
Di
Indonesia sendiri karya sastra yang coba mereka ulang bahkan merekonstruksi
sejarah itu sendiri sudah menjadi bagian tersendiri dalam khasanah sastra
Indonesia. Pada umumnya banyak yang mereka ulang sejarah penjajahan Belanda
yang tentunya sangat berbekas pada kehidupan bangsa Indonesia. Ada yang mencoba
mengungkap kebusukan dan kekejaman Belanda dan ada juga yang memberikan
perspektif berbeda dari pandangan mainstream Belanda sebagai penjajah. Namun
intinya secara keseluruhan Belanda banyak meninggalkan warisan yang tidak hanya
dalam bentuk fisik, tapi juga sistem. Dalam bentuk sistem, karya Yanti Soeparmo
“Deharmonie” mengungkap warisan-warisan sistem pemerintahan Belanda sebagai
penyelenggara pemerintah di Indonesia kala itu.
Pada
novel ini jelas terlihat bagaimana birokrasi yang diterapkan oleh Belanda yang
tentunya menguntungkan pihaknya sendiri sehingga memperlakukan rakyat hanya
pada level sebatas tidak merugikan pihak Belanda. Jadi terlihat jelas bahwa
pemerintah Belanda adalah bertindak sebagai penguasa sehingga cenderung
bersifat birokratis dimana aturan ditetapkan sendiri selama tidak merugikan.
Inilah warisan yang ditinggalkan Belanda yang bahkan apabila kita bandingkan
dengan penyelenggara pemerintah sekarang ini terlihat tak ada bedanya dimana
pemerintah berlaku sebagai penguasa. Birokratisme kolonial yang tergambar dalam
novel “Deharmonie” ini meliputi hal-hal sistem seremonial, pelayanan
masyarakat, pengambilan kebijakan, dan pemenfaatan jabatan untuk memperoleh
keuntungan pribadi.
Dalam
hal kegiatan seremonial, watak birokrat kolonial Belanda menerapkan pembedaan
antara orang Belanda dan kaum pribumi. Saat itu dalam salah satu latar di novel
ini diceritakan sebuah acara perayaan ulang tahun ratu Belanda Wilhelmina.
Perayaan ini diadakan di Gedung Societeit De Harmonie yang saat ini adalah
sekretariat Negara. Pada pesta ini terlihat jelas lokalisasi identitas dimana
yang diperbolehkan berada ditempat ini hanyalah orang Belanda, kalaupun ada
yang pribumi hanyalah para pelayan. Sedangkan bagi kaum pribumi hanya
diperbolehkan berada di lapangan gambir di depan gedung tersebut dimana
disediakan pasar malam bagi pribumi. Inilah watak birokrat saat itu yang
memisahkan identitas antara penyelenggara pemerintah dan pribumi yang
diperintah. Memang Belanda masih menyisakan sedikit ruang untuk pribumi untuk
juga merayakannya. Namun ada ataupun tidak, tetap saja pihak birokrat telah melecehkan pribumi. Untuk mengadakan
pesta yang megah inipun pasti menggunakan kekayaan Indonesia dari hasil
penjajahan, tapi malah hanya bisa dinikmati oleh pihak perampas. Ini suatu
bentuk ketidakadilan yang diterapkan Belanda saat itu. Hal yang sama-sama
dinikmati hanyalah kemeriahan kembang api yang juga dapat disaksikan oleh
pribumi dari lapangan gambir. Namun itu tentu bukan hal yang sengaja diberikan
oleh pemerintah Belanda, karena bagaimanapun setiap orang tentu bias melihat
gebyar kembang api karena memang kembang api terbangnya ke atas.
Pada
satu setting di novel ini diceritakan Mayor laurens Vlekke, seorang pensiunan
tentara Belanda terbunuh pada saat pesta. Setelah pesta itu polisi mengumpulkan
orang-orang yang terduga terlibat pembunuhan. Ada satu pribumi yang juga
dimintai keterangan yakni kusir Mayor itu. Ketika masuk ke dalam gedung itu si
kusir hanya duduk di lantai, itu terlihat dari petikan dalam novel ini, “Inspektur Hasselaar bersama ketiga pria itu
berada di ruang bekas pesta dansa. Hanya kusir yang duduk di lantai. Kusir itu
harus duduk di lantai karena pengelola De Harmonie tak ingin kursi bagus mereka
ditindih oleh bokong inlander yang statusnya hanya kusir kereta kuda”.
Jelas sekali terlihat dari birokrat belanda yang tak ingin ada persamaan
diantara mereka dan kaum pribumi.
