Sunday, March 17, 2013

Muatan Ekokritik Gus Tf Sakai


Diterbitkan Padang Ekspress 17/3/13

Setelah tertidur sekian lama, akhirnya alam pemikiran manusia tersadar bahwa mereka tak hidup sendiri di alam ini. Ternyata butuh keseimbangan menjalani kehidupan di dunia ini dengan ekosistim lain. Akibatnya lingkunganpun terlambat untuk menjadi isu seksi setelah kerusakan telah meluas terjadi. Hal ini menandakan ke-egois-an tanpa batas dalam menindas keberadaan alam. Itu terjadi karena manusia terlalu fokus pada hal yang bersifat “Human-Centric”. Dalam sejarah dunia yang diwacanakan Eropa, sejak Renaissance manusia seakan-akan telah menemukan bahwa manusialah pusat episentrum dunia. Dengan kekuatan daya pikirannya manusia bisa melakukan apa saja walaupun itu menindas yang lainnya, termasuk alam. Jadi manusia berpikir bahwa dialah yang menjadi subjek sedangkan yang berada diluarnya adalah objek, salah satunya lingkungan.
            Pemikiran ini seakan senada dengan jargonnya Descartes masa itu “Cogito Ergosum”, Saya berpikir, saya ada. Semangat ini walau bagaimanapun memang memberikan kemajuan peradaban, akan tetapi manusia juga lupa bahwa alam sendiri adalah tempatnya untuk ada.  Akibatnya ekplorasi terhadap alam semakin menjadi-jadi untuk menandakan kemenangan manusia atas alam. Ketidaksadaran ini sangat lama terjadi, apabila dirunut pada peradaban kuno penuh dengan dominasi kosmosentris, pertengahan dengan teosentris, peradaban modern dengan antroposentris, dan pada abad 20 dengan Logosentris. Kesadaran terjadi setelah adanya dampak. Menurut Siswo Harsono, kondisi demikian disebabkan oleh ketidakseimbangan dominasi budaya yang terlalu ekploitatif terhadap alam. Hal ini tampaknya berpangkal pada pola pikir dkotomis “nature/culture”, Alam/Kebudayaan.
Revolusi industri menghabisi kekayaan alam dengan laju yang mengerikan, menghancurkan hubungan dengan tanah dan menyingkirkan petani ke belakang; kapitalisme industrial menghasilkan abad modern, dan mengeruk seluruh bahan baku tanpa mempedulikan akibat-akibat lingkungan; dan perilaku semodel itu memperoleh alibi ilmiah dari kredo Baconian bahwa pengetahuan ilmiah adalah kemenangan teknologi atas alam (Croatt dan Rankin, 1997:30-35). Hingga muncullah aktivis dan kritikus lingkungan. Dalam Sastra sendiri sebagai suatu disiplin ilmu juga menerapkan hal ini yang biasa disebut ekokritik, yakni kritik sastra berparadigma lingkungan. Ekokritik Amerika menilai perlu adanya perombakan dikotomis tersebut dengan menggantinya menjadi trikotomis “Nature-Nurture-Culture”, Alam-Pemeliharaan-Budaya agar terjadi suatu keseimbangan.
