Saturday, November 24, 2012

Menggugat Kemapanan dengan Sastra



 Published on Singgalang 18/11/12

Seperti kata pepatah, hidup itu adalah perjuangan. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari perjuangan fisik, politik dan diplomasi, sampai dengan perjuangan berbentuk tulisan pada media yang bisa memberikan pencerahan. Perjuangan berbentuk tulisan sendiri bisa juga menjadi dua cara, baik itu yang melalui tulisan jurnalistik non fiksi dan juga berupa karya fiksi. Dalam perjuangan jurnalistik non fiksi dapat melalui tulisan opini ataupun gagasan. Namun  kadang kala sering juga belum menghasilkan dan malahan sering dibungkam, maka karya sastralah yang seterusnya berbicara. Sehingga muncullah suatu slogan yang kira-kira berbunyi “Jurnalisme dibungkam, Sastra bicara”.
Disamping menghamparkan suatu cerita, sastra juga menyusupkan perjuangan melawan relasi kekuasaan yang telah menjadi mapan. Kemapanan kekuasaan ini coba digugat melalui asupan emosi yang hadir dalam tubuh sebuah karya. Kemapanan ini sendiri secara harfiah merupakan suatu narasi yang telah mendominasi sehingga berpretensi menjadi sesuatu yang dianggap layak. Namun apabila ditelisik lebih jauh, kemapanan itu sendiri menghadirkan ketidakadilan bagi pihak yang tersubordinasi. Perlawanan terhadap kemapanan disini bukan hanya terhadap struktur Negara, tapi lebih terhadap realita sosial yang telah hidup dan berkembang menjadi mapan di kalangan masyarakat. Hal inilah yang coba digugat oleh sastra.
Salah satu contoh karya yang didalamnya memuat beberapa gugatan adalah Novel “Saman” karya Ayu Utami. Novel ini bisa dijadikan suatu representasi yang coba menggugat segala kemapanan yang beredar di tengah kita. Kemapanan yang coba digugat diantaranya praktek kapitalisme dan relasi gender. Dalam hal praktek kapitalisme sendiri sesungguhnya terdapat suatu konspirasi busuk yang bermuara pada suatu kerakusan. Hal ini bisa dilihat dalam cerita yang menggambarkan proses berhegemoninya kapitalisme bidang energi oleh korporasi multinasional dan juga kapitalisme agraris. Sedangkan relasi gender yang coba digugat adalah konsesi kedudukan pria dan wanita. Pria berabad-abad mendapatkan posisi lebih kuat dan superior oleh tatanan masyarakat, adat dan agama.
Kapitalisme sendiri masih berdiri tegap menjadi sistem ekonomi yang dianggap layak dalam kegiatan ekonomi. Tak ada sistem lain yang mampu mengunggulinya untuk mencapai suatu kemakmuran materi. Namun dalam operasinya seperti diketahui dilakukan dengan berbagai cara. Bahkan sampai menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan karena ditopang oleh suatu kerakusan seperti pada praktek perusahaan energi multinasional. Dalam kisah Saman sendiri terdapat suatu konspirasi dalam praktek kapitalisme di bidang energi, khususnya eksplorasi minyak bumi. Terdapat suatu konspirasi busuk dalam mengeruk kekayaan alam ini.
Diceritakan adanya sebuah perusahaan bernama Texcoil beroperasi di sekitar laut Cina Selatan daerah kepulauan Natuna. Perusahaan dijalankan oleh orang Indonesia yang dipimpin oleh tokoh yang bernama Rosano. Dia merupakan anak pejabat di Kementrian Pertambangan. Konon jabatan ini didapat karena adanya konspirasi busuk antara pengusaha dengan pemerintah. Rosano diberikan posisi tinggi agar pemerintah memuluskan izin ekplorasi di kepulauan Natuna itu. Mengacu pada hal di atas, praktek kapitalisme sendiri rupanya tidak murni hanya dilakukan oleh pihak asing namun juga diiringi oleh kerakusan pribumi lainnya. Hal ini menjadi suatu perselingkuhan yang indah antara perusahaan dan pemerintah untuk mengeruk pundi-pundi materi dengan megangkangi keadaan rakyat.
Dalam perjalanannya, suatu setting memperlihatkan suasana kerja dimana rosano memaksa untuk melakukan analisa oleh pihak seismoclyse, namun Sihar yang mengepalainya menolak karena beralasan tekanan di bawah masih tinggi. Rosano terus memaksa dan bersitegang dengan Sihar hingga akhirnya Sihar dipecat secara sepihak, lalu menyuruh anak buah Sihar untuk mengambil tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan itu. Rosano memaksa, meski tekanan masih tinggi. Akhirnya terjadilah suatu ledakan yang menyebabkan Hasyim, salah satu pekerja meninggal. Inilah muara dari suatu kerakusan tadi dimana nilai kemanusiaan menjadi tak berarti. Rosanopun berusaha melakukan pembenaran dengan mengatakan bahwa itu adalah kecelakaan kerja. Kecelakaan itu wajar dan kewajaran tentu nantinya akan menjadi kebiasaan yang berpotensi untuk terus terjadi. Slogan “Safety First” hanya menjadi suatu “lips service”.
