Diterbitkan Padang Ekspress 17/3/13

Pemikiran ini seakan senada dengan
jargonnya Descartes masa itu “Cogito Ergosum”, Saya berpikir, saya ada.
Semangat ini walau bagaimanapun memang memberikan kemajuan peradaban, akan
tetapi manusia juga lupa bahwa alam sendiri adalah tempatnya untuk ada. Akibatnya ekplorasi terhadap alam semakin
menjadi-jadi untuk menandakan kemenangan manusia atas alam. Ketidaksadaran ini
sangat lama terjadi, apabila dirunut pada peradaban kuno penuh dengan dominasi
kosmosentris, pertengahan dengan teosentris, peradaban modern dengan
antroposentris, dan pada abad 20 dengan Logosentris. Kesadaran terjadi setelah
adanya dampak. Menurut Siswo Harsono, kondisi demikian disebabkan oleh
ketidakseimbangan dominasi budaya yang terlalu ekploitatif terhadap alam. Hal
ini tampaknya berpangkal pada pola pikir dkotomis “nature/culture”,
Alam/Kebudayaan.
Revolusi industri menghabisi kekayaan alam dengan
laju yang mengerikan, menghancurkan hubungan dengan tanah dan menyingkirkan
petani ke belakang; kapitalisme industrial menghasilkan abad modern, dan
mengeruk seluruh bahan baku tanpa mempedulikan akibat-akibat lingkungan; dan
perilaku semodel itu memperoleh alibi ilmiah dari kredo Baconian bahwa
pengetahuan ilmiah adalah kemenangan teknologi atas alam (Croatt dan Rankin,
1997:30-35). Hingga muncullah aktivis dan kritikus lingkungan. Dalam Sastra
sendiri sebagai suatu disiplin ilmu juga menerapkan hal ini yang biasa disebut
ekokritik, yakni kritik sastra berparadigma lingkungan. Ekokritik Amerika
menilai perlu adanya perombakan dikotomis tersebut dengan menggantinya menjadi
trikotomis “Nature-Nurture-Culture”, Alam-Pemeliharaan-Budaya agar terjadi
suatu keseimbangan.
Dalam karya sastra, perkara membicarakan alam tentu telah
banyak. Namun kebanyakan hanya berkerangka alam sebagai alat untuk ekplorasi
estetis. Dengan kata lain alam masih dianggap sebagai objek, bukan sesuatu yang
perlu dipelihara. Namun, dalam sastra populer seperti lirik lagu memang telah
ada yang membicarakan pelestarian alam seperti halnya Ebiet G Ade, bahkan dari
Minang sendiri telah ada lagu “Rimbo Rimbun” oleh Trio Sarunai yang mengajak
untuk tak menebang hutan. Jika kita lihat pada sastra kontemporer, beberapa
telah coba mengupas hal ini seperti yang dilakukan Gus tf Sakai dalam kumpulan
cerpennya “Kaki Yang terhormat”. Beberapa cerpen memuat unsur ekokritik tentang
fenomena alam, meski tidak sebagian besar. Yang lainnya berupa prahara
homoseks, lokalitas dan moralitas, namun tak begitu menarik perhatian saya
ketimbang isu lingkungannya. Beberapa cerpen tentang hal ini diantaranya
berjudul “Kulah”, “Kaki yang Terhormat”, “Orang Bunian”, dan “Liang Harimau”.
Pada cerpen pertama “Kulah”, Gus tf mengekplorasi
nostalgia seorang urban pada desanya. Desa yang dulunya memiliki mata air yang
dinamai namanya sendiri yakni “Mata air Marni”. Seiring berlajunya waktu, mata
air berubah menjadi kulah, sejenis tempat berwudhu, hingga kemudian menjadi
menggenaskan dan tak dipaka lagi, karena airnya menyebabkan kematian Ima,
keponakannya dan beberapa anak lainnya. Dari sini kita bisa lihat bahwa pada
mulanya ada keseimbangan antara alam dan manusianya atau “nature” dan “culture”.
Alam disini berupa mata air yang mengalir, kemudian bermutualisme dengan
manusia yang memanfaatkannya untuk mengaliri sawah dan untuk keperluan lannya
bagi manusia. Situasi menadi berubah sesuai dengan perkembangan manusia yang
mengalami industrialisme.
