![]() |
Add caption |
Published on Riau Pos 12/08/2012/
http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=581&kat=2
Sastra
berfungsi tidak hanya memberikan hamparan kisah yang tertera begitu saja. Namun
dibalik itu sastra juga menyelipkan suatu pertarungan ideologi dalam konflik
dan alur yang disajikan. Ideologi merupakan satu set ide dan gagasan yang
terdapat dalam satu kelompok, kaum, bahkan Negara. Walaupun hanya bersifat
fiksi tapi emosi yang disajikan terbukti lebih lama membekas dari pada karya
non fiksi. Hal itu bisa dilihat pada karya Khaled Hosssaini berjudul “The Kite
Runner” yang secara implisit menyajikan suatu pertarungan ideologi yang membuat
suatu Negara yakni Afganistan menjadi Negara hancur berantakan tanpa henti
sampai saat ini. Apa yang membuatnya menjadi hancur adalah pertarungan ideologi
yang saling memaksakan tanpa adanya suatu negasi. Ideologi itu diantaranya
Nasionalisme, Liberalisme, Komunisme,
dan Fanatisme.
Ideologi
Nasionalis berhegemoni disini dalam kerangka yang dangkal. Nasionalisme ini
beranjak dari primordialisme suku
dominan yang ada di Afganistan. Watak budaya membesar-besarkan ini menjadi
suatu ciri khas orang Afgan. Jika seseorang mengatakan anaknya seorang dokter
maka kemungkinannya anak itu hanyalah pernah lulus ujian Biologi. Inilah
kecintaan pada tanah air yang dibesar-besarkan sehingga membawa dampak buruk
pada masyarakat itu sendiri. Dalam novel ini digambarkan suku mayoritas yakni Pashtun yang menginferiorkan suku
Hazara. Diceritakan karakter utama Amir yang seorang Pasthun mempunyai teman
bermain yang merupakan anak jongos keluarganya yakni Hassan bersuku Hazara.
Amir memang tidak menganiaya ataupun menyiksa Hassan, akan tetapi watak
superioritas sebagai suku Pasthun tetap tertanam pada tindakannya walaupun
tidak sebenarnya dalam hati. Baba Amir dan ayah Hassan, Ali, dulunya juga
seperti itu mereka besar bersama dengan perbedaan majikan dan pembantu. Mereka selalu main bersama namun tak pernah
sekalipun baik Baba ataupun Amir menyebut Ali dan Hasan sebagai teman.
Tindakan
terjadi hanya karena konstruksi masyarakat Afgan yang memberi paradigma rendah
pada orang Hazara. Dalam kesehariannya, Ali dan Hassan sering mendapat
olok-olokan dari kaum Pasthun yang berbeda secara fisik dengan kaum hazara.
Setiap hari Ali memperoleh cemoohan dari remaja yang agak besar dengan sebutan
Babulu atau Hantu. Kutipan hinaan itu diantaranya “Hei, Babulu, Apa yang kamu
makan hari ini?” teriakan itu disambut derai tawa. Mereka menyebutnya pesek, begitulah ciri-ciri
Ali dan Hassan dan kebanyakan suku Mongol Hazara. Suku ini keturunan Mongol dan
sedikit mirip dengan orang Cina. Julukan-julukan untuk orang Hazara
diantaranya pemakan tikus, pesek, dan
keledai pengangkut barang. Malangnya stigma ini terus terwarisi sampai pada
anak-anak yang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Hassan juga kerap diperolok,
terutama oleh Assef, tokoh antagonis di novel ini dengan sebutan-sebutan di
atas.
Assef
menjadi representasi nasinalisme yang bermuara pada fasisme. Dia merupakan
pengagum Hitler dengan ibu keturunan Jerman dan Ayah seorang Pasthun. Satu
setting menceritakan assef bersama temannya mencegat Amir dan Hassan untuk
membiarkannya menyiksa Hassan seorang Hazara. Dia mengatakan “Afghanistan
adalah Negara milik bangsa Pasthun. Dari dulu begitu, dan akan selalu begitu.
Kita adalah orang-orang Afghan sejati, orang-orang Afghan murni, tidak seperti
si pesek ini. Kaumnya mengotori tanah air kita.” Assef tak hanya marah kepada
Hassan, tetapi juga kepada Amir karena telah bermain bersama dengan Hassan.
