Monday, May 28, 2012

Simpul Sejarah dari Karya ES Ito Negara Kelima


Karya sastra memiliki beragam fungsi bagi pembacanya. Salah satu fungsi yang harus dipenuhi oleh karya sastra adalah harus member suatu pencerahan sehingga setelah dibaca karya itu memunculkan suatu kesadaran dan kebangkitan mengenai suatu hal. Dalam keadaan Negara sekarang ini sesungguhnya kita sangat membutuhkan konsumsi karya sastra yang memberikan suatu pencerahan. Hal ini diperlukan karena cara-cara lisan biasa sudah tidak ampuh lagi memberi pencerahan. Perlu suatu karya sastra dimana sastra beroperasi masuk dalam pikiran pembaca secara emosional dan terbukti mampu menimbulkan kesadaran dan kebangkitan.
Karya tersebut bisa berisi stimulasi untuk membangkitkan lagi kebanggaan Indonesia sebagai bangsa yang besar. Salah satu karya sastra yang mengandung hal tersebut bisa dilihat dari Karya Fiksi Sejarah karya ES Ito berjudul “Negara kelima”. Novel ini bercerita tentang suatu konspirasi pembunuhan sambil menyisipkan fakta, rekonstruksi, bahkan dekonstruksi sejarah.  Esensi dari Novel yang merangsang rasa kebanggaan adalah perumusannya mengenai beberapa kejayaan sejarah Indonesia atau nusantara pada masa lalu. Pemetaannya dilakukan dengan memecahkan teka teki Negara pertama, kedua, ketiga, dan keempat di Indonesia. Negara disini bisa berarti sebagai suatu peradaban, imperium, ataupun kerajaan. Sedangkan Negara kelima yang dimaksud novel ini adalah revolusi untuk mengakhiri sejarah bangsa Indonesia dengan menirikan Negara baru.
Negara atau peradaban pertama yang diungkap dalam novel ini adalah peradaban Atlantis yang berhasil dipecahkan bahwa itu terletak di Indonesia. Wacana Atlantis muncul ke permukaan akibat dari adanya kitab dialog Plato Timaues and Critias. Diskursus ini telah lama menguap namun belum ada kepastian yang jelas mengenai dimana letak sesungguhnya. Negeri yang diceritakan Solon ini ada  yang menyatakan berada di Amerika karena suku Maya adalah keturunannya dan ada juga yang bilang Atlantis adalah kisah tenggelamnya pulau Thera dekat Pulau Kreta, Yunani. Namun muncul suatu argumen yang menyatakan kalau Atlantis tidak berada di sekitar samudera Atlantis, peradaban itu tenggelam dan meninggalkan deretan kepulauan terluas di dunia, yaitu di Indonesia.. Atlantis tenggelam di lautan yang sekarang disebut Laut Cina Selatan. Peradaban itu tenggelam oleh banjir besar dan akhirnya meninggalkan pegunungan yang sekarang ini menjadi pulau-pulau karena Atlantis juga diceritakan dikelilingi pegunungan-pegunungan yang indah.
Indonesia sebagai Negara Atlantis tentu juga menjadi kontroversi. Dalam sejarah yang kita pelajari, Indonesia baru memasuki masa sejarahnya pada abad kelima dengan adanya kerajaan Kutai. Namun itu hanya mengacu pada bukti sejarah domestik. Sebenarnya, sejak permulaan zaman, nusantara sudah lama dikenal. Dalam sebuah buku Yunani berjudul Periplous tes Erythras Thalasses dengan angka tahun 70 masehi terdapat terdapat nama Chryse, istilah Yunani untuk pulau emas. Sebuah pulau tempat Bandar dimana negeri India bagian selatan berdagang. Kemungkinan besar yang dimaksud dengan Chryse adalah pulau Sumatera yang kita kenal saat ini. Dalam buku lainnya karangan Ptolemaues , seorang ahli navigasi dari Iskandariah Mesir disebutkan Chrysae Chersonesos mengacu pada semenanjung Barus, sebuah daerah yang terletak pada bagian barat Sumatera Utara.
Palto sendiri mengarang dialog yang tidak selesai ini sekitar 360 tahun Sebelum Masehi. Tokoh dalam dialog itu adalah orang-orang nyata yang dikenal Plato. Critias adalah kakek buyut Plato dan Socrates adalah gurunya. Hermocrates adalah seorang negarawan dan tentara. Sedangkan tokoh yang menceritakan Atlantis adalah Solon yang merupakan ahli hokum, sastrawan, dan juga petualang yang hidup tiga abad sebelum Plato. Hanya secuil bagian dari dialog itu yang membahas masalah atlantis. Cerita atlantis didapatkan dari perjalanan Solon ke kota Sais yang merupakan salah satu distrik di kerajaan Mesir kuno. Para pendeta di kota itu bercerita tentang sejarah yang dilupakan oleh orang Yunani tentang sebuah bangsa besar yang pernah menyerang nenek moyang mereka ribuan tahun yang lalu.
Dari cerita Solon didapatkan kalau gambaran fisik Atlantis menunjukkan bahwa itu adalah pulau tropis. Hanya mengenal dua musim dengan gambaran panen buah-buahan dua kali dalam setahun serta musim dingin dan panas. Terdapat banyak kayu-kayuan dan kaya akan buah-buahan. Ini sekaligus mematahkan teori–teori selama ini yang mengatakan Atlantis terletak di belahan Bumi utara terutama Eropa karena Eropa beriklim Subtropis.  Tanah yang subur jelas menggambarkan Nusantara.  Ini semakin kuat karena raja Atlantis saat itu diceritakan mudah mendapatkan  bahan makanan yang melimpah ruah. Namun tidak hanya Indonesia yang mempunyai iklim tropis. Bagaimana dengan Amerika  Selatan?. Akan tetapi ini bisa dibantah karena disana tidak ada Gajah seperti yang diceritakan Solon. Solon mendapat cerita dari pendeta dan pendeta disebutkan mendapat cerita dari orang-orang Punt.  Orang-orang ini adalah mereka yang selamat dari banjir besar yang menenggelamkan Atlantis yang berlayar dari arah barat Mesir.
