Monday, April 22, 2013

Humanisme Sastra Indonesia

Published on Padang Ekspress 21/04/2013



Sejarah telah nyata membentangkan sastra sebagai agen kemanusiaan. Beragam karya telah menyentuh emosi khalayak dengan mengedepankan sisi kemanusian. Seperti halnya dari Shakespeare sampai Hemingway. Semangat ini terus menggejala sampai sekarang layaknya awal kemunculannya sejak Renaissance. Bahkan istilah humanisme sendiri muncul dari “Revival of Learning”nya pada teks-teks Yunani. Kajian-kajian ini seakan menetapkan ranah sastra sebagai alat kemanusiaan dengan memprioritaskan manusia di atas segalanya. Melalui hal inilah humanisme dianggap sebagai “isme” yang banyak dianut masyarakat meskipun dalam prakteknya tidak utuh, banyak hanya dalam tataran wacana dan ideologi.
Humanisme berhasil menyingkirkan sekat-sekat perbedaan seperti agama dan bangsa. Tujuannya sendiri memang adalah menciptakan terjadinya kehidupan yang harmonis dan damai dengan melihat sisi-sisi kemanusiaan. Seiring perkembangannya, humanisme menemukan dan mendapatkan resistensi dari sesuatu yang bertentangan dengan humanisme. Dalam kontek dangkal tentunya ini dari kalangan agama dan bangsa. Lebih rinci lagi lawan humanisme adalah fanatisme dan Fundamentalisme pada pihak agama dan Rasialis dari pihak bangsa. Seringkali juga humanisme menjadi alat pembenaran untuk melakukan misi kemanusiaan dengan fakta-fakta yang tidak manusiawi. Sepeti George W Bush dengan jargon “War on Terorism”nya yang membuatnya justru seperti teroris. Dlanjutkan dengan Obama yang membunuh Osama dengan cara yang tidak manusiawinya. Apakah mungkin Humanisme harus dilakukan dengan tidak humanis.
Akan tetapi hal di atas hanya rantai dari wajah Eropa dan Global, lain lagi bila kita bicara di Indonesia. Negara ini tak punya Renaissance, perlawanan terhadap Vatikan, dan revolusi Industri. Dalam tataran ideal dan Undang-Undang memang Indonesia sangat mengedepankan sisi kemanusiaan yang jelas terlihat bahkan hanya dari pembukaan UUD 45. Namun dalam sejarahnya, banyak sekali hal-hal ironis, miris, dan paradoks mengenai humanisme di Indonesia. Bangsa ini punya ribuan masalah kemanusiaan, mulai dari konflik antar agama, antar suku dan golongan, sampai antar ideologi. Sampai sekarang ini tak jelas apa akar masalahnya dan siapa yang salah akibat semua peristiwa itu. Apa yang benar dalam tataran Eropa dan dunia belum tentu benar di Indonesia dan apa yang salah bisa saja benar di Indonesia. Seakan-akan benar juga apa yang dikatakan Justin Bibier kalau Indonesia adalah “Random Country”. Segala ketidakjelasan ada disini.
Tidak hanya dalam kehidupan nyata, ketidakjelasan ini juga terlihat dalam karya sastra. Salah satu contohnya pada novel “Maryam” kaya Okky Madasari. Novel ini sendiri merupakan pemenang Khatulistiwa Literary Award 2012 kategori Prosa. Terlepas dari ketidakjelasan penghargaan itu sendiri, novel ini berhasil menyiratkan problematika kemanusian orang-orang Ahmadiyah. Konflik yang bukan antar agama, melainkan intra agama. Okky mengekplorasi kesulitan Ahmadiyah dalam cinta,  eksistensi, dan sosial kemasyarakatan. Kisah Ahamadiyah yang terusir dari tanah sendiri, terusir lagi dari tanah berikutnya sampai hidup di pengungsian yang sampai sekarang belum jelas kehidupannya dan bahkan kematiannya. Karena jika kematian menimpa Ahmadiyah, kemana akan dikebumikanpun masyarakat juga ada yang protes. Ketidakjelasan otoritas disini juga terang sekali mengenai siapa yang punya kekuasaan. Apakah pemerintah, kaum Agamis, atau Masyarakat.