            Dalam karya sastra, perkara membicarakan alam tentu telah banyak. Namun kebanyakan hanya berkerangka alam sebagai alat untuk ekplorasi estetis. Dengan kata lain alam masih dianggap sebagai objek, bukan sesuatu yang perlu dipelihara. Namun, dalam sastra populer seperti lirik lagu memang telah ada yang membicarakan pelestarian alam seperti halnya Ebiet G Ade, bahkan dari Minang sendiri telah ada lagu “Rimbo Rimbun” oleh Trio Sarunai yang mengajak untuk tak menebang hutan. Jika kita lihat pada sastra kontemporer, beberapa telah coba mengupas hal ini seperti yang dilakukan Gus tf Sakai dalam kumpulan cerpennya “Kaki Yang terhormat”. Beberapa cerpen memuat unsur ekokritik tentang fenomena alam, meski tidak sebagian besar. Yang lainnya berupa prahara homoseks, lokalitas dan moralitas, namun tak begitu menarik perhatian saya ketimbang isu lingkungannya. Beberapa cerpen tentang hal ini diantaranya berjudul “Kulah”, “Kaki yang Terhormat”, “Orang Bunian”, dan “Liang Harimau”.
            Pada cerpen pertama “Kulah”, Gus tf mengekplorasi nostalgia seorang urban pada desanya. Desa yang dulunya memiliki mata air yang dinamai namanya sendiri yakni “Mata air Marni”. Seiring berlajunya waktu, mata air berubah menjadi kulah, sejenis tempat berwudhu, hingga kemudian menjadi menggenaskan dan tak dipaka lagi, karena airnya menyebabkan kematian Ima, keponakannya dan beberapa anak lainnya. Dari sini kita bisa lihat bahwa pada mulanya ada keseimbangan antara alam dan manusianya atau “nature” dan “culture”. Alam disini berupa mata air yang mengalir, kemudian bermutualisme dengan manusia yang memanfaatkannya untuk mengaliri sawah dan untuk keperluan lannya bagi manusia. Situasi menadi berubah sesuai dengan perkembangan manusia yang mengalami industrialisme.
            Dampak lingkungan menyebabkan air memiliki bau yang menyengat menyebabkan kematian tak hanya manusia tapi juga ekosistim lannya dimana sawah di sekitar mati dan tak tergarap lagi. Pencemaran air ini tentu murni akibat adanya limbah akibat operasi pabrik yang menggunakan bahan kimia, meski cerpen tak menyebut lokasi pabrik tersebut. Jelas jika ditelusuri memang pabrik bisa jadi sengaja atau tidak sengaja dalam mengalirkan air limbah ini. Akan tetapi sepertinya hal ini adalah ketidaksengajaan yang disengaja. Dalam perencanaan industri tentu saja harus ada analisis Amdal dan penentuan tempat terakhir limbah. Penentuan tempat limbah inilah yang menjadi hal yang krusial untuk diawasi karena praktek ini sering dilakukan tanpa azas keterbukaan dalam artian dimana ada tempat kosong untuk bisa dibuang, dibuanglah kesana.
            Hal inilah yang menandakan kemenangan teknologi manusia terhadap alam. Dengan demikian terdapatlah suatu ketidakseimbangan antara budaya dan alam. Budaya kapitalisme yang menekankan ekploitasi untuk suatu komoditi telah melupakan keberadaan alam itu sendiri yang akan terkena dampak. Tak hanya itu, manusia lainnya dengan budaya yang masih menjaga keseimbangan yakni masyarakat desa juga terkena imbasnya, baik berupa nyawa dan mata pencaharian. Namun dalam cerpen ini, karena kekurangan sumber daya manusia, penduduk desa malah menganggapnya sebagi sesuatu yang mistis dan angker pada mata air tersebut.seperti dialognya dibawah ini,
                                         “Bapak temani saja, Marni,” kata Pak Lam tadi pagi.
                                         Tapi Marni benar-benar tak ingin ditemani.
                                         “Kau tidak takut?”bergetar suara Mak Sani.