Apakah Nusantara berada di sebelah barat Mesir? Kalau kita lihat dipeta memang tidak. Namun dalam novel ini terkuak bahwa orang Mesir Kuno melihat peta dengan terbalik. Selatan menjadi utara dan barat menjadi timur. Munculnya peradaban sejarah Yunani, Romawi dan Cina telah menetapkan posisi utara dan selatan sebagaimana sekarang ini. Walaupun peta yang dibuat orang mesir Kuno sangat jauh dari gambaran sesungguhnya , tapi mereka telah bisa mereka-reka dan memberi nama pada tempat-tempat yang cukup jauh untuk dilayari. Jadi ketika peta dibalik, lautan atlantik adalah laut Arab dan Samudera Hindia, bukan Atlatik yang kita kenal sekarang. Pada dasarnya dunia hanya punya satu lautan. Semua bagian dari dari lautan ini bisa disebut dengan Atlantik. Laut dunia ini sebenarnya Cuma satu. Tiap tetes air laut bisa berakhir pada tepian samudera dimanapun di permukaan bumi ini. Aristoteles dalam bukunya De Coelo menjelaskan dengan gamblang bahwa nama Atlantik mengacu pada semua lautan yang melewati bumi.  Tidak ada daratan yang bisa menghalangi pertemuan semua lautan. Atlantik bertemu Pasifik di amerika Selatan. Pasifik bercampur baur dengan Hindia di perairan Indonesia dan Hindia bertemu dengan Atlantik di selatan Afrika.
Kemudian mengenai Luas atlantik yang dikatakan sebesar Libya dan Asia Minor. Perlu diketahui Asia Minor adalah milayah yang dikenal dengan sebutan Turki saat ini. Tentu akan sama besarnya dengan wilayah Indonesia. Bayangkan Atlantis yang tenggelam itu membentang dari laut Cina Selatan sampai samudera Hindia. Kemudian dari barat ke timur membentang dari ujung Sumatera hingga pulau-pulau kecil yang dikenal dengan Oceania dan semuanya tenggelam kecuali bagian tinggi yang tidak pernah dihuni pada masa lampau. Benua luas yang tenggelam dikenal dengan nama Lumeria dan Atlantis adalah negeri terbesar di benua tersebut. Tenggelamnya Lumeria atau Atlantis adalah akhir dari dunia lama. Nusantara kuno kemudian disebut Ultima Thule, batas yang tak boleh dilewatkan. Nusantara kuno adalah tempat yang disebut-sebut orang Yunani sebagai Hades, neraka yang berada di dasar bumi. Tak ada yang kembali setelah melewati Ultima Thule. Lautan ganas dengan tonjolan-tonjolan karang, sisa dari benua yang tenggelam.
Setelah terjadi bencana banjjir besar beberapa orang yang selamat dari Atlantis pergi dengan membawa sekaligus menyelematkan benda yang dulu diletakkan di tengah-tengah Kota Atlantis. Jalanan di Atlantis dibuat melingkar mulai dari sisi paling luar hingga sisi paling dalam. Di jantung kota itulah diletakkan benda itu. Benda tersebut adalah simbol bersatunya alam-manusia dalam harmoni dan stabilitas. Sebagian ahli menginterpretasikan benda itu adalah sumber kekuatan Atlantis. Kekuatan yang telah membuat Atlantis Berjaya dan besar. Benda itu adalah Pillar Orichalcum. Terbuat dari material Orichalcum yang nilainya hanya kalah dari emas sesuai dengan cerita Plato di kitabnya. Tetapi pada akhirnya ketika Atlantis ditimpa kemerosotan, benda itu hanya menjadi sumber malapetaka dan keserakahan.
Ketika isu tentang kemungkinan tenggelamnya Atlantis di Nusantara, banyak orang menghubungkan benda itu dengan lempeng emas Tataghata yang ditemukan di dekat desa Tanjung Medan, Lubuk Sikaping Sumatera Barat. Kemunculannya memang ribuan tahun setelah tenggelamnya Atlantis, namun beberapa ahli menghubungkannya dengan kemungkinan reinkarnasinya Atlantis. Secara fungsional tak ada yang persis tahu untuk apa benda itu dibuat dengan kelopak mahkota yang menunjukkan delapan arah dengan empat tulisan pada tiap ujung utamanya dan satu tulisan pada bagian tengah. Keretakan diagonal pada bagian alas Pillar Orichalcum telah menghilangkan kemampuan benda itu ketika diselamatkan. Beberapa orang pada awal abad masehi meyakini kalau lempeng emas itu bisa mengatasi keretakan diagonal pada bagian alas. Tanpa lempeng itu benda Atlantis itu tidak ada artinya.
Ditemukannya lempeng tersebut, besar kemungkinan dibuat oleh orang-orang Atlantis yang kembali dengan membawa Pillar Orichalcum setelah ribuan tahun berada jauh dari Atalantis. Kembalinya orang-orang Atalantis ke nusantara ini erat kaitannya dengan penaklukan terbesar sepanjang sejarah oleh Alexander the Great. Hal itu bisa dirunut dari kenapa Plato tertarik mengenai Atlantis. Plato memiliki obsesi untuk mencari kembali benua yang hilang itu sekaligus mengembalikan Pillar Orichalcum yang mungkin telah terbawa ke Yunani oleh orang-orang Atlantis tapi mereka tak berani lagi untuk pulang. Tetapi Plato tak punya kekuatan untuk pencarian dan perjalanan itu. Hanya satu yang bisa melakukannya yaitu iskandar yang Agung atau Alexander the Great. Akan tetapi bagaimana cara menjelaskan antara hubungan Plato dengan Alexander the Great?