Cinta merupakan suatu yang kodrati, kasarnya binatang juga memiliki cinta. Namun semua tak berjalan mulus, ada lika-likunya. Kadang perbedaan menghalangi seperti yang dialami seorang Ahmadi, Maryam. Ya, kisah picisan yang selalu ada dalam dunia ini. Maryam yang seorang Ahmadi menghadapi rintangan dari orangtua untuk tidak menikah dengan orang diluar Ahmadi, sementara itu orang diluar Ahmadi juga menginginkan untuk tidak berpasangan dengan orang Ahmadi, disini representasinya orang tua Alam, suami pertama Maryam. Ibarat bola pimpong, Maryam dibolak-balik oleh para orang tua tersebut. Humanisme jelas tidak bekerja pada kedua belah pihak orang tua. Pada diri masing-masing tersimpan suatu eksklusivitas kelompok. Terlihat betapa alerginya Indonesia pada perbedaan. Hanya Maryam dan Alam yang tidak memperdulikan perbedaan, namun karena kuatnya pengaruh orang tuanya, Alampun menuruti untuk menyuruh Maryam melepaskan identitas Ahmadiyah.
Terlihat bahwa hanya Maryam yang merupakan humanis disini. Dia berpegang teguh bahwa Ahmadiyah ataupun bukan Ahmadiyah sama-sama Islam. Maryam memenuhi satu unsur humanisme yakni toleransi terhadap perbedaan dan tidak terlalu fasis dalam dalam mengilhami suatu keyakinan. Namun Maryam melakukan hanya dalam tatanan ide dia sendiri, dalam hal praktis Maryam mengamini untuk tidak humanis dengan mengorbankan dia sendiri. Dia setuju untuk meninggalkan identitas Ahmadiyah dan dilabelkan seakan-akan telah kembali ke jalan yang benar saaat menikah dengan Alam. Diapun juga menghiraukan orang tua dengan wali nikah orang lain. Apa yang dilakukan hanya mengalah untuk menghilangkan sekat-sekat perbedaan, namun dengan relanya dia menjadi korban. Akhirnya diapun tak tahan dan bercerai dengan Alam, karena orangtuanya yang masih sering menyinggung masalah Ahmadiyah. Akhirnya Maryam pulang ke orang tuanya, tapi tak mendapati karena orang tuanya telah terusir sebagai Ahmadi.
Dalam hal keberlangsungan eksistensi, Ahmadiyah menghadapi perlawanan dari berbagai institusi. Dari pemerintah sendiri melalui sekolah sebagai institusi pendidikan, orang yang terduga Ahmadiyah mendapat perlakuan ketidakadilan meskipun dalam hal akdemis tak ada keterkaitan. Namun karena kata “sesat” yang selalu disematkan ke Ahmadiyah, apapun hasil akademis takkan mempengaruhi. Ini terjadi pada adik Maryam, Fatimah, yang mendapatkan nilai merah pada mata pelajaran agamanya. Institusi lain yang juga berperan untuk kehancuran Ahmadiyah adalah institusi keagamaan. Ahmadiyah telah resmi dilarang pada masa sebelum reformasi, namun tak terjadi hal apa-apa. Tapi kenapa sekarang kekacauan terjadi. Itulah keanehan Indonesia. Lembaga MUI mengeluarkan fatwa haram lagi untuk Ahmadiyah, setelah dulunya telah dilakukan. Apa maksud semua ini. Dengan dikeluarkannya lagi para ulama yang merasa menjadi wakil Tuhan menemukan alat pembenaran untuk membasmi Ahmadiyah dengan provokasi dan kekerasan. Disinilah perlu ditanya apakah ada humanisme itu di Indonesia.