Dalam hati Amir bahwa Hassan bukan temannya melainkan pembantunya, namun karena
segan Amir tak mengatakannya. Hassanpun melindungi Amir dengan menggertak Assef
dengan ketapelnya. Kekalahan Assef ini menjadi dendam yang semakin besar dan abadi
baginya..
Tak
hanya hubungan persukuan yang membuat suatu nasionalisme sempit seperti ini,
aliran agama juga menegaskannya walaupun sama-sama Islam. Pasthun menganut
Sunni dan Hazara sebagai Syi’ah. Latar belakang utama penindasan ini memang
adalah perbedaan Mahzab agama ini. Hal itu tetap dijaga. Pernah suatu ketika
Amir mempertanyakan ini pada Guru agamanya namun gurunya hanya mencibir dan
mengatakan bahwa orang Iran memang ahli mengarang cerita. Guru tersebut
menyerngit ketika menyebut kata Syiah seolah-olah itu adalah suatu penyakit. Pada
saat Amir membaca buku karangan Iran mengenai suku Hazara. Dia baru mengetahui
bahwa ternyata kaum Pasthun telah menindas dan memperlakukan suku Hazara dengan
buruk. Hazara coba melawan tapi dapat dihentikan dengan kekerasan yang tak bisa
terkatakan. Pasthun mengusir Hazara dari tanahnya, membakar rumahnya dan
menjual para wanitanya
Namun
disisi lain pemikiran ini juga mendapat perlawanan dari orang Pasthun sendiri
yang berupa pemikiran liberal. Hal itu dapat dilihat dari karakter ayah Amir
sendiri, Baba yang menunjukkan kejijikannya pada kaum Sunni yang merasa sok
suci. Hal ini terlihat ketika Amir mengatakan kepada ayahnya bahwa menurut guru
agamanya minum Wiski itu haram. Baba dengan percaya diri mengatakan bahwa apa
yang dipelajari di sekolah tak akan menemui titik temu dengan kenyataan. Bahkan
dia mengatakan
“tapi sebelumnya pahamilah ini
terlebih dahulu, Amir: Kau takkan pernah belajar hal-hal yang berguna dari para
idiot berjenggot itu. Mereka tidak melakukan apa-apa kecuali menghitung butiran
tasbih dan memamerkan hafalan isi buku
yang ditulis dengan bahasa yang tidak mereka pahami. Kuharap Tuhan melindungi
kita semua jika suatu saat Afghanistan jatuh ke tangan mereka”
Pernyataan
ini jelas mencerminkan seseorang yang berideologi liberalisme karena
kecendrungan sering menganggap kaum yang berlabel agama adalah pendongeng tanpa
logika yang melakukan pembenaran dengan hafalan ayatnya.
Baba
sendiri adalah orang yang tergila-gila dengan gagasan tentang Amerika. Dia juga
pernah mengatakan bahwa di dunia ini hanya ada tiga lelaki sejati yakni sang
penyelamat gagah berani, Inggris, dan Israel, selebihnya adalah mereka yang
sama saja dengan nenek-nenek yang hobi bergosip. Tentu saja pernyataan ini
menyentak banyak orang karena secara de facto memuja Israel tentu saja
mengindikasikan anti-Islam. Tapi dia menyatakan bahwa semua ini tidak ada
hubungannya dengan agama. Dimatanya Israel adalah pria sejati di sebuah pulau
dikelilingi oleh lautan bangsa Arab yang terlalu sibuk memikirkan produksi
minyak mereka sehingga tidak peduli pada nasib bangsa sendiri.”lakukanlah
sesuatu untuk mengatasi masalah! Bertindaklah. Kalian kan orang Arab, pergi
sana, tolong orang Palestina!”, serunya.