Plato lahir pada 428 sebelum masehi yang juga masih keturunan Solon. Setelah berguru pada Socrates, Plato kemudian memiliki murid yakni Aristoteles. Murid satu ini berpetualang sampai dengan Asia Minor yang berkemungkinan membawa misi tersendiri yang mungkin saja misi Plato. Aristoteles akhirnya pindah ke Pella, ibukota Makedonia. Ia kemudian menjadi mentor Alexander the Great. Besar kemungkinan Aristoteles juga menceritakan tentang Atlantis. Setelah naik tahta 335 sebelum masehi, Alexander melakukan beberapa penaklukan diantaranya Gaza dan mendirikan Iskadariah atau Alexandria dari pendudukan Persia. Kemudian dia melintas sungai Eufrat dan Tigris dan telah menguasai seluruh Asia tengah. Setelah itu penakluk ini menyeberangi sungai Indus India namun berhenti karena ditolak oleh tentaranya. Alasan berhenti yang diceritakan banyak mengenai kelelahan tentara. Akan tetapi sebenarnya tentara Alexander takut pada Ulthima Thule yang secara turun temurun diceritakan sebagai sebagai kawasan berbahaya. Alexander yang masih menyimpan misi untuk mencapai nusantara tak dapat lagi memaksa tentaranya apalagi moral yang juga telah merosost setelah berperang menaklukkan sekian lama.
Penaklukan separuh bagian dunia ini juga merupakan rute perjalanan terbalik dari orang-orang Atlantis yakni India, Mesopotamia, dan Mesir. Sedangkan Alexander The great membuat perjalanan dari Mesir, Mesopotamia, dan India. Setelah sampai di India dan memutuskan kembali lagi, Alexander tidak melupakan misi rahasianya. Untuk mewujudkannya, dia mewariskan pencariannya kepada keturunannya. Iskandar sempat menikahi perempuan Industan dan memilki tiga anak. Salah satu dari mereka akan menemukan benua yang hilang. Kemudian salah satu dari anaknya bersama putri Hindustan  dan rombongannya berlayar ke arah tenggara samapai akhirnya perahu mereka berlayar sampailah pada negeri belum bernama yang sekarang disebut Minangkabau. Dengan menjadi raja pertama anak bungsu Alexander The Great, Sri Maharajo Dirajo.
 Di lereng Gunung Merapi bernama Pariangan dibangunlah suatu tatanan Masyarakat. Kemudian daerah dibagi menjadi luhak dan rantau. Luhak dipimpin oleh penghulu sedangkan daerah rantau diutus raja-raja dari luhak. Hal ini memiliki kemiripan dengan daerah yang diperintah Atlas pada masa Atlantis dimana ada Sembilan daerah yang dipimpin oleh raja-raja yang diutus dari pusat Atlantis. Kemudian transformasi hukum dan masyarakat Minangkabau dari hukum tarik balas menjadi hukum alur dan patut sangat parallel dengan perubahan masyarakat Atlantis dari pemerintahan yang abbsolut menjadi pemerintahan payung hukum Posoidon seperti dalam kitab Plato. Dapat disimpulkan Negara kesejahteraan Plato diwujudkan di alam Minangkabau oleh keturunan Iskandar Zulkarnain atau Iskandar yang Agung atau Alexander The Great, murid Aristoteles dan Aristoteles adalah murid Plato. Namun ini bukan berarti dulunya Atlantis berpusat di Minangkabau karena yang disebutkan diatas adalah era kembalinya orang-orang Atlantis. Melihat sistem Minangkabau, kedatangan Sri Maharajo Dirajo tidak lepas dari konflik. Seperti cerita Atlantis, satu kelompok mengangankan Negara kesejahteraan dan berhasil mewujudkan tata Negara bagian di Minangkabau dan diduga satu lagi menginginkan pembentukan imperium yang membawa Pillar Orichalcum.
Hal itu dapat dilacak kembali dengan mengingat corak tulisan yang ada di lempeng Tataghata yang bercorak huruf Pallawa kuno. Satu-satunya huruf Pallawa kuno bercorak Sumatera adalah yang dipakai pada kisaran 600an masehi. Salah satu bukti prasasti pada tahun 600an Masehi adalah prasasti kedudukan bukit yang ditemukan di tepi sungai Tatang dekat Palembang. Interpretasi dari prasasti itu menyebutkan perjalanan rombongan tentara pimpinan Dapunta Hyang yang memulai perjalanan dari Matayap. Apabila Matayap itu diartikan sebagai Melayu, maka hal ini menguatkan bahwa sebelum sampai di Palembang, mereka mendarat di melayu, daerah Jambi sekarang. Sedangkan sebelumnya dikatakan tentara berangkat dari Minanga. Kata ini identik dengan Minangkabau. Berarti dahulu kala ada pembesar dari Minangkabau pergi berperang, berhenti lebih dahulu di Jambi, lalu terus ke Palembang dan mendapat kemenangan, dan akhirnya membangun kota di daerah itu dengan nama Sriwijaya.
Apabila dirunut letak Minanga itu persisnya berjarak maksimal 28 hari perjalanan ke Palembang. Dan Dapunta Hyang bersama tentaranya menempuhnya dengan naik perahu dan berjalan kaki. Seandainya rombongan Dapunta Hyang itu memang berasal dari Minangkabau, seharusnya mereka tidak datang dari Luhak Nan Tigo karena terlalu jauh yang dimisalkan saja dari Bukittinggi. Satu-satunya kemungkinan terdekat adalah daerah-daerah pinggir perbatasan yang dilalui jalan lintas Sumatera. Karena menggunakan perahu kemungkinan terbesar daerah Minanga itu adalah yang berada di sekitar sungai Batang Hari. Daerah tepat yang menggambarkan itu adalah Dharmasraya. Daerah ini dulu pernah berdiri kerajaan Dharmasraya. Satu dari dua kerajaan yang didirikan oleh orang-orang yang datang dengan rombongan Sri Maharajo Dirajo. Hanya saja tidak terdapat catatan historis yang memadai tentang kerajaan itu.