Praktek kapitalisme lainnya yang coba digugat adalah kegiatan ekonomi agraria. Praktek yang masih terus berlanjut sampai sekarang hingga menimbulkan berbagai konflik. Disini kapitalis juga beroperasi menggunakan perangkat kekuasaan yakni pemerintah. Dalam novel ini diceritakan kegiatan pengusaha dan pemerintah yang memaksa petani untuk mengubah komoditi pertanian dari bertanam karet menjadi bertanam sawit. Karakter yang ada disini adalah Saman yang merupakan pastor di daerah Perabumulih, Sumatera Selatan. Dia bergabung bersama petani dari desa sebelah yakni LubukRantau dengan menanam karet. Seiring dengan timbulnya Sawit sebagai komoditi yang menggiurkan, investor dan pemerintah memaksa petani untuk menanam sawit sehingga karet yang telah ditanam harus dibongkar menjadi sawit.
Pemerintah dan investor menuai perlawanan dari warga karena perjanjian hanya dibuat sepihak dan warga harus membubuhkan tandatangan atas pemakaian lahan mereka. Pergolakan terjadi dimana Saman memimpin perjuangan ini. Saman yang bukanlah penduduk Lubuk Rantau menjadi pihak yang ditenggarai menghasut warga. Karena perlawanan terus terjadi, pemerintahpun melakukan usaha paksa yang kejam dengan membunuh dan membakar perumahan warga. Samanpun disiksa setelah ditangkap. Diapun juga difitnah melakukan tindakan subversi terhadap pemerintah dan dituduh melakukan praktek kristenisasi.
Jelas sekali kelihatannya bahwa praktek kapitalisme di Indonesia dilakukan oleh dwitunggal pengusaha dan pemerintah dengan rakyat sebagai objeknya. Hal ini terlihat tak ada bedanya dengan apa yang dilakukan oleh Belanda. Cuma saja orangnya berbeda yang satu berkulit putih dan yang saat ini berkulit coklat. Hal ini terjadi tentu dilatarbelakangi oleh nafsu kebinatangan yang besar untuk keuntungan pribadi dengan melakukan penyimpangan kekuasaan oleh pemerintah. Sementara bila ada perlawanan maka akan dicap sebagai tindakan subversif sehingga para aparat merasa berhak untuk menindas warga. Pengusaha disisi yang sama selalu menganggap dirinya telah menciptakan kesejahteraan bagi rakyat dengan membuka lapangan kerja. Namun seringkali, rakyat hanya dijadikan seekor kuda untuk menanggung beban kerja demi keuntungan perusahaan. Dapat kita lihat sekarang disamping dampak lingkungan, dampak sosial juga tak terhitung dengan adanya korban jiwa akibat pemaksaan kehendak  yang didorong oleh nafsu kerakusan.
Relasi gender antara pria dan wanita juga mejadi salah satu kemapanan yang digugat oleh Ayu Utami dalam novel ini. Kemapanan paradigama yang mengsubordinasi kedukan pria diatas wanita telah menjadi tradisi dari masa ke masa. Tradisi superioritas pria ini dikembangkan oleh masyarakat dan nilai-nilai adat serta agama. Gugatan yang ada dalam cerita ini dapat dilihat dari karakteristik pada tokoh wanitanya. Laila yang mencintai Sihar meskipun Sihar sudah punya istri. Hal yang ditekankan disini adalah hak setiap wanita untuk mencintai. Selama ini wanita hanyalah sesuatu yang dicintai, dikasihi, dicumbui, dan di-di lainnya yang mengindikasikan suatu kepasifan terletak pada pihak wanita. Disini Laila mencoba untuk menjadi aktif dengan terus mencintai lelaki itu sehingga ada suatu pretensi untuk berubah menjadi subjek. Namun kelemahannya tetap saja ada yakni dia mau saja dibuat menunggu oleh Sihar.
Pada karakter lainnya, Shakuntala, juga memperlihatkan hal-hal bersifat perlawanan pada kemapanan posisi pria. Dia sangat membenci ayahnya yang dapat dirunut sebagai gugatan atas kekuatan laki-laki. Itu tak hanya dalam sistem yang ada di Indonesia, namun juga dalam sistem yang berkembang di Barat. Pada suatu setting Shakuntala begitu jengkel dengan keharusan untuk memakai nama Ayah dalam penulisan nama di Passport, sampai-sampai dia menghentikan niatnya ke luar negeri seperti dalam dialog ini,
“Nama saya Shakuntala. Orang jawa tak punya nama keluarga”
“Anda memiliki ayah, bukan?”
“alangkah indahnya kalau tak punya”
“Gunakan nama ayahmu,” kata wanita di loket itu.
“Dan mengapa saya haru memakainya?”
“Formulir ini harus diisi.”

