Monday, April 30, 2012

Warisan Birokratisme Kolonial


Sastra tak pelak lagi telah menjadi suatu alat rekam sejarah yang ampuh. Bahkan bisa lebih mumpuni lagi dari literatur-literatur sejarah  yang kita dapat pada dokumen resmi. Hal ini dapat dimaklumi karena kekuatan sastra yang bisa mengajak pembaca untuk melibatkan emosi pada kejadian atau peristiwa yang disuguhkan. Pembaca seakan-akan ikut dalam cerita sehingga secara tidak langsung bisa mengamini peristiwa yang diceritakan sekaligus mengambil nilai-nilai dan perspektif yang ditawarkan. Fenomena reka ulang sejarah dalam sastra ini memang telah menjadi suatu alternatif dalam memaknai sejarah itu sendiri ditengah banyaknya pembohongan sejarah oleh pihak yang berkuasa. Meskipun dibungkus dalam bentuk fiksi, itu tak mempengaruhi kebenaran sejarah itu sendiri.
Di Indonesia sendiri karya sastra yang coba mereka ulang bahkan merekonstruksi sejarah itu sendiri sudah menjadi bagian tersendiri dalam khasanah sastra Indonesia. Pada umumnya banyak yang mereka ulang sejarah penjajahan Belanda yang tentunya sangat berbekas pada kehidupan bangsa Indonesia. Ada yang mencoba mengungkap kebusukan dan kekejaman Belanda dan ada juga yang memberikan perspektif berbeda dari pandangan mainstream Belanda sebagai penjajah. Namun intinya secara keseluruhan Belanda banyak meninggalkan warisan yang tidak hanya dalam bentuk fisik, tapi juga sistem. Dalam bentuk sistem, karya Yanti Soeparmo “Deharmonie” mengungkap warisan-warisan sistem pemerintahan Belanda sebagai penyelenggara pemerintah di Indonesia kala itu.
Pada novel ini jelas terlihat bagaimana birokrasi yang diterapkan oleh Belanda yang tentunya menguntungkan pihaknya sendiri sehingga memperlakukan rakyat hanya pada level sebatas tidak merugikan pihak Belanda. Jadi terlihat jelas bahwa pemerintah Belanda adalah bertindak sebagai penguasa sehingga cenderung bersifat birokratis dimana aturan ditetapkan sendiri selama tidak merugikan. Inilah warisan yang ditinggalkan Belanda yang bahkan apabila kita bandingkan dengan penyelenggara pemerintah sekarang ini terlihat tak ada bedanya dimana pemerintah berlaku sebagai penguasa. Birokratisme kolonial yang tergambar dalam novel “Deharmonie” ini meliputi hal-hal sistem seremonial, pelayanan masyarakat, pengambilan kebijakan, dan pemenfaatan jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Dalam hal kegiatan seremonial, watak birokrat kolonial Belanda menerapkan pembedaan antara orang Belanda dan kaum pribumi. Saat itu dalam salah satu latar di novel ini diceritakan sebuah acara perayaan ulang tahun ratu Belanda Wilhelmina. Perayaan ini diadakan di Gedung Societeit De Harmonie yang saat ini adalah sekretariat Negara. Pada pesta ini terlihat jelas lokalisasi identitas dimana yang diperbolehkan berada ditempat ini hanyalah orang Belanda, kalaupun ada yang pribumi hanyalah para pelayan. Sedangkan bagi kaum pribumi hanya diperbolehkan berada di lapangan gambir di depan gedung tersebut dimana disediakan pasar malam bagi pribumi. Inilah watak birokrat saat itu yang memisahkan identitas antara penyelenggara pemerintah dan pribumi yang diperintah. Memang Belanda masih menyisakan sedikit ruang untuk pribumi untuk juga merayakannya. Namun ada ataupun tidak, tetap saja pihak birokrat  telah melecehkan pribumi. Untuk mengadakan pesta yang megah inipun pasti menggunakan kekayaan Indonesia dari hasil penjajahan, tapi malah hanya bisa dinikmati oleh pihak perampas. Ini suatu bentuk ketidakadilan yang diterapkan Belanda saat itu. Hal yang sama-sama dinikmati hanyalah kemeriahan kembang api yang juga dapat disaksikan oleh pribumi dari lapangan gambir. Namun itu tentu bukan hal yang sengaja diberikan oleh pemerintah Belanda, karena bagaimanapun setiap orang tentu bias melihat gebyar kembang api karena memang kembang api terbangnya ke atas.