Prasasti kedudukan bukit tidak menyebut Dapunta Hyang sebagai raja, bisa jadi dia hanyalah seorang pembesar yang ingin kembali menegakkan imperium Atlantis. Jadi jelas rombongan ini berjalan dari Dharmasraya yang merupakan hulu sunagai Batang Hari kemudian berlayar sampai hilir ke Matayap atau melayu dan melanjutkan perjalanan ke Palembang. Orang-orang Dapunta Hyang tidak pernah menjadi raja. Mereka hanya mendirikan, lalu memberikan kekuasaan pada penduduk lokal. Hingga kemudian datang generasi raja-raja keturunan dari Saelendrawamsatilaka Sri Wirawairimathana. Sriwijaya berhasil meraih kejayaan. Paling tidak secara politis Sriwijaya pernah menguasai Melayu, tanah genting kra, Sunda, jawa tengah, daerah Ceylon di Selatan India, Sumatera bagian utara kecuali Minangkabau yang melakukan tipu muslihat adu kerbau (mungkin disebabkan karena orang yang mendirikan Sriwijaya juga orang mendirikan Minangkabau). Sriwijaya pada akhirnya jatuh takluk diserang Raja Cola dari india. Inilah Negara kedua yang disimpulkan oleh novel ini dengan simbol Pillar Orichalcum yang diangkut oleh Dapunta Hyang ketika membangun kota Sriwijaya.
Setelah atau mungkin sebelum kehancuran Sriwijaya, keturunan Dapunta Hyang dan rombongan membawa kembali Pillar Orichalcum kembali ke Minangkabau tengah, tempat asal mereka. Pada cerita lain beberapa abad kemudian, Raja Singasari Kertanegara mengirimkan tentaranya ke Melayu yang disebut dengan ekspedisi Pamelayu. Rombongan dipimpin oleh tentara yang kemudian pada masa awal Majapahit diberi gelar kebo Anabrang. Pada saat bersamaan, Khubilai Khan tengah meluaskan pengaruhnya ke Asia tenggara. Sesungguhnya ekspedisi ini bukanlah penaklukan, tetapi perluasan persahabatan antara Melayu dan Singasari membendung ekspansi Kubhilai Khan. Bersama pasukannya, Kertanegara mengirimkan Arca Budha Amoghapasalokeswara bersama 14 orang pengiringnya ke Melayu pada 1286 Masehi. Penempatan arca ini dilakukan di Dharmasraya. Tampaknya Melayu lama telah digantikan oleh Dahrmasraya. Arca itu kelak ditemukan di daerah Sungai Lansek, kabupaten Dharmasraya.
Saat itu Raja yang memerintah di Dharmasraya adalah Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. Rombongan besar pasukan Singosari berdiam di Dharmasraya selama lebih kurang 20 tahun kemudian mereka kembali ke Singosari yang telah menjadi Majapahit. Rombongan itu membawa dua orang putri hasil perkawinan Mauliwarmadewa dengan Reno Mandi, Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Petak kemudian dinikahi oleh Raden Wijaya atau Kertarajasa, Raja pertama Majapahit. Bukan sebagai selir, tetapi permaisuri. Sedangkan kakaknya Dara Jingga dinikahi oleh Tuan Janaka, salah seorang petinggi istana. Kertanagera telah mengetahui ada semacam magnet kekuatan yang terdapat di Dharmasraya dan ia membutuhkan lebih dari persahabatan untuk menghadapi serbuan tentara Mongol. Kalau dikaitkan dengan misteri Atlantis, maka ini adalah kelanjutan dari cerita Sriwijaya. Bisa jadi kedua putri itu tidak hanya membawa badan, tapi juga membawa benda sakti Pillar Orichalcum. Tradisi dari Dapunta Hyang yang membuka kerajaaan penerus Atlantis bukan di daerah pendaratan dilanjutkan oleh Mauliwardewa untuk mewujudkan Negara ketiga Atalantis di tanah seberang.
Dalam sebuah buku dituliskan bahwa Kertarejasa menikahi empat putri Kertanegara: Sri Parameswari Dyah Dewi Thribbuawaneswari, Sri Mahadewi Dyah Dewi Narandraduhita, Sri Jayendradewi DyahDewi Prajnaparamita, dan Sri Rajendradewi Dyah Dewi Gayatri. Sebenarnya mereka bukanlah putri biologis dari Kertanegara, tetapi merupakan representasi wilayah pengaruh dan sahabat Singasari. Salah satu prasasti menyebutkan bahwa empat putri itu merepresentasikan Melayu, Bali, Madura, dan Tanjung Pura. Sebagian para ahli menyebut Dara Petak adalah Sri Parameswari Dyah Dewi Thribbuawaneswari atau ratu utama yang melahirkan kalagamet atau Jayanegara. Setelah Jayanegara menjadi raja terdapat beberapa gejolak di Majapahit. Pelajaran sejarah kita mengatakan bahwa itu terjadi karena ketidakpuasan terhadap raja. Namun alasan itu hanya berlaku pada pemberontakan Ranggalawe. Selebihnya itu dikarenakan satu kesamaan yaitu semangat anti asing karena Jayanegara beribukan orang asing, seorang putrid dari Dharmasraya.
Pada masa-masa pemberontakan tersebut akhirnya Jayanegara diselamatkan oleh Gajah Mada dan mengungsikannya ke luar kota. Berkat strategi inilah Majapahit kembali dapat dikuasai. Gajah Mada adalah seorang yang visioner. Ia sadar tidak mungkin baginya untuk mencapai cita-citanya kalau harus menghianati keturunan Kertarejasa. Satu-satunya cara untuk mencapai visinya adalah mempertahankan kesetiaan pada keturunan Kertanegara dan Dara petak. Visi itu adalah visi yang dulu pernah dimiliki oleh Kertanegara, tentang sebuah Imperium. Gajah Mada mungkin melihat kuncinya ada pada benda yang dibawa oleh Dara Petak dan pengiringnya. Akan tetapi kemudian gajah Mada dan Jayanegara mempunyai visi yang berbeda. Hal ini menyebabkan Gajah Mada membunuh Jayanegara melalui Tanca, seorang tabib kerajaan menurut sumber Pamancangah yang berasal dari Bali. Perbedaan visinya adalah antara Negara dan kerajaan. Jayanegara mungkin menginginkan imperium yang dibangun itu adalah integrasi ide dan gagasan sedangkan gajah Mada menganggap imperium itu tak lebih dari pernyataan wilayah seperti pada sumpah palapanya.
