Friday, August 10, 2012

Pertarungan Ideologi dalam Sastra

Add caption

Published on Riau Pos 12/08/2012/
http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=581&kat=2


Sastra berfungsi tidak hanya memberikan hamparan kisah yang tertera begitu saja. Namun dibalik itu sastra juga menyelipkan suatu pertarungan ideologi dalam konflik dan alur yang disajikan. Ideologi merupakan satu set ide dan gagasan yang terdapat dalam satu kelompok, kaum, bahkan Negara. Walaupun hanya bersifat fiksi tapi emosi yang disajikan terbukti lebih lama membekas dari pada karya non fiksi. Hal itu bisa dilihat pada karya Khaled Hosssaini berjudul “The Kite Runner” yang secara implisit menyajikan suatu pertarungan ideologi yang membuat suatu Negara yakni Afganistan menjadi Negara hancur berantakan tanpa henti sampai saat ini. Apa yang membuatnya menjadi hancur adalah pertarungan ideologi yang saling memaksakan tanpa adanya suatu negasi. Ideologi itu diantaranya Nasionalisme,  Liberalisme, Komunisme, dan Fanatisme.
Ideologi Nasionalis berhegemoni disini dalam kerangka yang dangkal. Nasionalisme ini beranjak dari primordialisme  suku dominan yang ada di Afganistan. Watak budaya membesar-besarkan ini menjadi suatu ciri khas orang Afgan. Jika seseorang mengatakan anaknya seorang dokter maka kemungkinannya anak itu hanyalah pernah lulus ujian Biologi. Inilah kecintaan pada tanah air yang dibesar-besarkan sehingga membawa dampak buruk pada masyarakat itu sendiri. Dalam novel ini digambarkan suku  mayoritas yakni Pashtun yang menginferiorkan suku Hazara. Diceritakan karakter utama Amir yang seorang Pasthun mempunyai teman bermain yang merupakan anak jongos keluarganya yakni Hassan bersuku Hazara. Amir memang tidak menganiaya ataupun menyiksa Hassan, akan tetapi watak superioritas sebagai suku Pasthun tetap tertanam pada tindakannya walaupun tidak sebenarnya dalam hati. Baba Amir dan ayah Hassan, Ali, dulunya juga seperti itu mereka besar bersama dengan perbedaan majikan dan pembantu.  Mereka selalu main bersama namun tak pernah sekalipun baik Baba ataupun Amir menyebut Ali dan Hasan sebagai teman.
Tindakan terjadi hanya karena konstruksi masyarakat Afgan yang memberi paradigma rendah pada orang Hazara. Dalam kesehariannya, Ali dan Hassan sering mendapat olok-olokan dari kaum Pasthun yang berbeda secara fisik dengan kaum hazara. Setiap hari Ali memperoleh cemoohan dari remaja yang agak besar dengan sebutan Babulu atau Hantu. Kutipan hinaan itu diantaranya “Hei, Babulu, Apa yang kamu makan hari ini?” teriakan itu disambut derai tawa.  Mereka menyebutnya pesek, begitulah ciri-ciri Ali dan Hassan dan kebanyakan suku Mongol Hazara. Suku ini keturunan Mongol dan sedikit mirip dengan orang Cina. Julukan-julukan untuk orang Hazara diantaranya  pemakan tikus, pesek, dan keledai pengangkut barang. Malangnya stigma ini terus terwarisi sampai pada anak-anak yang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Hassan juga kerap diperolok, terutama oleh Assef, tokoh antagonis di novel ini dengan sebutan-sebutan di atas.
Assef menjadi representasi nasinalisme yang bermuara pada fasisme. Dia merupakan pengagum Hitler dengan ibu keturunan Jerman dan Ayah seorang Pasthun. Satu setting menceritakan assef bersama temannya mencegat Amir dan Hassan untuk membiarkannya menyiksa Hassan seorang Hazara. Dia mengatakan “Afghanistan adalah Negara milik bangsa Pasthun. Dari dulu begitu, dan akan selalu begitu. Kita adalah orang-orang Afghan sejati, orang-orang Afghan murni, tidak seperti si pesek ini. Kaumnya mengotori tanah air kita.” Assef tak hanya marah kepada Hassan, tetapi juga kepada Amir karena telah bermain bersama dengan Hassan. Dalam hati Amir bahwa Hassan bukan temannya melainkan pembantunya, namun karena segan Amir tak mengatakannya. Hassanpun melindungi Amir dengan menggertak Assef dengan ketapelnya. Kekalahan Assef ini menjadi dendam yang semakin besar dan abadi baginya..