Hingga
sampai akhirnya Uni Soviet menginvasi Afghanistan, maka masuklah satu ideology
lagi yakni komunisme. Ideologi buruh yang tumbuh menjadi gerakan otoriter di atas
segala pembenaran. Ideologi yang pertamanya menyokong majunya kaum buruh malah
berujung kekejaman oleh para tentara Uni Soviet. Afghanistan yang sedang gagap
berideologi harus menelan lagi paksaan ideologi baru. Apa yang dilakukan oleh
Uni Soviet jelas bertentangan karena yang terjadi di lapangan sebenarnya
hanyalah nafsu kekuasaan sebagai pertarungan Negara adidaya dengan Amerika
sehingga segala hal yang berhubungan dengan Amerika dimusnahkan. Itu terjadi
kepada pihak Afghan segala aspek sampai-sampai pada hal-hal budaya pop seperti
musik. Di novel ini seorang musisi modern menjadi seperti anjing oleh tentara
Rusia hingga akhirnya tewas menggenaskan.
Dalam
aksinya para penginvasi dengan sesukanya memetakan aliran ideologi para
penduduk tanpa jelas kriterianya. Dengan menggunakan cecunguk dari Afghanistan
sendiri Tentara Uni Soviet telah membantai begitu banyak jiwa yang terindikasi
tidak berafiliasi pada komunis. Mereka diam-diam menguping pembicaraan orang
lain. Komentar kecil yang terlontar saat menunggu penjahit mengupas baju bisa
mengirim seseorang ke penjara bawah tanah Poleh-Charki. Keluhan tentang
pelaksanaan jam malam yang dilontarkan di hadapan tukang daging bisa
mengantarkan seseorang menghabiskan waktunya dibalik jeruji, dibalik hadapan
moncong senapan klashinov. Kejadian ini berlangsung begitu lama sehingga
menyebabkan Afghanistan menjadi Negara tanpa masa depan karena sibuk dengan
rutinitas perang.
Hingga
akhirnya pada tahun 1989, Uni Soviet meninggalkan Afghanistan. Seharusnya
penarikan pasukan itu menjadi kemenangan bagi penduduk Afghanistan. Tetapi
perang terus berkecamuk, kali ini antar warga Afgan sendiri, kaum Mujahiddin
melawan pengikut Najibullah, pemerintah boneka Soviet. Gelombang pengungsi
Afgan terus membanjiri Pakistan. Pada tahun itu pula perang dingin berakhir dan
tembok Berlin dirobohkan. Namun di tengah kekacauan itu, Afghanistan terlupakan.
Kabul saat itu menjadi rebutan antara faksi-faksi yang ada. Ibukota Afghanistan
ini telah jatuh ke tangan Massoud, Rabbani, dan kelompok Muhajiddin antara
1992-1996. Telinga menjadi terbiasa mendengar desingan peluru dan ingar bingar
adu tembak. Sedangkan mata menjadi akrab dengan pemandangan seseorang manggali
timbunan puing-puing bangunan untuk mencari tubuh sanak saudaranya sampai pada
saat Taliban memenangkan pertikaian 1996.
Pada
masa Taliban inilah muncul lagi satu ideology yang semakin memperparah keadaan
yakni Fanatisme. Pada mulanya memang semua orang di Afganistan menyambut
Taliban dengan sukacita. Para warga menari di jalanan dan menyapa prajurit
Taliban seperti pahlawan, memanjat tank mereka dan berfoto bersama. Namun itu hanya
berjalan sesaat, tanpa diduga Taliban melakukan hal-hal yang tidak masuk akal
atas nama agama dengan memerangi rakyat Afghan sendiri. Permainan layang-layang
diharamkan dan 2 tahun setelah berkuasa mereka membantai suku Hazara yang
beraliran Syiah.
Tak
hanya itu, Taliban juga melakukan ketidakadilan kepada kaum perempuan. Hal itu
terjadi ketika istri Hassan berbelanja di pasar. Dia membeli sesuatu, namun
karena penjualnya agak sedikit tuli dia bersuara agak keras. Hal itu terdengar
oleh tentara Taliban dan langsung menghampiri dan memukuli sembari mengatakan
bahwa kementrian kesusilaan melarang wanita bersuara keras. Hal ini jelas
menandakan pemahaman sempit oleh Taliban sehingga hal-hal yang perlu
dinegosiasipun diabaikan. Karena Hassan adalah Hazara maka ancaman-ancaman
kematian senantiasa menimpanya hingga akhirnya dia mati dengan ditembak kepala
bagian belakang oleh Taliban karena identitas Hazaranya.