Sejak meninggalnya Jayanegara, praktis Gajah Madalah orang paling berkuasa dan menentukan Majapahit. Ratu dan raja pada masa itu tak lebih dari alat legalitas belaka. Dengan meninggalnya Jayanegara maka berakhirlah Negara ketiga menurut novel ini. Akan tetapi ada satu lagi keturunan Dharmasraya disana yaitu Adityawarman yang merupakan anak dari Dara Jingga dan Tuan Janaka, seorang pembesar pada masa itu. Setelah Jayanegara meninggal sebenarnya jasa dan kecerdasan Adityawarman masih digunakan oleh Gajah Mada. Ia pernah menjadi utusan kerajaan di Tiongkok dan mendampingi Gajah Mada dalam penaklukan di Bali. Tetapi akhirnya Adityawarman kembali ke tanah asal ibunya di Dharmasraya tahun 1347.
Adityawarman kemudian masuk ke pedalaman Minangkabau, berusaha untuk memerangi dan menundukkan kerajaan yang masih satu kerabat dengan dharmasraya, yakni Kerajaan Pagaruyung. Tetapi dengan kelicinan Datuak parpatih Nan Sabatang, perang dapat dihindari. Minangkabau pedalaman yang merupakan Negara kesejahteraan tidak harus takluk pada Adityawarman. Hanya perlu sedikit perubahan adat untuk membuat Adityawarman tidak begitu berarti di mata rakyat. Kemungkinan besar benda sakti Pillar Orichalcumdibawa kembali dibawa oleh Adityawarman ke Minangkabau. Itu sebabnya Datuk Katumanggungan percaya begitu saja menyerahkan kekuassaan padanya. Di lain pihak, akhirnya Majapahit dengan politik integrasi wilayah Gajah Madanya praktis mengalami kehancuran setelah kematian Gajah Mada. Perang saudara Paregreg yang memperebutkan secuil kekuasaan telah menmghancurkan Majapahit. Majapahit runtuh karena perang saudara, bukan karena masuknya Islam.
Negara keempat dalam novel ini adalah PDRI, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Hal ini menekankan bukan pada jayanya sebuah imperium, tapi bagaimana pembesar bangsa ini menyambung nyawa Republik Indonesia yang telah sekarat akibat agresi militer Belanda. Tepatnya 22 Desember 1948 kabinet PDRI dibentuk oleh Sjafruddin Prawiranegara di Halaban, bekas onderdeming dekat kota Payakumbuh. PDRI adalah pemerintah tanpa ibukota, ibukotanya adalah hutan belantara yang berpindah-pindah. Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu 19 Desember 1948 jam 6 pagi Belanda telah memulai serangannya atas ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Mentri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera. Begitulah bunyi kawat Hatta kepada Sjafrudin yang tengah berada di Bukittinggi sebelum ditangkap Belanda bersama Soekarno. Namun kawat itu tak pernah sampai.
Hanya naluri para pemimpin yang tengah berada di Bukittinggi yang bisa menyelamatkan Republik ini. Sebagaimana Yogya, Bukittinggi adalah pusat dan kekuatan politik di Sumatera juga digempur Belanda bersamaan dengan pendudukannya di Yogya. Kolonel Hidayat, Komando teritorium Sumatera, Teuku Muhammad Hasan, Gubernur Sumatera, dan Sjafruddin Prawiranegara mengikuti naluri mereka yang berpikir bahwa Pemerintahan di Yogya telah lumpuh dan memutuskan untuk membentuk Pemerintahan Darurat. Tempatnya di sebuah rumah kecil di tepi Ngarai Sianok. 21 Desember malam, pengungsian dari Bukittinggi dimulai ketika Belanda berhasil masuk. Rombongan bergerak menuju Halaban. Kekuatan TNI dipecah menjadi 2 bagian. Sebagian mengikuti Sjafruddin Prawiranegara untuk menegakkan pemerintah, sebagian lagi mengikuti Kolonel Hidayat dalam rencana long march Sumatera. Sedangkan pasukan inti Sumatera Barat di bawah pimpinan Letkol Dahlan Djambek mundur ke Kamang, 12 km dari Bukittinggi. Kamang adalah pusat kekuatan militer republic paling efektif pada waktu itu.
22 Desember 1948 Panglima Besar Jendral Sudirman di Jawa dilanda gelisah. Ia kecewa dengan para pemimpin sipil yang ingkar janji. Mereka yang dulu berteriak akan ikut bergerilya ternyata justru menyerah pada Belanda dengan beragam alasan. Penyakit menggorogoti usia mudanya. Fisiknya lemah tapi kemarahannya semakin besar terhadap pemimpin sipil. Hanya keikhlasan perjuangan yang meredakan semuanya. Pada tanggal yang sama itu, Sjafruddin Prawiranegara dengan ketegarannya membentuk cabinet PDRI pertama. Karena pergerakan pasukan Belanda dengan legion pribuminya semakin gencar, pada 24 Desember rombongan Halaban dibagi dua. Rombongan pertama langsung dipimpin Sjafruddin, ketua dan perdana Mentri PDRI menuju Pekanbaru. Satu rombongan lagi dipimpin oleh Sultan Mohamad Rasjid, Gubernur Sumatera Barat yang dalam Kabinet Sjafruddin merangkap sebagai Mentri keamanan, sosial, pembangunan, dan perburuhan menuju Koto Tinggi.
25-26 Desember rombongan berada di Bangkinang, tapi Belanda terus memburu hingga beberapa kali pesawat mustang Belanda menembaki dari atas udara. Perjalanan ke Pekanbaru dibatalkan karena ternyata Pekanbaru telah diduduki Belanda. Diputuskan untuk berangkat menuju dusun terpencil bernama Taratak Buluah. Sebagian kendaraan harus dibenamkan karena tidak bisa menyeberangi Sungai Kampar. Sehingga sisa perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki. 29 Desember perjalanan dilanjutkan menuju teluk Kuantan. Tetapi Belanda masih bisa mengikuti. Pesawat cocor merah menghujani daerah itu dengan tembakan. 5 Januari 1949 rombongan meninggalkan Teluk Kuantan menuju Kiliran Jawo, daerah bagian tengah selatan Minangkabau. 2 hari kemudian rombongan berkumpul di daerah Abai Sangir yang kemudian dibagi lagi. Yang satu kembali ke Payakumbuh untuk memantau situasi dan sebagian lagi menuju daerah yang penduduknya bisa dipercaya untuk menegakkan PDRI yaitu Bidar Alam.