Watak
birokrat inilah yang sepertinya menjadi warisan dan masih diterapkan saat ini.
Hal itu bisa terlihat sekarang ini dimana acara-acara pemerintahan lebih
bersifat protokoler dan cenderung tidak merakyat. Contohnya pada istana
merdeka, yang bisa memasukinya hanyalah orang tertentu dan rakyat biasa hanya
bisa berada tentunya juga sebagai pelayan tetap ataupun pelayan pada acara
tertentu. Padahal untuk membuatnya pemerintah memakai uang rakyat. Disini
terlihat bahwa watak kolonial Belanda ini memang telah menjadi warisan yang
dijaga kelestariannya sampai sekarang.
Kemudian
dalam hal pelayanan masyarakat novel ini juga menyentil sedikit perlakuan
institusi pemerintah oleh para birokratnya dalam bidang kesehatan dan hukum.
Telah menjadi pameo saat itu bahwa yang bisa mendapatkan pelayanan kesehatan di
rumah sakit hanyalah orang Belanda dan kaum lainnya yang mampu membayar. Tentu
saja banyak rakyat pribumi yang tidak bisa berobat ke dokter karena terhalang
biaya. Pribumipun lebih memilih berobat ke dukun yang mungkin bisa dibayar
dengan hasil pertanian. Hal ini terlihat dari celotehan pribumi kepada dokter
Rafael Van der Berg yang jadi tokoh utama di novel ini, “Tapi Tuan berobat ke dokter mah katanya mahal pisan. Orang-orang
kampung mah tidak ada uang buat berobat ke dokter. Mendingan ke dukun, bisa dibayar
pakai pisang atawa kelapa. Kalau berobat ke dokter harus bayar pakai uang.”
Sangat terlihat bagaimana mindset masyarakat saat itu masih menganggap bahwa
institusi kesehatan hanya diperuntukkan bagi orang yang berpunya dan memang
begitulah kenyataannya.
Dalam
hal perlakuan hukum, birokrat Belanda melakukan pembedaan terhadap orang yang
terlibat hukum. Dalam novel ini pembedaan itu terlihat kala seseorang masuk
penjara. Terdapat perlakuan yang berbeda kepada kaum Belanda, Cina atau Arab,
dan Pribumi. Untuk tahanan Eropa akan ditempatkan di lantai dasar sedangkan
untuk pribumi ditempatkan di bawah tanah yang sangat miskin ventilasi dan
pengap. Untuk kalangan pedagang Cina dan Arab akan disesuaikan. Apabila
memiliki uang lebih akan ditempatkan bersama Eropa namun apabila tak punya uang
akan ditempatkan sama dengan pribumi. Apabila ingin membesuk, pribumi juga akan
mendapat kesulitan. Begitulah para birokrat Belanda membeda-bedakan seseorang
di mata hukum. Kenyataan yang sungguh menyakitkan walaupun yang ditahan
sama-sama manusia. Kenyataan ini memang tak beda jauh dengan apa yang ada pada
zaman sekarang. Sudah rahasia umum apabila tahanan itu memiliki posisi dan
materi akan diberikan fasilitas yang lebih baik daripada yang tidak bermateri.
Banyak contohnya seperti Gayus Tambunan, Artalita, dan banyak lagi tahanan
berduit lainnya yang bisa mengkondisikan hukum.
Dalam
pengambilan keputusan terhadap satu masalahpun, para birokrat juga sering
menetapkan keputusan yang memberatkan pribumi. Hal ini terekam pada saat
Belanda yang merasa terancam oleh Negara fasis yang akan melakukan invasi di
kawasan asia yakni Jepang. Untuk mengatasi keadaan ini Belanda harus bersiap
untuk waspada apabila nanti terjadi perang. Dengan begitu Belanda harus
mempunyai stok pangan yang memadai. Untuk mewaspadai ini Belanda malah
mengambil kebijakan yang restriktif dengan memaksa para petani untuk harus menjual
kebutuhan pokok kepada Belanda dengan harga yang murah, apabila melawan akan
langsung dihabisi oleh tentara.
Dalam
latar novel ini, wilayah Garut yang subur dipetakan untuk menjadi salah satu
lumbung beras. Petani harus menanam padi. Jika ada tanaman lain dilahan yang
subur, maka harus diganti dengan padi. Petani harus menjual empat pikul (@62,5
kg) padi untuk setiap bahu (@7096,5 m2) lahan sawah. Harga padi yang
dijual kepada pemerintah akan ditentukan oleh pemerintah, dan petani harus
menerima berapapun harga yang dibayarkan. Petani yang menolak menjual padinya
kepada pemerintah akan dianggap sebagai pihak yang tidak mau membantu persiapan
perang melawan fasis. Dan militer boleh melakukan tindakan terhadap para petani
yang membangkang atas program cadangan pangan tersebut.