Pada satu setting di novel ini diceritakan Mayor laurens Vlekke, seorang pensiunan tentara Belanda terbunuh pada saat pesta. Setelah pesta itu polisi mengumpulkan orang-orang yang terduga terlibat pembunuhan. Ada satu pribumi yang juga dimintai keterangan yakni kusir Mayor itu. Ketika masuk ke dalam gedung itu si kusir hanya duduk di lantai, itu terlihat dari petikan dalam novel ini, “Inspektur Hasselaar bersama ketiga pria itu berada di ruang bekas pesta dansa. Hanya kusir yang duduk di lantai. Kusir itu harus duduk di lantai karena pengelola De Harmonie tak ingin kursi bagus mereka ditindih oleh bokong inlander yang statusnya hanya kusir kereta kuda”. Jelas sekali terlihat dari birokrat belanda yang tak ingin ada persamaan diantara mereka dan kaum pribumi.
Watak birokrat inilah yang sepertinya menjadi warisan dan masih diterapkan saat ini. Hal itu bisa terlihat sekarang ini dimana acara-acara pemerintahan lebih bersifat protokoler dan cenderung tidak merakyat. Contohnya pada istana merdeka, yang bisa memasukinya hanyalah orang tertentu dan rakyat biasa hanya bisa berada tentunya juga sebagai pelayan tetap ataupun pelayan pada acara tertentu. Padahal untuk membuatnya pemerintah memakai uang rakyat. Disini terlihat bahwa watak kolonial Belanda ini memang telah menjadi warisan yang dijaga kelestariannya sampai sekarang.
Kemudian dalam hal pelayanan masyarakat novel ini juga menyentil sedikit perlakuan institusi pemerintah oleh para birokratnya dalam bidang kesehatan dan hukum. Telah menjadi pameo saat itu bahwa yang bisa mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit hanyalah orang Belanda dan kaum lainnya yang mampu membayar. Tentu saja banyak rakyat pribumi yang tidak bisa berobat ke dokter karena terhalang biaya. Pribumipun lebih memilih berobat ke dukun yang mungkin bisa dibayar dengan hasil pertanian. Hal ini terlihat dari celotehan pribumi kepada dokter Rafael Van der Berg yang jadi tokoh utama di novel ini, “Tapi Tuan berobat ke dokter mah katanya mahal pisan. Orang-orang kampung mah tidak ada uang buat berobat ke dokter. Mendingan ke dukun, bisa dibayar pakai pisang atawa kelapa. Kalau berobat ke dokter harus bayar pakai uang.” Sangat terlihat bagaimana mindset masyarakat saat itu masih menganggap bahwa institusi kesehatan hanya diperuntukkan bagi orang yang berpunya dan memang begitulah kenyataannya.
Dalam hal perlakuan hukum, birokrat Belanda melakukan pembedaan terhadap orang yang terlibat hukum. Dalam novel ini pembedaan itu terlihat kala seseorang masuk penjara. Terdapat perlakuan yang berbeda kepada kaum Belanda, Cina atau Arab, dan Pribumi. Untuk tahanan Eropa akan ditempatkan di lantai dasar sedangkan untuk pribumi ditempatkan di bawah tanah yang sangat miskin ventilasi dan pengap. Untuk kalangan pedagang Cina dan Arab akan disesuaikan. Apabila memiliki uang lebih akan ditempatkan bersama Eropa namun apabila tak punya uang akan ditempatkan sama dengan pribumi. Apabila ingin membesuk, pribumi juga akan mendapat kesulitan. Begitulah para birokrat Belanda membeda-bedakan seseorang di mata hukum. Kenyataan yang sungguh menyakitkan walaupun yang ditahan sama-sama manusia. Kenyataan ini memang tak beda jauh dengan apa yang ada pada zaman sekarang. Sudah rahasia umum apabila tahanan itu memiliki posisi dan materi akan diberikan fasilitas yang lebih baik daripada yang tidak bermateri. Banyak contohnya seperti Gayus Tambunan, Artalita, dan banyak lagi tahanan berduit lainnya yang bisa mengkondisikan hukum.