Dampak lingkungan menyebabkan air memiliki bau yang
menyengat menyebabkan kematian tak hanya manusia tapi juga ekosistim lannya
dimana sawah di sekitar mati dan tak tergarap lagi. Pencemaran air ini tentu
murni akibat adanya limbah akibat operasi pabrik yang menggunakan bahan kimia,
meski cerpen tak menyebut lokasi pabrik tersebut. Jelas jika ditelusuri memang pabrik
bisa jadi sengaja atau tidak sengaja dalam mengalirkan air limbah ini. Akan
tetapi sepertinya hal ini adalah ketidaksengajaan yang disengaja. Dalam
perencanaan industri tentu saja harus ada analisis Amdal dan penentuan tempat
terakhir limbah. Penentuan tempat limbah inilah yang menjadi hal yang krusial
untuk diawasi karena praktek ini sering dilakukan tanpa azas keterbukaan dalam
artian dimana ada tempat kosong untuk bisa dibuang, dibuanglah kesana.
Hal inilah yang menandakan kemenangan teknologi manusia
terhadap alam. Dengan demikian terdapatlah suatu ketidakseimbangan antara
budaya dan alam. Budaya kapitalisme yang menekankan ekploitasi untuk suatu
komoditi telah melupakan keberadaan alam itu sendiri yang akan terkena dampak.
Tak hanya itu, manusia lainnya dengan budaya yang masih menjaga keseimbangan
yakni masyarakat desa juga terkena imbasnya, baik berupa nyawa dan mata
pencaharian. Namun dalam cerpen ini, karena kekurangan sumber daya manusia,
penduduk desa malah menganggapnya sebagi sesuatu yang mistis dan angker pada
mata air tersebut.seperti dialognya dibawah ini,
“Bapak temani saja, Marni,” kata
Pak Lam tadi pagi.
Tapi
Marni benar-benar tak ingin ditemani.
“Kau
tidak takut?”bergetar suara Mak Sani.
Keangkeran menurut
orang desa ini terjadi akibat adanya perubahan struktur pada ekosistim lainnya
pada sekitar kulah. Pohon-pohon berkembang tidak dengan selayaknya.
Daun-daunnya mengecil dan bercaplak. Batang yang biasanya lurus panjang,
menjadi pendek, dan kulitnya berbongkah-bongkah. Jelas sekali apa yang ingin
diungkapkan sang pengarang adalah betapa besarnya dampak yang telah terjadi
akibat pencemaran air ini. Selain manusia juga membuat tumbuhan menjadi
compang-camping dan tidak berkembang sebagaimana mestinya
Jika dalam cerpen di atas kritik lingkungan diarahkan
pada industri yang menyebabkan limbah atau lebih detilnya industri manufaktur,
dalam cerpen “Kaki yang Terhormat” memuat isu pertambangan. Hal ini terlihat
dari cerita yang menyajikan tragedi dipangkasnya bukit yang berbentuk kaki.
Seorang nenek yang sangat mengagumi bukit tersebut dan sekaligus mengagumi
kaki. Bukit tersebut dipotong oleh rencana anak bungsunya sendiri yang kaya
raya di perantauan. Saking kayanya sampai-sampai kemana-mana anaknya
menggunakan helicopter. Kemudian dia membangun pabrik semen dengan bahan dari
bukit tersebut. Akhir cerita si anakpun terlibat kasus korupsi dan si nenekpun menyatakan bahwa anaknya menjadi seperti itu
karena tak lagi menggunakan kaki, sebab kemana-mana pergi dengan helicopter. Lengkap
sudah penderitaan si nenek, bukit yang dikaguminya dihabisi dan anaknyapun
menjadi gunjingan karena kasus korupsi.
Pertambangan juga merupakan kegiatan yang rentan akan
menelanjangi alam. Hal ini dikarenakan tambang hanyalah sebuah kegiatan yang
mengerus isi alam tanpa ada pembaruan terhadap objek. Bukit yang menjadi
sumbernya, tentu bukit juga yang akan dihabisi karena memang bukit bukanlah
sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Perseteruan antara alam dan budaya disini
dapat diidentifikasi antara kapitalisme modern dengan bukit itu sendiri. Budaya
produk humansentris menekankan pada ekploitasi materi untuk dijadikan komoditi
demi mendapatkan kapital yang lebih besar lagi. Jadi, meskipun secara umum
cerpen ini bercerita absurd mengenai kaki yang selalu dikagumi sang nenek,
namun isu lingkungan seperti pemberdayaan energi dan sumber daya alam juga
dapat diteropong disini sebagai isu yang krusial.