Terlihat
jelas watak birokratis yang apabila berada dalam suatu ancaman, mereka malah
mengambil keputusan yang memberatkan rakyat. Tampak kegagapan dan ketidakmampuan
para birokrat untuk mencari solusi dengan cara lain. Begitulah umumnya sifat
para birokrat pengambil keputusan. Apabila tidak disetujui maka akan dianggap
pembangkang dan langsung menggunakan cara militer untuk tetap melanggengkan
keputusan tersebut. Pada zaman sekarang, watak birokratis ini juga dapat
dilihat. Contoh pada kenaikan BBM dimana pemerintah dengan dalih menutupi defisit
Negara malah mengeluarkan kebijakan yang memberatkan rakyat. Nyata sekali bahwa
pemerintah setelah merdekapun juga berbuat seperti penjajah.
Terakhir,
watak birokratis yang terlihat dari pihak kolonial adalah pemanfaatan posisi
atau jabatan untuk meraih keuntungan pribadi. Dalam novel ini tokoh Mayor
Laurens Vlekke yang terbunuh merupakan representasi dari perangkat pemerintah
yang memanfaatkan jabatannya untuk memeras rakyat untuk pundi-pundi kekayaannya.
Hal ini terungkap dari kesaksian rekan bisnisnya Hendrick Van Rechteren.
“Saat pertama kali kami bertemu pangkat Laurens
adalah letnan satu. Laurens menanyakan hasil bumi apa saja yang akan saya beli.
Setelah itu, dia menyuruh saya menunggu saja di kota Garut. Dia yang yang
mengupayakan membeli hasil bumi dari masyarakat, dan nanti saya tinggal membeli
dari dia. Saya setuju karena hal itu lebih praktis.”
Hendrick
juga menceritakan bahwa Laurens Vlekke menjadi kaya dari hasil bisnis jual beli
kopi, the, tembakau, gula aren, dan beberapa macam lagi komoditi pertanian
rakyat. Singkatnya, Vlekke menggunakan pangkat dan jabatannya untuk memaksa
rakyat menjual hasil bumi kepadanya. Vlekke membeli dengan harga semaunya.
Vlekke bahkan membangun gudang untuk menyimpan hasil bumi yang sudah dibelinya.
Kemudian Vlekke menjual hasil bumi itu dengan harga yang berlaku di pasaran.
Hendrick van rechteren menjadi pelanggan hasil bumi dari Laurens Vlekke. Hendrick
mengekspor hasil bumi yang bagus dan berkualitas baik dan yang berkualitas
standar dijual kepada kepada pedagang grosir di Pasar Senen dan Tanah Abang. Pada
era saat inipun sudah tidak rahasia lagi kalau pejabat pemerintahan, wakil
rakyat, tentara, dan aparat lainnyapun juga berlaku seperti Mayor Vlekke. Mereka
menjelma menjadi cukong dan tukang beking untuk meraih keuntungan pribadi.
Itulah
beberapa watak kolonial yang berperan sebagai pihak birokrat. Prilaku menindas
ini diterapkan sebagai suatu pengukuhan kepada yang lain untuk terus menjaga
kekuasaan. Dapat diambil beberapa poin contoh prilaku para birokrat. Mulai dari
adanya pembedaan dan gengsi yang diperlihatkan pada kaum yang dikuasainya saat
ada suatu prosesi, diskriminasi pelayanan kesehatan dan hokum, pengambilan
keputusan yang memberatkan rakyat, dan juga pemenfaatan jabatan untuk
keuntungan pribadi. Begitulah kekuatan sastra dalam mengungkapkan sesuatu.
Walaupun novel ini bercerita tentang kisah cinta seorang Belanda dan seorang
pribumi, namun disela-sela perjalanan kisah tersebut dengan gamblang sekali
penulis menelanjangi kebusukan yang dilakukan oleh para birokrat kolonial.
2 comments:
lebih dari 300 tahun adalah masa dimana terjadi penetrasi hebat ...
apakah mungkin butuh lebih dari 300 tahun lagi untuk bisa melepas "warisan" tersebut ?
bagaimana kita potong saja jadi ketika 30 ketika daris jadi bupati Tanah Datar,,hahaha
Post a Comment