Sunday, March 17, 2013

Muatan Ekokritik Gus Tf Sakai


Diterbitkan Padang Ekspress 17/3/13

Setelah tertidur sekian lama, akhirnya alam pemikiran manusia tersadar bahwa mereka tak hidup sendiri di alam ini. Ternyata butuh keseimbangan menjalani kehidupan di dunia ini dengan ekosistim lain. Akibatnya lingkunganpun terlambat untuk menjadi isu seksi setelah kerusakan telah meluas terjadi. Hal ini menandakan ke-egois-an tanpa batas dalam menindas keberadaan alam. Itu terjadi karena manusia terlalu fokus pada hal yang bersifat “Human-Centric”. Dalam sejarah dunia yang diwacanakan Eropa, sejak Renaissance manusia seakan-akan telah menemukan bahwa manusialah pusat episentrum dunia. Dengan kekuatan daya pikirannya manusia bisa melakukan apa saja walaupun itu menindas yang lainnya, termasuk alam. Jadi manusia berpikir bahwa dialah yang menjadi subjek sedangkan yang berada diluarnya adalah objek, salah satunya lingkungan.
            Pemikiran ini seakan senada dengan jargonnya Descartes masa itu “Cogito Ergosum”, Saya berpikir, saya ada. Semangat ini walau bagaimanapun memang memberikan kemajuan peradaban, akan tetapi manusia juga lupa bahwa alam sendiri adalah tempatnya untuk ada.  Akibatnya ekplorasi terhadap alam semakin menjadi-jadi untuk menandakan kemenangan manusia atas alam. Ketidaksadaran ini sangat lama terjadi, apabila dirunut pada peradaban kuno penuh dengan dominasi kosmosentris, pertengahan dengan teosentris, peradaban modern dengan antroposentris, dan pada abad 20 dengan Logosentris. Kesadaran terjadi setelah adanya dampak. Menurut Siswo Harsono, kondisi demikian disebabkan oleh ketidakseimbangan dominasi budaya yang terlalu ekploitatif terhadap alam. Hal ini tampaknya berpangkal pada pola pikir dkotomis “nature/culture”, Alam/Kebudayaan.
Revolusi industri menghabisi kekayaan alam dengan laju yang mengerikan, menghancurkan hubungan dengan tanah dan menyingkirkan petani ke belakang; kapitalisme industrial menghasilkan abad modern, dan mengeruk seluruh bahan baku tanpa mempedulikan akibat-akibat lingkungan; dan perilaku semodel itu memperoleh alibi ilmiah dari kredo Baconian bahwa pengetahuan ilmiah adalah kemenangan teknologi atas alam (Croatt dan Rankin, 1997:30-35). Hingga muncullah aktivis dan kritikus lingkungan. Dalam Sastra sendiri sebagai suatu disiplin ilmu juga menerapkan hal ini yang biasa disebut ekokritik, yakni kritik sastra berparadigma lingkungan. Ekokritik Amerika menilai perlu adanya perombakan dikotomis tersebut dengan menggantinya menjadi trikotomis “Nature-Nurture-Culture”, Alam-Pemeliharaan-Budaya agar terjadi suatu keseimbangan.
            Dalam karya sastra, perkara membicarakan alam tentu telah banyak. Namun kebanyakan hanya berkerangka alam sebagai alat untuk ekplorasi estetis. Dengan kata lain alam masih dianggap sebagai objek, bukan sesuatu yang perlu dipelihara. Namun, dalam sastra populer seperti lirik lagu memang telah ada yang membicarakan pelestarian alam seperti halnya Ebiet G Ade, bahkan dari Minang sendiri telah ada lagu “Rimbo Rimbun” oleh Trio Sarunai yang mengajak untuk tak menebang hutan. Jika kita lihat pada sastra kontemporer, beberapa telah coba mengupas hal ini seperti yang dilakukan Gus tf Sakai dalam kumpulan cerpennya “Kaki Yang terhormat”. Beberapa cerpen memuat unsur ekokritik tentang fenomena alam, meski tidak sebagian besar. Yang lainnya berupa prahara homoseks, lokalitas dan moralitas, namun tak begitu menarik perhatian saya ketimbang isu lingkungannya. Beberapa cerpen tentang hal ini diantaranya berjudul “Kulah”, “Kaki yang Terhormat”, “Orang Bunian”, dan “Liang Harimau”.
            Pada cerpen pertama “Kulah”, Gus tf mengekplorasi nostalgia seorang urban pada desanya. Desa yang dulunya memiliki mata air yang dinamai namanya sendiri yakni “Mata air Marni”. Seiring berlajunya waktu, mata air berubah menjadi kulah, sejenis tempat berwudhu, hingga kemudian menjadi menggenaskan dan tak dipaka lagi, karena airnya menyebabkan kematian Ima, keponakannya dan beberapa anak lainnya. Dari sini kita bisa lihat bahwa pada mulanya ada keseimbangan antara alam dan manusianya atau “nature” dan “culture”. Alam disini berupa mata air yang mengalir, kemudian bermutualisme dengan manusia yang memanfaatkannya untuk mengaliri sawah dan untuk keperluan lannya bagi manusia. Situasi menadi berubah sesuai dengan perkembangan manusia yang mengalami industrialisme.
            Dampak lingkungan menyebabkan air memiliki bau yang menyengat menyebabkan kematian tak hanya manusia tapi juga ekosistim lannya dimana sawah di sekitar mati dan tak tergarap lagi. Pencemaran air ini tentu murni akibat adanya limbah akibat operasi pabrik yang menggunakan bahan kimia, meski cerpen tak menyebut lokasi pabrik tersebut. Jelas jika ditelusuri memang pabrik bisa jadi sengaja atau tidak sengaja dalam mengalirkan air limbah ini. Akan tetapi sepertinya hal ini adalah ketidaksengajaan yang disengaja. Dalam perencanaan industri tentu saja harus ada analisis Amdal dan penentuan tempat terakhir limbah. Penentuan tempat limbah inilah yang menjadi hal yang krusial untuk diawasi karena praktek ini sering dilakukan tanpa azas keterbukaan dalam artian dimana ada tempat kosong untuk bisa dibuang, dibuanglah kesana.
            Hal inilah yang menandakan kemenangan teknologi manusia terhadap alam. Dengan demikian terdapatlah suatu ketidakseimbangan antara budaya dan alam. Budaya kapitalisme yang menekankan ekploitasi untuk suatu komoditi telah melupakan keberadaan alam itu sendiri yang akan terkena dampak. Tak hanya itu, manusia lainnya dengan budaya yang masih menjaga keseimbangan yakni masyarakat desa juga terkena imbasnya, baik berupa nyawa dan mata pencaharian. Namun dalam cerpen ini, karena kekurangan sumber daya manusia, penduduk desa malah menganggapnya sebagi sesuatu yang mistis dan angker pada mata air tersebut.seperti dialognya dibawah ini,
                                         “Bapak temani saja, Marni,” kata Pak Lam tadi pagi.
                                         Tapi Marni benar-benar tak ingin ditemani.
                                         “Kau tidak takut?”bergetar suara Mak Sani.