Bentuk penyimpangan lingkungan lainnya dapat dilihat pula
pada cerpen berjudul “Orang Bunian”. Cerita ini sendiri merupakan nostalgia dan
romantisme si narator pada keadaan masa lalunya. Kenangan itu adalah mengenai
Bukit Burai dan aktivitas yang ada dialamnya. Dulunya Bukit tersebut adalah
tempatnya berburu dimana terdapat tiga lapis bagian bukit yakni “lapis atas,
lapis bawah, dan “Lakuak” atau lembah. Di lapis bawah ada kegiatan berburu dan
kemudian di lapis lembah ada dunia lain yang kabarnya dihuni orang Bunian. Akan
tetapi sekarang itu telah berubah dengan adanya tanah-tanah pribadi dan
Villa-Villa mewah dengan pohon-pohon yang ditata ulang. Secara kronologis
terdapat dua masa pengkebirian manusia terhadap alam dalam cerpen ini.
Pertama, adalah masa dimana manusia memperlakukan salah
satu entitas alam yakni melalui perburuan Babi. Sebelumnya, manusia setempat
melakukan perburuan Babi hanyalah untuk pemberantasan Hama. Namun setelah itu,
kebudayaan ini berkembang menjadi suatu budaya hobi untuk kesenangan. Merasakan
petualangan enaknya saat-saat menunggu sasaran keluar, melepaskan anjing, dan
lari bersorak-sorak saat gerombolan anjing berusaha untuk mendapatkan sang
Babi. Singkatnya ini adalah produksi kesenangan melalui penderitaan oleh yang
lain. Kemudian kedua, setelah itu muncullah suatu industri Pariwisata yang
tujuan akhirnya juga suatu kesenangan. Pada frase ini tidak hanya binatang yang
kehilangan eksistem, namun eksistensi tumbuhan alam terdahulu juga dipangkas. Kemudian
dilakukanlah reproduksi alam yang seolah-olah alami dengan pembangunan Villa
dan penataan kembali tanaman-tanaman. Tentu secara tidak langsung keadaan
binatangpun juga terkena imbas, karena perubahan ekosistem dan tentu tempat itu
juga harus steril dari Binatang karena tentu akan mengganggu ketentraman
pariwisata.
Metode penindasan terhadap alam juga terjadi pada wilayah
yang dekat dengan alam sendiri yakni Agraria. Hal ini dicatat dalam cerpen
berjudul “Liang Harimau”. Cerpen yang memuat kasus pembukaan lahan di hutan
lindung. Rasikun sang empunya lahan mempekerjakan Sadim untuk melakukan
perambahan lahan di hutan yang secara kultural dianggap sesuatu yang tak boleh
disentuh. Namun akibat sulitnya hidup membut Sadim menerima tawaran untuk
merambah hutan tersebut. Di saat yang sama penduduk kampung Sadim mengadakan
upacara adat yang sakral untuk menghormati alam, Rasikun tak memperbolehkannya
ikut dengan alasan lahan harus siap tanam sebelum musim hujan. Dengan hati
galau, Sadim pergi juga merambah hutan dan melihat Harimau yang menatapnya.
Namun paginya terjadi peristiwa Sadim membunuh Rasikun, namun Sadim mengaku
yang ditusuknya adalah Harimau.
Sebagaimana yang kita ketahui hutan lindung tidak boleh
dijamah sedikitpun dalam aturan formal. Dalam aturan masyarakat sendiri yang
kental dengan mitos juga menganggap ada hutan tertentu yang tidak diperbolehkan
diperlakukan demikian. Namun kenapa Rasikun bisa dapat membeli dan membuka
lahan? Tentu saja ini merupakan suatu konspirasi dibalik hal itu. Kemungkinan
dapat dikaitkan dengan pemerintah setempat. Sudah barang rahasia umum bahwa
kepala daerah telah menjadikan perizinan hutan menjadi suatu komoditi untuk
mendulang rupiah. Indonesia yang mempunyai lahan luas memang telah menjadi
primadona untuk industri agraris. Jelaslah disini bahwa ada kompromi busuk
antara si pemodal dengan pemerintah. Jadi bisa diidentifikasi bahwa memang
kapitalisme modern telah menjadi musuh abadi dari alam itu sendiri.
Setelah kita lihat beberapa cerpen di atas, dapatlah
dipahami bahwa ada beberapa metode dalam menunjukkan keangkuhan manusia di atas
alam. Caranya dapat berbeda-beda. Diantaranya melalui pabrifikasi industri,
pertambangan, pariwisata, dan industri agraria. Meskipun dalam plot cerita Gus
tf Sakai tidak dominan memuat unsurnya, namun dibaliknya terdapat persoalan
besar abad ini yakni keberlangsungan lingkungan. Plot cerita semakin memperkuat
efek kejut terhadap pembaca akan suasana yang miris tersebut.
Bayu Agustari Adha
Pembaca Karya Sastra
dan Penulis Esai