Dalam pengambilan keputusan terhadap satu masalahpun, para birokrat juga sering menetapkan keputusan yang memberatkan pribumi. Hal ini terekam pada saat Belanda yang merasa terancam oleh Negara fasis yang akan melakukan invasi di kawasan asia yakni Jepang. Untuk mengatasi keadaan ini Belanda harus bersiap untuk waspada apabila nanti terjadi perang. Dengan begitu Belanda harus mempunyai stok pangan yang memadai. Untuk mewaspadai ini Belanda malah mengambil kebijakan yang restriktif dengan memaksa para petani untuk harus menjual kebutuhan pokok kepada Belanda dengan harga yang murah, apabila melawan akan langsung dihabisi oleh tentara.
Dalam latar novel ini, wilayah Garut yang subur dipetakan untuk menjadi salah satu lumbung beras. Petani harus menanam padi. Jika ada tanaman lain dilahan yang subur, maka harus diganti dengan padi. Petani harus menjual empat pikul (@62,5 kg) padi untuk setiap bahu (@7096,5 m2) lahan sawah. Harga padi yang dijual kepada pemerintah akan ditentukan oleh pemerintah, dan petani harus menerima berapapun harga yang dibayarkan. Petani yang menolak menjual padinya kepada pemerintah akan dianggap sebagai pihak yang tidak mau membantu persiapan perang melawan fasis. Dan militer boleh melakukan tindakan terhadap para petani yang membangkang atas program cadangan pangan tersebut.
Terlihat jelas watak birokratis yang apabila berada dalam suatu ancaman, mereka malah mengambil keputusan yang memberatkan rakyat. Tampak kegagapan dan ketidakmampuan para birokrat untuk mencari solusi dengan cara lain. Begitulah umumnya sifat para birokrat pengambil keputusan. Apabila tidak disetujui maka akan dianggap pembangkang dan langsung menggunakan cara militer untuk tetap melanggengkan keputusan tersebut. Pada zaman sekarang, watak birokratis ini juga dapat dilihat. Contoh pada kenaikan BBM dimana pemerintah dengan dalih menutupi defisit Negara malah mengeluarkan kebijakan yang memberatkan rakyat. Nyata sekali bahwa pemerintah setelah merdekapun juga berbuat seperti penjajah.
Terakhir, watak birokratis yang terlihat dari pihak kolonial adalah pemanfaatan posisi atau jabatan untuk meraih keuntungan pribadi. Dalam novel ini tokoh Mayor Laurens Vlekke yang terbunuh merupakan representasi dari perangkat pemerintah yang memanfaatkan jabatannya untuk memeras rakyat untuk pundi-pundi kekayaannya. Hal ini terungkap dari kesaksian rekan bisnisnya Hendrick Van Rechteren.
“Saat pertama kali kami bertemu pangkat Laurens adalah letnan satu. Laurens menanyakan hasil bumi apa saja yang akan saya beli. Setelah itu, dia menyuruh saya menunggu saja di kota Garut. Dia yang yang mengupayakan membeli hasil bumi dari masyarakat, dan nanti saya tinggal membeli dari dia. Saya setuju karena hal itu lebih praktis.”
Hendrick juga menceritakan bahwa Laurens Vlekke menjadi kaya dari hasil bisnis jual beli kopi, the, tembakau, gula aren, dan beberapa macam lagi komoditi pertanian rakyat. Singkatnya, Vlekke menggunakan pangkat dan jabatannya untuk memaksa rakyat menjual hasil bumi kepadanya. Vlekke membeli dengan harga semaunya. Vlekke bahkan membangun gudang untuk menyimpan hasil bumi yang sudah dibelinya. Kemudian Vlekke menjual hasil bumi itu dengan harga yang berlaku di pasaran. Hendrick van rechteren menjadi pelanggan hasil bumi dari Laurens Vlekke. Hendrick mengekspor hasil bumi yang bagus dan berkualitas baik dan yang berkualitas standar dijual kepada kepada pedagang grosir di Pasar Senen dan Tanah Abang. Pada era saat inipun sudah tidak rahasia lagi kalau pejabat pemerintahan, wakil rakyat, tentara, dan aparat lainnyapun juga berlaku seperti Mayor Vlekke. Mereka menjelma menjadi cukong dan tukang beking untuk meraih keuntungan pribadi.
Itulah beberapa watak kolonial yang berperan sebagai pihak birokrat. Prilaku menindas ini diterapkan sebagai suatu pengukuhan kepada yang lain untuk terus menjaga kekuasaan. Dapat diambil beberapa poin contoh prilaku para birokrat. Mulai dari adanya pembedaan dan gengsi yang diperlihatkan pada kaum yang dikuasainya saat ada suatu prosesi, diskriminasi pelayanan kesehatan dan hokum, pengambilan keputusan yang memberatkan rakyat, dan juga pemenfaatan jabatan untuk keuntungan pribadi. Begitulah kekuatan sastra dalam mengungkapkan sesuatu. Walaupun novel ini bercerita tentang kisah cinta seorang Belanda dan seorang pribumi, namun disela-sela perjalanan kisah tersebut dengan gamblang sekali penulis menelanjangi kebusukan yang dilakukan oleh para birokrat kolonial.