Keangkeran menurut orang desa ini terjadi akibat adanya perubahan struktur pada ekosistim lainnya pada sekitar kulah. Pohon-pohon berkembang tidak dengan selayaknya. Daun-daunnya mengecil dan bercaplak. Batang yang biasanya lurus panjang, menjadi pendek, dan kulitnya berbongkah-bongkah. Jelas sekali apa yang ingin diungkapkan sang pengarang adalah betapa besarnya dampak yang telah terjadi akibat pencemaran air ini. Selain manusia juga membuat tumbuhan menjadi compang-camping dan tidak berkembang sebagaimana mestinya
            Jika dalam cerpen di atas kritik lingkungan diarahkan pada industri yang menyebabkan limbah atau lebih detilnya industri manufaktur, dalam cerpen “Kaki yang Terhormat” memuat isu pertambangan. Hal ini terlihat dari cerita yang menyajikan tragedi dipangkasnya bukit yang berbentuk kaki. Seorang nenek yang sangat mengagumi bukit tersebut dan sekaligus mengagumi kaki. Bukit tersebut dipotong oleh rencana anak bungsunya sendiri yang kaya raya di perantauan. Saking kayanya sampai-sampai kemana-mana anaknya menggunakan helicopter. Kemudian dia membangun pabrik semen dengan bahan dari bukit tersebut. Akhir cerita si anakpun terlibat kasus korupsi dan si nenekpun  menyatakan bahwa anaknya menjadi seperti itu karena tak lagi menggunakan kaki, sebab kemana-mana pergi dengan helicopter. Lengkap sudah penderitaan si nenek, bukit yang dikaguminya dihabisi dan anaknyapun menjadi gunjingan karena kasus korupsi.
            Pertambangan juga merupakan kegiatan yang rentan akan menelanjangi alam. Hal ini dikarenakan tambang hanyalah sebuah kegiatan yang mengerus isi alam tanpa ada pembaruan terhadap objek. Bukit yang menjadi sumbernya, tentu bukit juga yang akan dihabisi karena memang bukit bukanlah sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Perseteruan antara alam dan budaya disini dapat diidentifikasi antara kapitalisme modern dengan bukit itu sendiri. Budaya produk humansentris menekankan pada ekploitasi materi untuk dijadikan komoditi demi mendapatkan kapital yang lebih besar lagi. Jadi, meskipun secara umum cerpen ini bercerita absurd mengenai kaki yang selalu dikagumi sang nenek, namun isu lingkungan seperti pemberdayaan energi dan sumber daya alam juga dapat diteropong disini sebagai isu yang krusial.
            Bentuk penyimpangan lingkungan lainnya dapat dilihat pula pada cerpen berjudul “Orang Bunian”. Cerita ini sendiri merupakan nostalgia dan romantisme si narator pada keadaan masa lalunya. Kenangan itu adalah mengenai Bukit Burai dan aktivitas yang ada dialamnya. Dulunya Bukit tersebut adalah tempatnya berburu dimana terdapat tiga lapis bagian bukit yakni “lapis atas, lapis bawah, dan “Lakuak” atau lembah. Di lapis bawah ada kegiatan berburu dan kemudian di lapis lembah ada dunia lain yang kabarnya dihuni orang Bunian. Akan tetapi sekarang itu telah berubah dengan adanya tanah-tanah pribadi dan Villa-Villa mewah dengan pohon-pohon yang ditata ulang. Secara kronologis terdapat dua masa pengkebirian manusia terhadap alam dalam cerpen ini.
            Pertama, adalah masa dimana manusia memperlakukan salah satu entitas alam yakni melalui perburuan Babi. Sebelumnya, manusia setempat melakukan perburuan Babi hanyalah untuk pemberantasan Hama. Namun setelah itu, kebudayaan ini berkembang menjadi suatu budaya hobi untuk kesenangan. Merasakan petualangan enaknya saat-saat menunggu sasaran keluar, melepaskan anjing, dan lari bersorak-sorak saat gerombolan anjing berusaha untuk mendapatkan sang Babi. Singkatnya ini adalah produksi kesenangan melalui penderitaan oleh yang lain. Kemudian kedua, setelah itu muncullah suatu industri Pariwisata yang tujuan akhirnya juga suatu kesenangan. Pada frase ini tidak hanya binatang yang kehilangan eksistem, namun eksistensi tumbuhan alam terdahulu juga dipangkas. Kemudian dilakukanlah reproduksi alam yang seolah-olah alami dengan pembangunan Villa dan penataan kembali tanaman-tanaman. Tentu secara tidak langsung keadaan binatangpun juga terkena imbas, karena perubahan ekosistem dan tentu tempat itu juga harus steril dari Binatang karena tentu akan mengganggu ketentraman pariwisata.