Tak hanya hubungan persukuan yang membuat suatu nasionalisme sempit seperti ini, aliran agama juga menegaskannya walaupun sama-sama Islam. Pasthun menganut Sunni dan Hazara sebagai Syi’ah. Latar belakang utama penindasan ini memang adalah perbedaan Mahzab agama ini. Hal itu tetap dijaga. Pernah suatu ketika Amir mempertanyakan ini pada Guru agamanya namun gurunya hanya mencibir dan mengatakan bahwa orang Iran memang ahli mengarang cerita. Guru tersebut menyerngit ketika menyebut kata Syiah seolah-olah itu adalah suatu penyakit. Pada saat Amir membaca buku karangan Iran mengenai suku Hazara. Dia baru mengetahui bahwa ternyata kaum Pasthun telah menindas dan memperlakukan suku Hazara dengan buruk. Hazara coba melawan tapi dapat dihentikan dengan kekerasan yang tak bisa terkatakan. Pasthun mengusir Hazara dari tanahnya, membakar rumahnya dan menjual para wanitanya
Namun disisi lain pemikiran ini juga mendapat perlawanan dari orang Pasthun sendiri yang berupa pemikiran liberal. Hal itu dapat dilihat dari karakter ayah Amir sendiri, Baba yang menunjukkan kejijikannya pada kaum Sunni yang merasa sok suci. Hal ini terlihat ketika Amir mengatakan kepada ayahnya bahwa menurut guru agamanya minum Wiski itu haram. Baba dengan percaya diri mengatakan bahwa apa yang dipelajari di sekolah tak akan menemui titik temu dengan kenyataan. Bahkan dia mengatakan
“tapi sebelumnya pahamilah ini terlebih dahulu, Amir: Kau takkan pernah belajar hal-hal yang berguna dari para idiot berjenggot itu. Mereka tidak melakukan apa-apa kecuali menghitung butiran tasbih dan  memamerkan hafalan isi buku yang ditulis dengan bahasa yang tidak mereka pahami. Kuharap Tuhan melindungi kita semua jika suatu saat Afghanistan jatuh ke tangan mereka”
Pernyataan ini jelas mencerminkan seseorang yang berideologi liberalisme karena kecendrungan sering menganggap kaum yang berlabel agama adalah pendongeng tanpa logika yang melakukan pembenaran dengan hafalan ayatnya.
Baba sendiri adalah orang yang tergila-gila dengan gagasan tentang Amerika. Dia juga pernah mengatakan bahwa di dunia ini hanya ada tiga lelaki sejati yakni sang penyelamat gagah berani, Inggris, dan Israel, selebihnya adalah mereka yang sama saja dengan nenek-nenek yang hobi bergosip. Tentu saja pernyataan ini menyentak banyak orang karena secara de facto memuja Israel tentu saja mengindikasikan anti-Islam. Tapi dia menyatakan bahwa semua ini tidak ada hubungannya dengan agama. Dimatanya Israel adalah pria sejati di sebuah pulau dikelilingi oleh lautan bangsa Arab yang terlalu sibuk memikirkan produksi minyak mereka sehingga tidak peduli pada nasib bangsa sendiri.”lakukanlah sesuatu untuk mengatasi masalah! Bertindaklah. Kalian kan orang Arab, pergi sana, tolong orang Palestina!”, serunya.