Wednesday, April 4, 2012

Romantisme Kolonial dalam Sastra

                                                    Published on Riau Pos 25/03/2012
http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=312&kat=2

Pengalaman menjajah dan terjajah meninggalkan kenangan tersendiri. Demikian juga yang dialami Belanda dan Indonesia. Sejarah kedua bangsa ini memiliki hubungan emosional tersendiri karena waktu 350 tahun tentunya menyisakan cerita yang tak sedikit. Bahkan sampai saat inipun romantisme keduanya belum juga hilang, sampai-sampai Belanda seperti tak rela atau belum mengakui Indonesia sebagai negara lain. Cerita-cerita ini tak hanya dibingkai oleh tuturan atau dokumen sejarah, namun juga banyak terukir di karya sastra.

Beberapa dekade terakhir memang muncul karya sastra post kolonial yang umumnya disuguhkan para penulis dari dunia ketiga. Ada yang coba kembali menghadirkan rekonstruksi dan bahkan dekonstruksi peristiwa untuk menghadirkan perspektif berbeda. Di Indonesia juga banyak cerita yang kembali memaparkan sejarah berkaitan dengan Belanda. Namun kebanyakan karya itu hadir dari perspektif Indonesia. Sedang dari perspektif seorang Belanda tercatat ada beberapa. Satu di antaranya adalah Hella S Haasse. Dalam karya pertamanya berbentuk roman tahun 1948, dia menyuguhkan suatu romantisme atau kerinduan akan kenangan indah masa lalu terhadap pengalaman Belanda di Indonesia dengan judul Oeroeg.

Dalam cerita roman ini sendiri terdapat beberapa representasi antara Belanda dan Indonesia atau pribumi. Itu meliputi hal-hal yang bersifat fisik, kepribadian, mindset atau pola pikir, nilai-nilai yang dianut dan cara pandang. Disini juga terlihat kegamangan dan kegagapan, serta perubahan dalam memaknai identitas masing-masing sehingga banyak melibatkan konflik batin. Terutama pada tokoh ‘’Aku’’ yang Belanda dan Oeroeg sebagai pribumi. Dalam hal fisik, dijelaskan bagaimana adanya perbedaan yang mendasar antara Belanda dan pribumi. Saat berumur enam tahun, si Aku yang Belanda memiliki tubuh yang lebih tinggi dari Oeroeg pribumi. Namun perspektif yang dihadirkan dalam roman ini malah mengungkapkan sebenarnya Belanda iri pada pribumi. Ini terlihat dari pernyataan ketika si Aku memaparkan kebenciannya pada tubuhnya yang memiliki bintik-bintik, tidak seperti pribumi yang walaupun hitam tapi mulus dan kulitnya memerah ketika terkena sinar matahari. Dalam ketangkasan tubuh pun dia memuji pribumi yang bergerak lincah saat bermain.