            Metode penindasan terhadap alam juga terjadi pada wilayah yang dekat dengan alam sendiri yakni Agraria. Hal ini dicatat dalam cerpen berjudul “Liang Harimau”. Cerpen yang memuat kasus pembukaan lahan di hutan lindung. Rasikun sang empunya lahan mempekerjakan Sadim untuk melakukan perambahan lahan di hutan yang secara kultural dianggap sesuatu yang tak boleh disentuh. Namun akibat sulitnya hidup membut Sadim menerima tawaran untuk merambah hutan tersebut. Di saat yang sama penduduk kampung Sadim mengadakan upacara adat yang sakral untuk menghormati alam, Rasikun tak memperbolehkannya ikut dengan alasan lahan harus siap tanam sebelum musim hujan. Dengan hati galau, Sadim pergi juga merambah hutan dan melihat Harimau yang menatapnya. Namun paginya terjadi peristiwa Sadim membunuh Rasikun, namun Sadim mengaku yang ditusuknya adalah Harimau.
            Sebagaimana yang kita ketahui hutan lindung tidak boleh dijamah sedikitpun dalam aturan formal. Dalam aturan masyarakat sendiri yang kental dengan mitos juga menganggap ada hutan tertentu yang tidak diperbolehkan diperlakukan demikian. Namun kenapa Rasikun bisa dapat membeli dan membuka lahan? Tentu saja ini merupakan suatu konspirasi dibalik hal itu. Kemungkinan dapat dikaitkan dengan pemerintah setempat. Sudah barang rahasia umum bahwa kepala daerah telah menjadikan perizinan hutan menjadi suatu komoditi untuk mendulang rupiah. Indonesia yang mempunyai lahan luas memang telah menjadi primadona untuk industri agraris. Jelaslah disini bahwa ada kompromi busuk antara si pemodal dengan pemerintah. Jadi bisa diidentifikasi bahwa memang kapitalisme modern telah menjadi musuh abadi dari alam itu sendiri.
            Setelah kita lihat beberapa cerpen di atas, dapatlah dipahami bahwa ada beberapa metode dalam menunjukkan keangkuhan manusia di atas alam. Caranya dapat berbeda-beda. Diantaranya melalui pabrifikasi industri, pertambangan, pariwisata, dan industri agraria. Meskipun dalam plot cerita Gus tf Sakai tidak dominan memuat unsurnya, namun dibaliknya terdapat persoalan besar abad ini yakni keberlangsungan lingkungan. Plot cerita semakin memperkuat efek kejut terhadap pembaca akan suasana yang miris tersebut.