Sjafruddin akhirnya meninggalkan daerah itu pada 22 April 1949 setelah daerah itu dihajar dengan Bom. Itulah yang dahsyat dari PDRI karena adalah pemerintah yang merupakan integrasi ide dan bukan sekedar integrasi wilayah karena daerahnya hanya secuil tapi yang diperjuangkan adalah merah putih. Oleh karena itulah besar kemungkinan jika benda Pillar Orichalcum bersama rombongan Sjafruddin. Memang benar benda ini ada pada saat Sjafruddin berada di Bidar Alam. Benda itu dibawa oleh rombongan kedua yang merupakan keturunan orang-orang bijak Dharmasraya walaupun Pak Sjaf tidak tahu tentang benda itu. Orang Dharmasraya menyebut Pillar Orichalcum sebagai Batu Pembangkit Batang Terendam. Karena benda itu berasal dari suatu masa ketika orang belum berhitung dengan waktu. Ia bisa membangkitkan kekuatan massa silam yang terpendam.

Sunday, May 13, 2012

Madre: Melepas Penjara Kebebasan


Karya sastra memang tak hanya menghadirkan nilai estetika saja. Akan tetapi didalamnya juga disusupi nilai filosofis. Itulah mengapa sastra dan filsafat tak bisa dipisahkan satu sama lain. Filsafat sendiri merupakan upaya untuk melakukan pemaknaan hidup. Dalam bahasa sederhana, filsafat adalah ilmu tentang kehidupan. Untuk apa kita hidup? apa yang dilakukan untuk hidup, atuupun menjadi apa kita dalam hidup?. Tidak rumit sebenarnya. Semua perenungan itu akhirnya menghasilkan perspektif bahkan aliran dalam mengarungi kehidupan.
Di Indonesia sendiri, tentu saja terdapat karya sastra yang menawarkan filosofis tersendiri. Satu diantaranya adalah karya-karya dari penulis wanita, Dee Lestari. Banyak karya yang dilahirkannya menawarkan beberapa pandangan filosofis tersendiri kepada para pembaca seperti Supernova, Filosofi Kopi, dan lainnya. Karya terakhir Dee terbit 2011 berjudul “Madre” juga menghadirkan pembelajaran mengenai perenungan kehidupan. Di dalamnya Dee berusaha memberikan filosofi tersendiri mengenai kebebasan dimana tanpa disadari kebebasan juga bisa menjadi penjara sehingga menghilangkan substansi dari kebebasan itu sendiri.
Madre sendiri bercerita tentang seorang pemuda bernama Tansen yang tak pernah membayangkan akan mendapat warisan sebuah biang adonan untuk roti dari seseorang yang tak pernah dikenal sebelumnya. Dia menjadi ahli waris dari Tan Sin Gie, etnis Tiong Hoa. Tansenpun heran karena dia merasa tak punya darah Tiong Hoa. Usut punya usut ternyata Tan Sin Gie adalah kakeknya yang menikah dengan neneknya bernama Laksmi yang India. Biang “Madre” sendiri adalah buatan Laksmi dan Tan berwasiat untuk mewariskannya kepada keturunan langsung. Tansen yang baru mengetahui itu merasa hidupnya berubah sekejap karena yang dia tahu nenek dan ibunya meninggal dalam umur yang pendek. Tansenpun bertambah heran kenapa yang diwariskan hanya suatu biang adonan yang bernama  “Madre” dan juga wasiat untuk meneruskan usaha roti kakeknya tersebut. Disinilah letak pertempuran dalam batin Tansen yang berideologi hidup bebas dan tiba-tiba harus berhadapan dengan “Madre”.
Representasi kebebasan dapat dilihat dari simbol-simbol yang ada pada diri Tansen. Hal itu bisa meliputi penampilan, kehidupan atau pekerjaan, dan pernyataan-pernyataan dari Tansen itu sendiri. Dalam hal penampilan cerita ini menggambarkan Tansen yang memiliki rambut gimbal, celana sobek-sobek, dan hanya memiliki satu baju kemeja. Rambut gimbal merupakan simbol kebebasan ekspresi bagi sebagian anak muda. Hal ini biasanya dikaitkan dengan musik reggae yang juga merupakan musik kebebasan ala kaum rasta. Kebebasan itu terlihat dengan tidak mengikuti apa yang mapan atau apa yang dianggap layak dalam penataan rambut. Walaupun sebenarnya dengan berambut gimbal kita juga telah menghilangkan kebebasan kita sendiri dalam hal ini soal pembatasan ruang gerak dan perawatan yang meminta hal-hal tertentu. Kebebasan disini adalah hanya untuk tidak mematuhi pola norma masyarakat walaupun pada umumnya norma itu tidak secara tertulis dan sangsinyapun hanyalah sangsi sosial seperti dianggap aneh oleh orang-orang kebanyakan. Simbol lainnya yaitu celana sobek-sobek  dan baju kaus tanpa lengan juga merupakan suatu ikon kebebasan kaum muda dan suatu gerakan anti kemapanan terhadap sesuatu yang dianggap layak oleh persetujuan masyarakat secara tidak langsung.
Kemudian dalam hal kehidupan sendiri terkait dengan pekerjaan, Tansen memilih pekerjaan yang tidak terikat atau yang dia istilahkan dengan “Freelancer” dan dalam istilah Pak Hadi, teman kakeknya di toko roti, adalah “serabutan”.  Tansen berprofesi sebagai guide, ngajar surfing, desainer lepasan, dan penulis kadang-kadang. Terlihat pekerjaan yang dijalaninya memang pekerjaan yang tidak terikat pada siapapun kecuali pada konsumennya. Letak kebebassan dalam pekerjaan ini adalah tidak adanya atasan. Jadi tak ada tekanan baginya dalam mengerjakan sesuatu. Dia bisa saja bekerja kapanpun dia mau dan tidak untungnya memang apabila tidak ada project. Namun karena telah mendarah daging baginya, dia tetap bersikukuh untuk bekerja pada pola seperti itu. Dia benci rutinitas atau pola kerja yang sama dari waktu ke waktu.