Fanatisme
sempit ini juga diterapkan pada cara berpakaian. Afghan laki-laki diwajibkan
memakai pakol sedangkan wanita memakai burqa dan laki-laki harus berjanggut
sepanjang dada yang mereka anggap sesuai syariat. Jelas ini suatu pemahaman
yang salah dari paham fanatisme yang dianut dengan mengatasnamakan syariah.
Disisi lain para prajurit Taliban malah menasbihkan hal-hal tertentu hanya pada
mereka seperti dimana hanya Taliban yang bisa menikmati daging kambing. Dalam
keseharian operasionalpun mereka berpatroli dengan sangat kejam seperti orang
kehausan untuk membunuh. Mereka terus memancing rakyat untuk berbuat kesalahan
dan dengan begitu mereka bebas menindas sampai dengan membunuh. Ini makin
menjadi pemandangan sehari-hari sehingga yang terlihat hanya seorang anak
bersama ibunya tanpa ayah. Sebagian besar ibupun lebih memilih menumpangkan
anaknya dipanti asuhan yang kondisinya menyedihkan karena wanita juga dilarang
bekerja sehingga tak ada biaya untuk memenuhi kebutuhan. Seorang ayah telah
menjadi suatu sesuatu yang langka di masa Taliban.
Pada
masa itu ada satu kebiasaan yang gemar sekali dilakukan oleh Taliban yaitu
prosesi perajaman kepada para pezina pada saat jeda istirahat pertandingan
sepakbola. Setelah wasit membunyikan peluit turun minum pertunjukan tambahan
segera dimulai. Dua truk merah berbak terbuka memasuki stadion melalui gerbang.
Seorang wanita dengan terbungkus burqa hijau duduk di salah satu bak truk,
sementara seorang pria dengan mata tersekap duduk di bak truk lain. Kedua truk
berjalan mengelilingi lapangan seolah-olah membiarkan seluruh penonton
memperhatikan mereka. Truk berhenti di belakang gawang yang telah menyediakan
dua lubang. Kemudian datang lagi satu truk berisi pasukan Taliban. Kemudian
mereka memasukkan kedua pezina ke masing-masing lubang sedalam dada. Kemudian
berbicaralah seorang ulama dengan melafalkan surat Al-qur’an yang panjang. Lalu
ulama itu berceramah mengenai keharusan menegakkan Syariat kehendak Allah dan
Nabi Muhammad. Lalu dimulailah acara inti dimana seorang pria memungut batu dan
memperlihatkannya kepada penonton lalu melemparkannya kepada para pezina sampai
akhirnya daging dan darah berserakan. Pertunjukanpun selesai.
Peristiwa
ini secara naluriah jelas suatu tindakan yang bersifat sadisme yang semakin
mejauhkan Islam sebagai agama yang damai. Hal itu terjadi karena fanatisme
sempit yang tak bisa menyaring dan menterjemahkan hukum Allah sehingga terjadi
salah tafsir dimana perlu dilakukan peninjauan terlebih dahulu
Karakter
yang merepresentasikan ideology fanatisme ini ternyata tak lain adalah Assef.
Seorang pengagum Hitler yang menjelma menjadi Taliban. Jelas disini bahwa
Taliban telah menjadi wadah baginya untuk melampiaskan hasrat fasisme yang
dianutnya. Terang sekali bagaimana perselingkuhan ideologi Fasisme dengan
fanatisme yang berupa Taliban. Dalih Syariat itulah yang digunakannya,
menurutnya
“Menegakkan keailan kepada
masyarakat adalah pertunjukan terhebat. Drama. Ketegangan. Dan yang terbaik
diantara semuanya adalah pendidikan missal. Kau tidak akan mengerti makna kata
pembebasan hingga kau melakukannya, berdiri di hadapan seruangan target,
membiarkan peluru melayang, membiarkan dirimu mengetahui bahwa dirimu lebih
unggul, lebih baik, dan lebih mulia. Mengetahui bahwa dirimu telah menjadi
perpanjangan tangan Tuhan”
Begitulah
upaya pembenaran yang dilakukannya. Tampak nyata bahwa dia menggabungkan ideologi
Fasisme ala Hitler dengan Fanatisme sempit sehingga dia merasa melakukan
sesuatu atas kehendak Tuhan.