Bayu Agustari Adha
Pembaca Karya Sastra dan Penulis Esai

Sastra, Seks dan Kematian

Published on RiauPos 03/03/2013,click link below to see
http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=1051&kat=2#.UUaRcXrHrMz

Setelah terbelenggu sekian lama, akhirnya katub-katub itu terbuka juga. Apa yang dianggap patut dan tak patut kerananya sudah terbuka. Menjelmalah sebuah dunia banal di mana titik pasti kebenaran itu bisa dipertanyakan dan diperdebatkan. Tak ada lagi singgasana superioritas yang bebas berkuasa mewacanakan segalanya. Apapun yang coba dikokohkan akan selalu ada titik baliknya dan celah untuk meruntuhkannya. Fenomena ini hampir menjalar ke segala penjuru lintas persoalan. Politik, ideologi, ekonomi, sosial, seni, budaya telah terecoki dalam kenihilan kemapanan.

Hal ini tentunya juga merambah ke sastra sebagai salah satu bidang seni. Berawal dari gerakan poststrukturalist, postmodernist dan post-post lainnya, terbitlah lembaran baru di mana setiap karya berhak merayakan pemikirannya tanpa batas dan dikotomi  posisi biner. Apa yang adiluhung, avant garde, aufklarung, sublim dan santun bukanlah menjadi suatu pasak mati dan tolok ukur. Sekarang setiap pengarang telah berhak mengusung setiap pergumulan ideologinya, apakah itu hitam, putih, abu-abu. Kiri, kanan, ataupun poros tengah.

Sastra Indonesia sendiri cukup lama juga terbelenggu dari katub-katub budaya yang mengidentikkan diri dengan ketimuran. Timur yang yang pasif dan menjaga hal-hal yang dikotakkan sebagi tabu. Mengenai masalah tabu ini, seks merupakan hal yang dominan dalam wacananya. Dalam ruang sastra sendiri apabila bergumulan dengan seks, maka itu akan dianggap tidak patut untuk budaya kita yang ‘timur’. Maka apabila ada karya seperti ini akan dicap sebagai karya seronok dan jorok, meskipun setiap manusia ingin melakukannya. Akan tetapi karya itu tetap beredar dan pengarangnya memang harus berani dan rela dicap sebagai pengarang murahan yang hanya pandai mengumbar seksual.

Seiring dengan pengaruh pemikiran segala post-post di atas dan reformasi yang juga patut dianggap sebagai titik tolak, para pengarang Indonesia telah berani membungkus tema seks dengan kedalaman yang lebih dan tak hanya mengumbar seksual, meskipun stigma masyarakat masih menilai dengan sama seperti sebelumnya. Nama Ayu Utami bisa jadi sebagai pionir dalam menawarkan citarasa dengan bumbu seksual dan perspektif yang lugas dan tidak menafikan diri dalam karyanya. Sontak saja perlawanan dan ketidaksepahaman juga datang menghadang. Hingga menimbulkan penilaian dan bahkan pelabelan sebagi sastra selangkangan. Meski ada resistensi politis, arus tak bisa dilawan, beberapa pengarang sampai sekarang ini tetap bergerilya dengan bekalnya ini. Beberapa nama seperti Djenar Maesa Ayu, Andrei Aksana dan yang terbaru saya membaca dari karya Adimodel.

Seksualitas Ala Adimodel
Persoalan seksual dalam sastra yang terbaru ada pada karya Adimodel berjudul Kinky Rain, di samping juga ada persoalan kematian yang juga secara kultural agak tabu juga untuk diperbincangkan. Nuansa seks dan kematian sangat kental sekali terasa dalam 10 cerita dalam buku ini. Seks di sini tampak bukan menjadi suatu bahan untuk mengumbar seksual belaka, di sana seks dianggap sebagi suatu fenomena yang kodrati melekat pada manusia. Seks bukan hanya persatuan dua kelamin dan lain-lainnya untuk sekedar nafsu ataupun fungsi reproduksi. Wacana seks oleh Adimodel dapat dikatakan maju selangkah karena tak hanya memaparkan relasi seksual pertemuan dua kelamin secara normal. Namun di sini bahkan lebih condong pada suatu seks yang terlihat menyimpang dari kacamata konstruksi seksual sosial. Ada fenomena rangsangan seksual, sextoys, incest, kekerasan seksual terhadap anak, sadisme, masokisme, dan yang lebih ekstrem adalah permainan seks dengan memancing kematian dengan imaji-imaji yang menakjubkan.