Dalam hal kepribadian, sang Belanda ini juga memberi pandangan lain, namun tetap saja ada pandangan tradisi Barat yang mengukuhkannya sebagai kaum civilized atau berperadaban dibanding Timur. Si Aku memuji sifat periang dan ramah yang ada pada pribumi seperti ibu si Oeroeg. Perempuan ini tak menyimpan rasa benci walau itu adalah orang asing dan selalu bisa menerima orang lain. Sedang Oeroeg sendiri, selain memiliki ketangkasan sebagai bocah, juga memiliki kepribadian tersendiri. Bila tertawa tak terlalu terbahak-bahak dan mulut terbuka seperti Belanda. Ekspresi Oeroeg juga lebih terlihat tenang. Itu terlihat saat menangkap ikan dimana Oeroeg hanya memperlihatkan senyum keberhasilan. Di lain sisi, ekspresi si Aku terlihat berlebihan dengan bersorak-sorak. Ini mengindikasikan bagaimana seorang Eropa yang ekspresif dan seorang pribumi yang pasif.

Satu lagi nilai sebagai Eropa yang diperlihatkan adalah semangat kemanusiaan sebagai kaum beradab. Ini terlihat dari keheranan si Belanda terhadap Oeroeg yang senang beradu binatang. Nilai ini dikukuhkan ketika dia berkata: ‘’Oeroeg tidak kejam.’’ Ia hanya tidak memiliki perasaan orang Barat yang sering ingin menolong dan menghargai binatang. Oeroeg juga tak suka membaca, dia baca buku kalau hanya ada gambar. Beda dengan si Aku yang gemar membaca, yang tentunya lambang intelektualitas. Dari sini terlihat ada niat untuk menguatkan bahwa derajat peradaban pribumi masih di bawah Eropa. Namun di sini si Aku sendiri masih bisa memaklumi karena memang dia rela melakukan adaptasi. Beda dengan Eropa lainnya yang egois memaksakan nilai-nilainya. Begitulah si Aku yang coba menghadirkan perspektifnya bahwa sesunguhnya Barat juga mengagumi hal-hal yang dimiliki Timur disamping juga mempertahankan beberapa nilai Barat yang ‘’berperadaban’’.

Ada seorang tokoh di roman ini bernama Gerrard Stokman. Dia salah seorang pegawai di perkebunan di Kebon Jati, Pariangan dimana ayah si Aku jadi petugas administrasi. Gerrard memiliki semangat frontier seperti halnya orang Eropa. Dia menyukai petualangan dan alam liar. Dia rela bergaul dengan pribumi tanpa merendahkan sedikitpun. Disini terlihat dia memiliki prinsip persamaan, tak ada perbedaan antara Barat dan Timur. Itu juga terlihat ketika dia bicara dengan si Aku mengenai hirarki Belanda dan pribumi. Berikut kutipan percakapan mereka: ‘’Apakah Oeroeg lebih rendah daripada kita?’’ Kukeluarkan unek-unekku.

‘’Apakah dia berbeda?’’

‘’Tidak! Gila itu,’’ kata Gerrard tenang tanpa melepaskan cangklong dari bibir. ‘’Siapa yang bilang begitu?’’