Nuansa-nuansa kebebasan juga jelas terlihat dari nada-nada pernyataannya. Sangat terlihat dia menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dimana kontrol terletak pada diri sendiri dan selalu mencoba melawan pertimbangan orang lain. Memang salah satu substansi kebebasan adalah adanya suatu perlawanan. Hal itu terlihat apabila ada intervensi dari satu pihak. Hal yang sering dilakukan Tansen adalah selalu mempertanyakan sesuatu atau tidak setuju dengan sesuatu yang mengarah pada dirinya. Dalam cerita ini pada saat mendatangi pemakaman Tan Sen Gie saja, dia terus menggurutu dengan ucapan dalam hati seperti “Siapa dia?”, “kenapa aku?”, “keluarga? Kenalpun tidak”.
Ketika pertama kali dikenalkan kepada “Madre”, disinilah dimulai pergolakan antara nilai-nilai kebebasan yang dianutnya dengan kenyataan yang terjadi. Madre diperkenalkan Pak Hadi yang merupakan teman Tan Sen Gie dan orang yang bekerja pada toko yang namanya Tan De Bakker. Toko ini sudah tak beroperasi lagi di tengah menjamurnya bakery-bakery modern di Jakarta. Toko itu sendiri terlihat kotor di luarnya dan ditunggui oleh Pak hadi. Ketika Tansen tahu bahwa “Madre” itu hanyalah sebuah biang adonan, Tansen benar-benar merasa ini tidak logis. Jauh-jauh dia dari Bali untuk menjemput warisan yang hanya sebuah biang adonan. Jelas sekali disini dia tampak menganngap Madre bukanlah suatu yang penting dan jauh sekali dari pemikiran kebebasannya untuk menerima Madre. Itu terlihat dari pandangannya dalam cerita ini,
“Sejenak aku berharap adonan yang dipanggil madre ini akan berubah jadi bidadari cantik atau minimal membaca “selamat pagi”. Namun ia tetap diam membeku sebagaimana harusnya benda mati.  Telah kuseberangi lautan, demi seseorang yang tak kukenal, yang mewariskanku…adonan? Harus kutarik  semua otot humorku agar bisa mengapresiasi kelucuan ini. Dan rasanyta tetap tak lucu.”
Madre sangat berarti bagi pak Hadi dan orang-orang yang terlibat di Tan De Bakker. Nilai historis itu harus tetap terjaga agar tidak hilang. Tan Sen Gie mewariskannya agar roti beradonan biang Madre bisa berjaya kembali di tangan keturunannya Tansen. Namun Tansen tetap bersikukuh bahwa ini konyol tanpa memberi sedikitpun apresiasi. Tansen beralasan dia tidak bisa melakukan sesuatu yang berhubungan dengan makanan karena dia terlalu menjunjung tinggi nilai kebebasan yang dia punya dan menganggap pekerjaan pembuat roti bukanlah hal-hal yang bersentuhan dengan kebebasan. Disinilah letak keras kepalanya Tansen yang tak mau bernegosiasi dengan kenyataan yang dihadapi. Hal ini semakin mengindikasikan bahwa kebebasan yang dipujanya selama ini malah seperti memenjarakan dirinya sendiri sehingga dia selalu mengelak untuk sesuatu yang baru dan berada di depan mata. Karena pada intinya kebebasan juga tentunya mencoba hal yang baru. Kalau kebebasan itu tak bisa mencoba yang baru berarti kebebasan itu telah menjadi penjara. Tansen yang membuat kebebasannya itu menjadi penjara bagi dirinya sendiri.
Pembelaan-pembelaannya untuk tidak mau menerima Madre sangat mencerminkan kalau dia hidup di penjara yang bernama kebebasan dengan dalih-dalih yang terlihat dari pernyataannya ,“Pak ! saya nggak tahu apa-apa soal roti. Dan kenapa madre ini dari tadi disebut-sebut kayak orang? Kalau Pak Hadi bingung, dipanggang saja. Bagi ke anak-anak jalanan. Beres ! Saya rela !”. Pak Hadi terus berusaha meyakinkan bahwa “Madre” begitu berarti dan Tansenlah pelanjutnya, Tansenpun coba  memaklumi agak sehari sampai dia ditunjukkan oleh Pak Hadi cara memberi Madre pada roti dan mencicipi roti buatannya sendiri. Akan tetapi, hal itu hanya bertahan sementara setelah ada tawaran dari seorang gadis pengusaha waralaba bernama Mei yang kebetulan sering membaca blog Tansen dimana dia langsung tertarik ketika Tansen mem”posting” tulisannya mengenai keanehan Madre. Mei bermaksud untuk membeli Madre seharga seratus juta karena Mei tahu betapa berharganya biang dan sejarah Madre itu sendiri.. Tansenpun tergiur dan berpikir akan kembali pada kehidupan alam kebebasan yang telah dijalani sekian lama. Alasan-alasan yang untuk menjual yang disuguhkannyapun juga mencerminkan ketidakmampuannya menghadapi kenyataan dan sekali lagi cenderung terpenjara dalam kebebasan yang dianutnya. Hal itu bisa dilihat dari petikan dialognya bersama pak Hadi,
“ Saya bukan tukang roti Pak ! Ngulen adonan aja seumur hidup baru tadi pagi. Madre jauh lebih berguna di tangan orang kayak bapak atau Mei. Buat apa di saya? Buat jadi sarapan saya setiap pagi?”
“Tan kasih Madre buat untukmu karena dia punya maksud yang lebih besar. Tinggal kamu yang menentuken.”