Seks ibarat magnet. Ia akan menarik yang dekat dengannya melalui rangsangan-rangsangannya. Kadang menjadi suatu dilema, menerima rangsangan malu, tapi menahan juga tak enak. Dalam cerita berjudul ‘’Titik Lingkaran’’ Adimodel mengajarkan suatu kejujuran seks. Cerita mengenai sepasang manusia yang menatap lukisan. Laki-laki di belakang perempuan. Tanpa memandang wajah, hanya dengan suara mereka berdua ereksi. Rangsangan seks sepertinya bukan sesuatu yang harus dinafikan. Ia menawarkan dan patut untuk direspon. Dalam cerita lain berjudul ‘’Kinky Rain’’ sendiri juga terjadi hal seperti itu. Bercerita tentang seorang penangkap cahaya yang bisa saja diartikan sebagai penangkap rangsangan seksual. Setelah menangkap maka hubungan seks mau tak mau harus dilakukan. Hal itu tidak hanya berlaku pada benda hidup, benda replikapun bisa menawarkan sensasi seks, seperti halnya sextoys dalam cerita berjudul ‘’kekasihku meledak’’. Sesuatu yang sebenarnya telah umum dalam variasi seks.

Ada juga fenomena incest yang secara umum diartikan sebagai persetubuhan sedarah adalah salah satu rekam dalam cerita Kinky Rain yang berjudul ‘’Bibir’’. Seorang ayah yang menyetubuhi anaknya merupakan suatu hal yang dianggap sangat biadab di Indonesia. Adimodel mampu memotret hal ini, lebih dulu dari kasus RI yang sekarang ini. Meskipun diiringi dengan kalimat seksual, jelas disini motif utama bukanlah umbaran seks. Ini jelas dengan lugas memperlihatkan kekejian perilaku seks itu sendiri. Salah satu petikan kalimat itu ‘’Setelah tangan itu puas bermandikan basah liurku, iapun mengelus-elus dan memulasi bibirku sambil berkata: jangan bilang ibumu’’.

Kekerasan seks terhadap anak memang bukan lagi menjadi hal yang baru. Anak sebagai sesuatu pihak yang dianggap lemah sering menjadi pelampiasan seksual. Potret ini juga ada di Kinky Rain dengan judul ‘’Van’’. Cerita mengenai anak jalanan yang mengemis di ibukota. Kehidupan yang keras membuatnya mengalami hal-hal yang keras yang tak sepatutnya dia alami. Dia korban dari teman-teman anak jalanan lainnya sebagai lumbung seks. Pengaruh lingkungan memang sangat berpengaruh di sini, dengan tidak adanya yang peduli terhadapnya. Dapat dilihat pada kutipan ini ‘’anak-anak laki-laki yang sedari tadi sudah tidak sabaran dalam hujan mulai mengrubungi Val. Tangan yang mencengkramnya menjadi bertambah banyak. Val menangis. Ia membalas cengkraman-cengkraman itu dengan sebuah tatapan lirih...Jangan terlalu keras seperti kemarin’’.

Wacana seks lain yang mengemuka dalam karya Adimodel adalah seks dengan sadisme dan masokisme. Sadisme merupakan jenis yang puas berhubungan seks dengan menyakiti sedangkan masokisme adalah yang puas dengan disakiti. Model ini dikenal dengan BSDM Bandage and Discipline, Sadism and Masochism. Dapat terlihat pada cerita berjudul ‘’Untie Me’’. Seks telah menjadi sesuatu yang tak dapat diukur lagi dengan logika, maka sudah sepatutnyalah variasi seks untuk diapresiasi. Si wanita yang senang disakiti disini ketagihan untuk disiksa dalam berhubungan seks. Dia pun berkata ‘’Hampir setiap hari ia melecutiku. Menamparku. Memukiliku. Hampir setiap hari dia dia memberikan ras sakit yang luar biasa. Tetapi aku membiarkannya. Aku menikmatinya. Aku bahkan mengundangnya datang’’.