‘’Macan kumbang berbeda dari monyet,’’ kata Gerrard. ‘’Tapi apakah yang satu lebih rendah dari yang lain? Bagimu ini pertanyaan bodoh dan kau benar. Pertanyaan ini juga sama bodohnya bila menyangkut manusia. Perbedaan itu biasa. Setiap orang berbeda. Aku juga berbeda darimu. Tapi lebih tinggi atau lebih rendah karena kulit wajahmu atau karena siapa ayahmu, itu omong kosong. Oeroeg kawanmu kan? Kalau memang ia kawanmu, bagaimana bisa ia lebih rendah dibanding kau atau yang lain?’’

Beda dengan si Aku dan Gerrard, ayahnya sendiri adalah sosok konvensional yang masih mempertahankan superioritas Belanda atas pribumi. Pola pikirnya menyampaikan keunggulan Barat yang harus terus ditancapkan atas kerendahan pribumi. Ini terlihat bagaimana penekanannya pada si Aku untuk tak bermain dengan Oeroeg. ‘’Anak ini tidak pantas berada di kampung. Tidak bagus untuknya. Bahasa Belandanya tidak santun sama sekali. Kau dengar tidak? Dia akan jadi anak kampung. Mengapa kau tidak melarangnya?’’ Begitulah petikan perkataannya pada istrinya. Terlihat jelas bagaimana arogansi seorang Belanda yang tak ingin menyamakan diri dengan anak kampung pribumi. Terdapat kecemasan akan pudarnya identitas Belanda yang lebih tinggi daripada Indonesia. Apalagi dengan ucapannya seperti ini: ‘’Oeroeg kan anak inlander.’’ Label inlander seakan-akan seperti sesuatu yang rendah karena memang saat itu inlander merupakan golongan keempat setelah Belanda, Indo dan Cina. Tak hanya pada masa kanak-kanak, saat sekolah pun ayah si Aku tetap mengupayakan agar anaknya menjaga identitas Eropa. Beberapa ungkapan mengenai hal itu seperti: ‘’Kau tidak berkembang dengan cara begini, nanti kau mirip pribumi. Itu yang kucemaskan.’’ Dan ‘’Kau pasti mengerti nak. Kau orang Eropa.’’

Dalam hal nilai-nilai yang dianut pun, ayah si Aku sangat tak berkompromi. Ini terlihat pada perbedaan dimana dia tak mempercayai mistis dan pribumi yang meyakini kekuatan gaib. Di roman ini diceritakan suatu telaga gunung di Pariangan yang dihuni nenek gombel, vampir berwujud wanita tua yang mengintai anak-anak yang telah mati. Suatu hari beberapa orang Belanda datang dan minta untuk bermain di telaga gunung dan ditemani beberapa pribumi termasuk ayah Oeroeg, Deppoh. Karena hanya seorang mandor, Deppoh mengikuti saja kehendak para Belanda walau dalam pikirannya ini tindakan berbahaya. Dalam perjalanan, keacuhan Belanda mengenai hal mistis ini sangat nyata terlihat. Mereka tertawa terbahak-bahak tanpa menjaga sikap. Saat sampai di telaga pun, mereka tetap riang menjadi-jadi. Dengan menggunakan rakit ke tengah telaga, para Belanda terus bersuka ria, berenang dan berkejar-kejaran. Deppoh sempat mengingatkan, tapi tetap diacuhkan sampai akhirnya si Aku terjatuh ke telaga dan Deppoh coba mencari. Malangnya Deppoh tak muncul-muncul sedang si Aku selamat. Untuk menebus rasa bersalah, ayah si Aku memberi kesempatan untuk Oeroeg sekolah di HIS bersama si Aku di Sukabumi dengan seorang pengasuh bernama Lida. Dengan perasaan keberatan akhirnya sang ayah harus merelakan anaknya yang Belanda melanjutkan kebersamaan dengan Oeroeg yang pribumi.