Hingga sampai akhirnya Uni Soviet menginvasi Afghanistan, maka masuklah satu ideology lagi yakni komunisme. Ideologi buruh yang tumbuh menjadi gerakan otoriter di atas segala pembenaran. Ideologi yang pertamanya menyokong majunya kaum buruh malah berujung kekejaman oleh para tentara Uni Soviet. Afghanistan yang sedang gagap berideologi harus menelan lagi paksaan ideologi baru. Apa yang dilakukan oleh Uni Soviet jelas bertentangan karena yang terjadi di lapangan sebenarnya hanyalah nafsu kekuasaan sebagai pertarungan Negara adidaya dengan Amerika sehingga segala hal yang berhubungan dengan Amerika dimusnahkan. Itu terjadi kepada pihak Afghan segala aspek sampai-sampai pada hal-hal budaya pop seperti musik. Di novel ini seorang musisi modern menjadi seperti anjing oleh tentara Rusia hingga akhirnya tewas menggenaskan.
Dalam aksinya para penginvasi dengan sesukanya memetakan aliran ideologi para penduduk tanpa jelas kriterianya. Dengan menggunakan cecunguk dari Afghanistan sendiri Tentara Uni Soviet telah membantai begitu banyak jiwa yang terindikasi tidak berafiliasi pada komunis. Mereka diam-diam menguping pembicaraan orang lain. Komentar kecil yang terlontar saat menunggu penjahit mengupas baju bisa mengirim seseorang ke penjara bawah tanah Poleh-Charki. Keluhan tentang pelaksanaan jam malam yang dilontarkan di hadapan tukang daging bisa mengantarkan seseorang menghabiskan waktunya dibalik jeruji, dibalik hadapan moncong senapan klashinov. Kejadian ini berlangsung begitu lama sehingga menyebabkan Afghanistan menjadi Negara tanpa masa depan karena sibuk dengan rutinitas perang.
Hingga akhirnya pada tahun 1989, Uni Soviet meninggalkan Afghanistan. Seharusnya penarikan pasukan itu menjadi kemenangan bagi penduduk Afghanistan. Tetapi perang terus berkecamuk, kali ini antar warga Afgan sendiri, kaum Mujahiddin melawan pengikut Najibullah, pemerintah boneka Soviet. Gelombang pengungsi Afgan terus membanjiri Pakistan. Pada tahun itu pula perang dingin berakhir dan tembok Berlin dirobohkan. Namun di tengah kekacauan itu, Afghanistan terlupakan. Kabul saat itu menjadi rebutan antara faksi-faksi yang ada. Ibukota Afghanistan ini telah jatuh ke tangan Massoud, Rabbani, dan kelompok Muhajiddin antara 1992-1996. Telinga menjadi terbiasa mendengar desingan peluru dan ingar bingar adu tembak. Sedangkan mata menjadi akrab dengan pemandangan seseorang manggali timbunan puing-puing bangunan untuk mencari tubuh sanak saudaranya sampai pada saat Taliban memenangkan pertikaian 1996.
Pada masa Taliban inilah muncul lagi satu ideology yang semakin memperparah keadaan yakni Fanatisme. Pada mulanya memang semua orang di Afganistan menyambut Taliban dengan sukacita. Para warga menari di jalanan dan menyapa prajurit Taliban seperti pahlawan, memanjat tank mereka dan berfoto bersama. Namun itu hanya berjalan sesaat, tanpa diduga Taliban melakukan hal-hal yang tidak masuk akal atas nama agama dengan memerangi rakyat Afghan sendiri. Permainan layang-layang diharamkan dan 2 tahun setelah berkuasa mereka membantai suku Hazara yang beraliran Syiah.
Tak hanya itu, Taliban juga melakukan ketidakadilan kepada kaum perempuan. Hal itu terjadi ketika istri Hassan berbelanja di pasar. Dia membeli sesuatu, namun karena penjualnya agak sedikit tuli dia bersuara agak keras. Hal itu terdengar oleh tentara Taliban dan langsung menghampiri dan memukuli sembari mengatakan bahwa kementrian kesusilaan melarang wanita bersuara keras. Hal ini jelas menandakan pemahaman sempit oleh Taliban sehingga hal-hal yang perlu dinegosiasipun diabaikan. Karena Hassan adalah Hazara maka ancaman-ancaman kematian senantiasa menimpanya hingga akhirnya dia mati dengan ditembak kepala bagian belakang oleh Taliban karena identitas Hazaranya.