“Hidup saya bukan disini. Saya nggak tertarik berbisnis. Saya nggak punya modal, dan saya nggak suka Jakarta” bisikku “tapi seratus juta ini riil, Pak. Besar artinya buat orang kayak saya.”
“bertahun-tahun kami meniunggu orang yang bisa menghidupkan tempat ini lagi. Kami piker orang itu kamu,” Pak Hadi menyahut murung.”Ya sudah. Terserah sajalah. Lupa saya. Madre itu hakmu.”
Tansen seakan-akan menciptakan penjara bagi dirinya sendiri, lebih hebatnya lagi penjara itu adalah kebebasan. Usaha Tansen untuk terus menjaga idealimenya akhirnya mentok juga ketika Pak hadi dan empat orang lainnya yang merupakan pekerja di toko itu berkumpul di pagi hari untuk suatu acara perpisahan dengan Madre. Tansenpun terpana melihat keberadaan mereka yang  rata-rata berusia di atas 70 tahun dimana seakan-akan Madre memang sesuatu yang berarti. Pak Hadipun menceritakan pada pekerja itu bahwa hanya Tansen dan Lakhsmi neneknya yang bisa mengulen adonan hanya dengan satu kali saja. Melihat orang-orang tua tersebut Tansen menjadi tidak tega. Berbagai stimulan membuat Tansen tak jadi menjual Madre pada Mei. Tansenpun akhirnya melanjutkan usaha Tan De Bakker dan Tansen juga menjadi pemimpinnya. Kepada Mei dia menawarkan kerjasama agar Outlet usaha Mei harus membeli stok dari Tan de Bakker.
Namun penjara kebebasan yang dibuatnya belum terhenti, itu terlihat dari beberapa ucapannya kepada para pekerja dan Mei. Contohnya seperti pada Pak Joko yang telah bekerja puluhan tahun di Toko itu “Bapak nggak bosan bekerja di satu tempat yang sama selama itu?”. Dari pertanyaan ini kita bisa lihat pretensi dari Tansen yang alergi pada pekerjaan rutinitas. Dia masih memandang tak ada kebebasan dalam tempat bekerja yang sama apalagi berpuluh-puluh tahun. Juga ketika Pak Hadi dan Bu Cory, salah satu pekerja, memujinya yang telah menghidupkan kembali Tan De Bakker. Tansen masih belum seratus persen menerima kenyataan yang terjadi walaupun terkesan hanya basa-basi seperti dalam dialog ini,
”Yang kami dibutuhkan took ini bukan modal Tansen. Kapanpun kami  mau bikin roti kami bisa. Kami butuh orang yang bisa memperkenalkan roti-roti macem yang kami punya ini ke orang-orang muda macem kamu dan Mei”.
 “Saya Cuma bantu sedikit, Pak. Saya nggak bakat memimpin.”
“Ternyata si Tan benar. Katanya ketika Madre diwariskan ke keturunan Lakshmi, pasti took ini jalan lagi,”
“Cuma kebetulan Bu. Saya ini nggak tau apa-apa kok. Madre saja taadinya mau saya jual.”
Setelah Tan De Bakker beroperasipun ternyata Tansen masih mengagung-agungkan kebebasan yang pernah dialaminya dengan mencari-cari kelemahan dari usaha yang telah dijalaninya. Dia merasa pekerjaan menjadi terlalu berat dimana dia harus bangun pagi-pagi buta dan juga dengan memanfaatkan ketuaan para pekerjanya. Dia merasa kasihan melihat para jompo yang bekerja keras tak sesuai dengan porsi fisiknya. Namun Mei meyakinkannya untuk terus maju Mei menawarkan untuk berinvestasi dengan menjadikan Tan De Bakery sebagai anak usahanya. Tampak betapa kebebasan versi Tansen telah menjadi racun yang telah larut dalam dirinya. Hal itu terlihat dalam percakapan ketika dia makan malam dengan Mei,
            “ Saya nggak bisa terikat,” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Sesaat kemudian aku tersadar baru saja curhat colongan,”Sori. Keceplosan.”
            “Satu-satunya yang saya ingin teruskan adalah kebebasan saya.”
            “kalau bebas sudah jadi keharusan, sebetulnya sudah bukan bebas lagi, ya?” cetus Mei kalem
Dalam dialog selanjutnya juga terlihat,
            Saya bukan siapa-siapa disitu. Saya nggak ngerti apa-apa..”
            “Sebenarnya ini masalah komitmen, kan?” sergah Mei, “Kamu merasa nggak pengin terikat dengan mereka? Tapi anehnya, kamu bela-belainmenemui saya gara-gara khawatir setengah mati sama kondisi mereka.”
            “Kalau saya peduli, bukan berarti saya mau menetap selamanya disitu,”sahutku cepat.
            “Apa sih yang menahan kamu di Bali?”
            Aku tergagap. Pertanyaan sama yang pernah ditanyakan oleh Pak hadi dan berulang kali kutanyakan dalam hati. Lagi-lagi, perempuan inilah yang berhasil mengantarkupada sebuah jawaban. Ternyata akulahyang mengikat kakiku sendiri.
            “Saya bisa jelasin A sampai Z rencana saya tadi Tansen. Tapi semua itu percumakalau kamu memutuskan pergi. Saya butuh kamu disini,” Mei menegaskan.
Akhirnya Mei yang berhasil melepaskan penjara yang bernama kebebasan itu dalam diri Tansen. Kadang memang cinta juga yang bisa mencairkan segala sesuatu. Ini merupakan suatu pengalaman hidup yang sangat bermakna. Terkadang kita begitu mengagungkan kebebasan atau hal yang berkedok kebebasan padahal sebenarnya adalah ketidakmampuan atau hanya sekedar gengsi. Dee Lestari sangat cerdik sekali mengolah suatu kisah filosofis yang memberikan suatu pencerahan yang tentu saja sangat berguna bagi dunia nyata. Kita dapat melihat bahwa ini juga mendorong semangat kewirausahaan bagi kaum muda khususnya di dunia usaha waralaba ini. Betapa banyaknya potensi yang dapat dirasakan daripada hanya terendam dalam air kebebasan yang malah memberatkan langkah kita sendiri.