Penyimpangan seksual lainnya dalam cerita Adimodel lebih ekstrim lagi yakni hubungan seksual dengan cara-cara mengundang kematian. Lebih rincinya adalah mencekik dalam bersetubuh. Istilah untuk hal ini adalah Autoerotic Asphixiation. Dalam cerita berjudul ‘’La Petite Mort’’ digambarkan kehidupan sepasang kekasih yang sudah sangat akrab dalam berhubungan seks sehingga menimbulkan satu titik jemu sampai akhirnya menemukan gaya mencekik, baik itu dengan lawan main ataupun dengan properti berupa tali untuk menggantung leher. Sensasi dirasakan pada saat sepertinya nyawa sudah mau melayang kemudian dilepaskan beriringan dengan orgasme. Pertama dalam cerita ini dilakukan dengan sang lelaki mencekik leher kemudian bervariasi sampai berada dikamar mandi. Sang laki bergantung dengan tali dengan tangan diborgol ke belakang dan mata ditup serta mulut disumpal. Penahannya adalah tingklik kecil, sementara perempuan di depannya yang akan menjauhkan tingklik dari kaki ketika mulai dan yang meletakkannya kembali setelah hampir nyawa tercabut dan orgasme. Ada juga dengan menggunakan kantung plastik yang menutup kepala.

Imaji Kematian
Kematian adalah sesuatu yang absurd untuk dieksplorasi mengingat takkan mungkin ada manusia yang bisa menceritakan pengalaman ini. Yang ada hanyalah rekaan dan bayangan subjektif personil. Imajilah yang mencoba bermain melalui perenungan ataupun konteks norma dan agama yang memberi sedikit banyak  gambaran. Dalam fiksi, beberapa pengarang telah mencoba me-reka fenomena kematian. Karangan populer dan cerita rekaan lainnya biasanya memberikan gambaran seperti adanya sesuatu khusus menjelang kematian dan adanya malaikat pencabut nyawa, contoh umum malaikat yang memegang senjata pencatuk. Dikarenakan absurd inilah sepertinya sastrawan menemukan suatu keasyikan dalam eksplorasi sketsa-sketsa yang belum terpecahkan ini.

Imaji dalam fenomena sebelum kematian ada dalam judul ‘’La Petite Mort’’. Seperti yang dijelaskan di atas, ini adalah permainan seks dengan kematian. Menjelang kematian terdapat bayangan-bayangan tertentu. Orang yang menjelang kematian tiba di suatu tempat ditemui orang yang telah mendahuluinya dimana biasanya orang itu punya satu kesalahan terhadap yang ditemuinya. Dalam cerita ini dia bertemu Ibunya yang dulu meninggal ditinggal sendiri dan peri kecil yang dulu merupakan benih yang digugurkannya. Karena sering dalam keadaan menjelang kematian, malaikat mautpun pernah berujar padanya untuk jangan bermain-main lagi dengan kematian. Dalam cerita lain berjudul ‘’1441'’ terdapat pula kronologis sang tokoh yang coba bunuh diri dari gedung tinggi, sebelum jatuh dia melihat dan berkomunikasi dengan orang-orang yang pernah disakitinya.

Kematian memang sesuatuyang tak dapat dihindarkan dan tak pernah kita ketahui kapan datangnya. Hal ini menyebabkan kita tanpa ada pilihan dan harus rela menikmati kematian. Namun dalam fiksi hal ini bisa dimodifikasi dengan imajinasi-imajinasi yang bebas dimiliki si penulis. Adimodel pada cerita ‘’Limbo 14'’ menghadirkan sketsa ‘’De Javu’’ kematian. Terdapat delapan cerita dengan keadaan sama dengan versi modifikasi kelanjutan cerita. Sketsa pertama adalah kematian pertama. Lanjut pada yang kedua dengan peristiwa yang sama namun tokoh di dalamnya mempelajari kematian yang pertama meskipun terus saja mati sampai sketsa yang terakhir. Penulis bukanlah bermain, namun tentu saja ada implikasi pesan yaitu tak bisa diubahnya takdir yakni kematian.***


Bayu Agustari Adha,
penulis esai, alumni Sastra Inggris UNP