Fanatisme sempit ini juga diterapkan pada cara berpakaian. Afghan laki-laki diwajibkan memakai pakol sedangkan wanita memakai burqa dan laki-laki harus berjanggut sepanjang dada yang mereka anggap sesuai syariat. Jelas ini suatu pemahaman yang salah dari paham fanatisme yang dianut dengan mengatasnamakan syariah. Disisi lain para prajurit Taliban malah menasbihkan hal-hal tertentu hanya pada mereka seperti dimana hanya Taliban yang bisa menikmati daging kambing. Dalam keseharian operasionalpun mereka berpatroli dengan sangat kejam seperti orang kehausan untuk membunuh. Mereka terus memancing rakyat untuk berbuat kesalahan dan dengan begitu mereka bebas menindas sampai dengan membunuh. Ini makin menjadi pemandangan sehari-hari sehingga yang terlihat hanya seorang anak bersama ibunya tanpa ayah. Sebagian besar ibupun lebih memilih menumpangkan anaknya dipanti asuhan yang kondisinya menyedihkan karena wanita juga dilarang bekerja sehingga tak ada biaya untuk memenuhi kebutuhan. Seorang ayah telah menjadi suatu sesuatu yang langka di masa Taliban.
Pada masa itu ada satu kebiasaan yang gemar sekali dilakukan oleh Taliban yaitu prosesi perajaman kepada para pezina pada saat jeda istirahat pertandingan sepakbola. Setelah wasit membunyikan peluit turun minum pertunjukan tambahan segera dimulai. Dua truk merah berbak terbuka memasuki stadion melalui gerbang. Seorang wanita dengan terbungkus burqa hijau duduk di salah satu bak truk, sementara seorang pria dengan mata tersekap duduk di bak truk lain. Kedua truk berjalan mengelilingi lapangan seolah-olah membiarkan seluruh penonton memperhatikan mereka. Truk berhenti di belakang gawang yang telah menyediakan dua lubang. Kemudian datang lagi satu truk berisi pasukan Taliban. Kemudian mereka memasukkan kedua pezina ke masing-masing lubang sedalam dada. Kemudian berbicaralah seorang ulama dengan melafalkan surat Al-qur’an yang panjang. Lalu ulama itu berceramah mengenai keharusan menegakkan Syariat kehendak Allah dan Nabi Muhammad. Lalu dimulailah acara inti dimana seorang pria memungut batu dan memperlihatkannya kepada penonton lalu melemparkannya kepada para pezina sampai akhirnya daging dan darah berserakan. Pertunjukanpun selesai.
Peristiwa ini secara naluriah jelas suatu tindakan yang bersifat sadisme yang semakin mejauhkan Islam sebagai agama yang damai. Hal itu terjadi karena fanatisme sempit yang tak bisa menyaring dan menterjemahkan hukum Allah sehingga terjadi salah tafsir dimana perlu dilakukan peninjauan terlebih dahulu
Karakter yang merepresentasikan ideology fanatisme ini ternyata tak lain adalah Assef. Seorang pengagum Hitler yang menjelma menjadi Taliban. Jelas disini bahwa Taliban telah menjadi wadah baginya untuk melampiaskan hasrat fasisme yang dianutnya. Terang sekali bagaimana perselingkuhan ideologi Fasisme dengan fanatisme yang berupa Taliban. Dalih Syariat itulah yang digunakannya, menurutnya
“Menegakkan keailan kepada masyarakat adalah pertunjukan terhebat. Drama. Ketegangan. Dan yang terbaik diantara semuanya adalah pendidikan missal. Kau tidak akan mengerti makna kata pembebasan hingga kau melakukannya, berdiri di hadapan seruangan target, membiarkan peluru melayang, membiarkan dirimu mengetahui bahwa dirimu lebih unggul, lebih baik, dan lebih mulia. Mengetahui bahwa dirimu telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan”
Begitulah upaya pembenaran yang dilakukannya. Tampak nyata bahwa dia menggabungkan ideologi Fasisme ala Hitler dengan Fanatisme sempit sehingga dia merasa melakukan sesuatu atas kehendak Tuhan.