja kehendak
masyarakat agar tak ada lagi keributan. Aparat keamanan seperti Polisipun tak
ada bedanya, mereka hanya menyuruh Ahmadiyah untuk menghindari warga dan
meninggalkan rumah yang mereka bangun dengan jerih payah sendiri. Warga
dibiarkan untuk berbuat kerusakan terhadap hal-hal berkaitan dengan Ahmadiyah.
Seakan-akan apabila massa telah bertindak, maka itu adalah suatu kebenaran yang
tak perlu dianggap sebagai suatu tindak pidana oleh kepolisian.
Dalam
novel ini sepertinya Okky Madasari memang hanya mengedepankan sisi humanisme
yakni toleransi dan individualisme. Keduanya saling berkaitan erat untuk
menegaskan kehidupan saling menghargai kebebasan pribadi. Maryam tidak terlalu
mengekplorasi secara komprehensif perbedaan Ahmadiyah dan apa yang membuatnya
berbeda. Yang jelas hanyalah berbeda dan hargailah perbedaan itu. Sekiranya
memang begitulah pesan karya ini. Novel ini tak menerangkan siapa tokoh Ahmadi
yang fotonya ada pada setip rumah penghuni Ahmadi. Bahkan nama Mirza Ghulam
Ahmadpun tak pernah disebut. Yang ada hanya sesosok pria memakai sorban dan
berjenggot. Ahmadiyah bermarwah pada Mirza Ghulam Ahmad, seperti halnya Muslim
Syiah kepada Ali bin Abi Thalib. Bagi yang mengetahui permasalahan Ahmadi bisa
jadi mereka tahu, namun bagi yang tidak, novel ini bisa saja menghadirkan bias.
Kejelasan apakah Ghulam Ahmad mengaku nabi atau tidak juga tak diperbincangkan.
Apalagi mengenai adanya pembagian Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore.
Sebenarnya
apakah perbedaan antara muslim biasa dan Ahmadiyah? Dalam novel ini perbedaan
tersebut hanyalah adanya perkumpulan Jemaah Ahmadiyah yang dilakukan pada kala
tertentu. Kemudian jemaah Ahmadiyah akan Sholat bersama di mesjid Ahmadiyah
pula, meskipun rumahnya dekat dengan mesjid biasa. Perbedaan yang unik adalah
seringnya jemaah Ahmadiyah menonton bersama, namun tidak disebutkan menonton
apa di novel ini. Kalau kita telusuri, apa yang ditonton Ahmadi adalah “Moslem
Television Ahmadiyyah (MTA)” yang berpusat di London, Inggris. Televisi ini
adalah suatu bentuk jejaring jemaah Ahmadiyah seluruh dunia mengenai
perkembangan, isu, dan kajian terbaru. Apa yang menjadi pembeda sesungguhnya
tidak kentara dalam data novel ini, penulis saja yang memvonis Ahmadiyah
berbeda. Satu lagi hal yang tidak diperinci adalah latar peristiwa Monas,
perseteruan dua ormas yang tak lain tak bukan adalah FPI versus AKKBBnya
Gunawan Muhammad yang konon diaturnya sendiri atas permintaan penguasa untuk
upaya pengalihan isu kenaikan BBM
Humanisme yang
diteriakkan, termasuk dengan karya ini, sampai sekarang belum berbuah apa-apa.
Ahmadiyah tetap hidup dalam label sesat. Sungguh ironis nasib humanisme di
Indonesia. Selain lemahnya dan tak ada itikat baiknya penyelenggara negara, humanisme
yang dikobarkan bias jadi sangat mentah, gagap, dan latah. Semangat
berhumanisme hanya untuk ajang eksistensi diri dan politis. Atau hanya dengan
semangat membenci kaum agamis ataupun yang berlabel agama untuk mengukuhkan
diri sebagai humanis sejati.
Bayu Agustari Adha
Pembaca Karya Sastra dan Penulis Esai
Alumni Sastra Inggris UNP