Selama bersekolah, mereka makin akrab dan selalu melakukan sesuatu bersama-sama. Di sini memang terlihat bagaimana tak semua orang Belanda gengsi bergabung dengan pribumi. Bahkan si Aku dan Lida pun mengagumi Oeroeg yang memiliki catatan bagus di sekolah. Lida mampu bersifat toleran dengan menyarankan Oeroeg melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Tokoh Lida mewakili karakter Eropa yang suka memberi apresiasi terhadap kehebatan seseorang walaupun sebenarnya itu dipengaruhi oleh latar belakangnya yang keibuan tapi belum menikah. Di satu sisi juga terlihat bahwa dia mengagumi sesuatu yang bersifat eksotis yang diidentikkan dengan Timur walaupun dia tak menyadari.

Selanjutnya si Aku melanjutkan sekolah ke HBS Batavia dan Oeroeg di MULO yang sama-sama berlokasi di Batavia. Walau beda sekolah mereka sering bersama. Si Aku tak tertarik untuk berteman sesama Belanda, ia lebih memilih berkunjung ke tempat Oeroeg. Selama bersekolah, dalam perspektif si Aku, ada perubahan pada diri Oeroeg. Kini Oeroeg telah memakai polo shirt dan sepatu linen, tak lagi memakai kopiah. Bahkan dengan mendecak Oeroeg berkata: ‘’Aku bukan muslim.’’ Gaya bicara pun sudah seperti Indo dan mulai merokok, hanya berbicara bahasa Belanda serta selalu bergaya dengan rambut tebal disisir rapi. Disini terlihat suatu metamorfosa identitas pada pribumi yang mengecap pendidikan. Seakan-akan Oeroeg ingin menghapus segala identitasnya sebagai pribumi. Si Aku merasakan suatu yang lain dan tak menyukai Oeroeg yang sekarang. Logikanya sebagai seorang Eropa, si Aku mungkin senang bila pribumi mulai meninggalkan identitasnya. Namun tidak demikian dengan si Aku. Dia menjadi merasa kehilangan Oeroeg yang dikenalnya. Inilah satu sudut pandang yang juga harus diperhatikan dimana ada juga Belanda yang menginginkan pribumi tetap seperti adanya karena menjadi pribumi bukanlah sesuatu yang buruk.

Perubahan Oeroeg menjadi Barat membuat si Aku kurang simpatik dengannya. Si Aku merasa kasihan kepada pribumi yang coba menjadi orang lain seakan-akan malu menjadi pribumi. Lama kelamaan apa yang dilakukan Oeroeg untuk menjadi salah satu dari bagian Barat tak berhasil. Bagaimanapun dia tetaplah pribumi dan tak bisa menyamakan diri dengan anak Belanda. Karena tak berhasil, dalam diri Oeroeg pun muncul suatu anggapan pada si Aku sebagai seorang Eropa. Perbedaan yang dulunya tak berarti apa-apa kini jadi kerikil yang menjarakkan mereka akibat kegagalan Oeroeg untuk menjadi Eropa. Si Aku yang tak mempermasalahkan status ini terimbas pada konflik yang tak diperbuatnya. Dalam hal ini terlihat bahwa si Aku tulus untuk membaur dengan Oeroeg, namun karena perilaku Oeroeg, hubungan itu harus terpisah. Romantisme yang dulu tercipta antara pribumi dan Belanda menuju jurang akhir.

Karena gagal menjadi Eropa, Oeroeg mengubah haluan dengan membenci segala hal yang berbau Belanda. Dia mulai mengkritik semua yang dilakukan pemerintah Belanda. Terlebih lagi hal ini lambat laun memunculkan kebenciannya pada si Aku sebagai orang Belanda. Si Aku semakin pusing dengan Oeroeg yang sekarang sok kritis padahal dalam mengatakan sesuatu dia banyak menggunakan kata-kata orang lain. Di sini si Aku merasa kasihan melihat Oeroeg sekarang yang terkesan hanya ikut-ikutan saat gelombang nasionalisme juga berkembang. Disinilah konflik batin yang dirasakan oleh si Aku sebagai Belanda membuncah. Seakan-akan karena dia Belanda, dia dicap sebagai musuh pribumi. Oeroeg baginya adalah segalanya, tak peduli kalau dia pribumi. Dalam keputusasaannya bahkan si Aku sampai menggugat mengapa dia dilahirkan sebagai Belanda. Si Aku makin terpojok ketika berbincang pelik dengan Oeroeg dan Lida yang juga memihak Oeroeg. Benar-benar tak terbayang oleh si Aku akan menerima pembedaan yang dilakukan Oeroeg. Terlihat jelas dalam penggalan ini: ‘’Aku tak ingin meminta pada pemerintah Belanda,’’ jawabnya dingin. ‘’Aku tidak butuh bantuan kalian,’’ kataku, sementara darah naik ke kepalaku, karena kini kata-katanya tertuju padaku.