Setali tiga uang, pemerintah pusat dan daerah sama sekali tak bisa membuat suatu ketentraman. Ahmadiyah yang mengadukan nasibnya hanya disuruh bersabar dan ujung-ujungnya diminta untuk menanggalkan segala keyakinan sambil berkeluh mengatakan Ahmadiyah keras kepala. Intinya adalah turuti saja kehendak masyarakat agar tak ada lagi keributan. Aparat keamanan seperti Polisipun tak ada bedanya, mereka hanya menyuruh Ahmadiyah untuk menghindari warga dan meninggalkan rumah yang mereka bangun dengan jerih payah sendiri. Warga dibiarkan untuk berbuat kerusakan terhadap hal-hal berkaitan dengan Ahmadiyah. Seakan-akan apabila massa telah bertindak, maka itu adalah suatu kebenaran yang tak perlu dianggap sebagai suatu tindak pidana oleh kepolisian.
Dalam novel ini sepertinya Okky Madasari memang hanya mengedepankan sisi humanisme yakni toleransi dan individualisme. Keduanya saling berkaitan erat untuk menegaskan kehidupan saling menghargai kebebasan pribadi. Maryam tidak terlalu mengekplorasi secara komprehensif perbedaan Ahmadiyah dan apa yang membuatnya berbeda. Yang jelas hanyalah berbeda dan hargailah perbedaan itu. Sekiranya memang begitulah pesan karya ini. Novel ini tak menerangkan siapa tokoh Ahmadi yang fotonya ada pada setip rumah penghuni Ahmadi. Bahkan nama Mirza Ghulam Ahmadpun tak pernah disebut. Yang ada hanya sesosok pria memakai sorban dan berjenggot. Ahmadiyah bermarwah pada Mirza Ghulam Ahmad, seperti halnya Muslim Syiah kepada Ali bin Abi Thalib. Bagi yang mengetahui permasalahan Ahmadi bisa jadi mereka tahu, namun bagi yang tidak, novel ini bisa saja menghadirkan bias. Kejelasan apakah Ghulam Ahmad mengaku nabi atau tidak juga tak diperbincangkan. Apalagi mengenai adanya pembagian Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore.
Sebenarnya apakah perbedaan antara muslim biasa dan Ahmadiyah? Dalam novel ini perbedaan tersebut hanyalah adanya perkumpulan Jemaah Ahmadiyah yang dilakukan pada kala tertentu. Kemudian jemaah Ahmadiyah akan Sholat bersama di mesjid Ahmadiyah pula, meskipun rumahnya dekat dengan mesjid biasa. Perbedaan yang unik adalah seringnya jemaah Ahmadiyah menonton bersama, namun tidak disebutkan menonton apa di novel ini. Kalau kita telusuri, apa yang ditonton Ahmadi adalah “Moslem Television Ahmadiyyah (MTA)” yang berpusat di London, Inggris. Televisi ini adalah suatu bentuk jejaring jemaah Ahmadiyah seluruh dunia mengenai perkembangan, isu, dan kajian terbaru. Apa yang menjadi pembeda sesungguhnya tidak kentara dalam data novel ini, penulis saja yang memvonis Ahmadiyah berbeda. Satu lagi hal yang tidak diperinci adalah latar peristiwa Monas, perseteruan dua ormas yang tak lain tak bukan adalah FPI versus AKKBBnya Gunawan Muhammad yang konon diaturnya sendiri atas permintaan penguasa untuk upaya pengalihan isu kenaikan BBM
Humanisme yang diteriakkan, termasuk dengan karya ini, sampai sekarang belum berbuah apa-apa. Ahmadiyah tetap hidup dalam label sesat. Sungguh ironis nasib humanisme di Indonesia. Selain lemahnya dan tak ada itikat baiknya penyelenggara negara, humanisme yang dikobarkan bias jadi sangat mentah, gagap, dan latah. Semangat berhumanisme hanya untuk ajang eksistensi diri dan politis. Atau hanya dengan semangat membenci kaum agamis ataupun yang berlabel agama untuk mengukuhkan diri sebagai humanis sejati.                   
  Bayu Agustari Adha
Pembaca Karya Sastra dan Penulis Esai
Alumni Sastra Inggris UNP