Dapat terlihat ternyata peradaban barat yang majupun masih mempraktekkan ideologi patriarki yang berpusat pada laki-laki. Ini bukan suatu tindakan kekurangajaran terhadap orang tua, namun ini adalah suatu kerangka sosial yang perlu dicermati. Ini adalah suatu bom waktu saja dari dominasi laki-laki terhadap pria sehingga memunculkan perlawanan. Shakuntala juga jengkel dengan adat Jawa yang ketika menikah mengharuskan istri untuk mencuci kaki suami sebagai sembah bakti istri yang dia pikir sebagai sebagai suatu kepatuhan dan ketidakberdayaan wanita.
            Sementara itu karakter lainnya yakni Yasmin, pada satu sisi dia tetap berlaku sesuai pandangan social terhadap wanita. Dia berkeluarga dan menikah dengan adat Jawa. Namun disisi lainnya dia juga membalikkan apa yang selama ini dianggap kodrat kepada wanita. Yasmin melakukan “Agresi” kepada Saman. Apa yang dilakukannya merupakan suatu titik balik dalam relasi pria dan wanita. Dia menunjukkan prilakunya sebagai subjek yang menginginkan dan bukan objek yang diinginkan. Dia tak terbelenggu aturan sosial dimana pria harus memulai terlebih dahulu. Kejadian ini terjadi pada saat Yasmin menolong Saman untuk pergi melarikan diri ke luar negeri, sebelum pergi Yasmin menaklukkan Saman untuk melakukan hubungan intim. Memang terlihat agresif namun apa yang dilakukan merupakan suatu kesadaran manusia atas apa yang diinginkan tanpa harus dikepung oleh konstruksi sosial. Samanpun menerima dan menikmati apa yang diperlakukan terhadapnya oleh Yasmin dan selalu merindukan Yasmin melakukan hal itu lagi, seperti di pesan-pesan email mereka:
JAKARTA, 20 JUNI 1994
   Saman,
   Taukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmatimu ketika ejakulasi. Aku ingin datang kesana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.

NEW YORK, 21 JUNI 1994
   Yasmin,
   Ajarilah aku. Perkosalah aku.

            Begitulah karya Ayu Utami, penuh dengan gugatan sehingga emosi kian terasa dalam aroma perlawanan. Setelah karya ini menang pada Sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 1998, banyak pihak mengatakan bahwa Ayu Utami telah menguak suatu gaya penulisan yang sangat menggugah. Sementara itu disisi lain ada juga yang menganggapnya sebagai kelompok “Sastra Selangkangan”. Perlu ditekankan disini bahwa apa yang disampaikannya adalah suatu gugatan yang tajam dan bukan suatu vulgarisme, yang ada adalah suatu kelugasan.