 ‘’Cara berpikir Lida sama dengan kami,’’ kata Oeroeg bangga. Hal yang satu menyusul yang lainnya, lalu terjadilah debat di mana si Aku harus bersikap defensif karena masalah ini terasa aneh baginya. Si Aku tahu sedikit atau tak sama sekali tentang aliran-aliran nasionalisme, sekolah-sekolah liar, tentang proses munculnya keresahan yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat pribumi. Yang ia tahu hanyalah Oeroeg sebagai bagian dari hidupnya. Tanpa sepatah katapun, si Aku mendengar hujan tuduhan dan celaan yang sekarang ditujukan Oeroeg dengan berapi-api, terhadap pemerintah, terhadap orang Belanda, terhadap orang kulit putih pada umumnya. Si Aku percaya bahwa banyak pernyataan mereka tidak berdasar, tidak adil, namun si Aku’ tak punya argumen untuk menerangkannya. Kekagetan makin bertambah ketika dia melihat Oeroeg menjadi orator dalam lingkungan baru yang terdiri atas para mahasiswa progresif dan agiator muda.

Si Aku akhirnya meninggalkan tanah kelahirannya, bersekolah di Eropa. Beberapa tahun kemudian setelah Jepang menyerah, si Aku membulatkan niatnya lagi untuk kembali ke Indonesia. Dia tak peduli akan suasana dan hubungan Belanda dengan pribumi setelah kemerdekaan. Dia melamar dan bekerja di Indonesia, tak peduli dengan istilah ‘’pikiran kolonial’’ yang melekat pada Belanda yang sama sekali asing baginya. Kerinduan si Aku kembali ke Indonesia karena perasaan mengakar dan menyatu pada tanah kelahirannya. Waktu yang dijalaninya di Belanda tak berarti baginya dibanding waktu-waktu di Indonesia bersama-sama Oeroeg. Si Aku datang bertepatan dengan agresi militer Belanda. Dengan mudah dia kembali ke Pariangan untuk mengurus perbaikan-perbaikan jembatan.

Nostalgia dengan Pariangan telah didapatnya. Hanya satu lagi yang dia inginkan yakni bertemu Oeroeg. Suatu saat si Aku pergi ke telaga gunung untuk mengenang sambil berharap bertemu Oeroeg. Benar, setelah itu seorang pemuda memegang revolver datang dan dengan mudah si Aku langsung mengenali Oeroeg. Tapi Oeroeg melayangkan senjata padanya sambil berkata ‘’pergi’’ beberapa kali tanpa mau mendengarkan si Aku. Sesaat setelah itu suara patrol pasukan Belanda berbunyi dan dengan sekejap Oeroeg pun menghilang. Si Aku takkan lagi menjumpai Oeroeg. Inilah petikan terakhir perasaannya: ‘’Apakah aku sudah terlambat? Apakah aku selamanya menjadi orang asing di tanah kelahiranku, di bumi yang tak pernah ingin kutinggalkan? Waktu yang akan menjawabnya.’’ Begitulah perspektif seorang Belanda mengenai Indonesia. Tak semuanya menganggap Indonesia sebagai sesuatu yang rendah, inferior dan pasif. Banyak yang memiliki kekaguman dan perasaan menyatu sehingga melahirkan romantisme tersendiri atau kerinduan akan kenangan yang indah masa kolonial.***


Bayu Agustari Adha
Lahir pada 15 Augustus 1986. Bekerja sebagai tutor bahasa Inggris di Easy Speak.