Keangkeran menurut orang desa ini terjadi akibat adanya perubahan struktur pada ekosistim lainnya pada sekitar kulah. Pohon-pohon berkembang tidak dengan selayaknya. Daun-daunnya mengecil dan bercaplak. Batang yang biasanya lurus panjang, menjadi pendek, dan kulitnya berbongkah-bongkah. Jelas sekali apa yang ingin diungkapkan sang pengarang adalah betapa besarnya dampak yang telah terjadi akibat pencemaran air ini. Selain manusia juga membuat tumbuhan menjadi compang-camping dan tidak berkembang sebagaimana mestinya
            Jika dalam cerpen di atas kritik lingkungan diarahkan pada industri yang menyebabkan limbah atau lebih detilnya industri manufaktur, dalam cerpen “Kaki yang Terhormat” memuat isu pertambangan. Hal ini terlihat dari cerita yang menyajikan tragedi dipangkasnya bukit yang berbentuk kaki. Seorang nenek yang sangat mengagumi bukit tersebut dan sekaligus mengagumi kaki. Bukit tersebut dipotong oleh rencana anak bungsunya sendiri yang kaya raya di perantauan. Saking kayanya sampai-sampai kemana-mana anaknya menggunakan helicopter. Kemudian dia membangun pabrik semen dengan bahan dari bukit tersebut. Akhir cerita si anakpun terlibat kasus korupsi dan si nenekpun  menyatakan bahwa anaknya menjadi seperti itu karena tak lagi menggunakan kaki, sebab kemana-mana pergi dengan helicopter. Lengkap sudah penderitaan si nenek, bukit yang dikaguminya dihabisi dan anaknyapun menjadi gunjingan karena kasus korupsi.
            Pertambangan juga merupakan kegiatan yang rentan akan menelanjangi alam. Hal ini dikarenakan tambang hanyalah sebuah kegiatan yang mengerus isi alam tanpa ada pembaruan terhadap objek. Bukit yang menjadi sumbernya, tentu bukit juga yang akan dihabisi karena memang bukit bukanlah sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Perseteruan antara alam dan budaya disini dapat diidentifikasi antara kapitalisme modern dengan bukit itu sendiri. Budaya produk humansentris menekankan pada ekploitasi materi untuk dijadikan komoditi demi mendapatkan kapital yang lebih besar lagi. Jadi, meskipun secara umum cerpen ini bercerita absurd mengenai kaki yang selalu dikagumi sang nenek, namun isu lingkungan seperti pemberdayaan energi dan sumber daya alam juga dapat diteropong disini sebagai isu yang krusial.
            Bentuk penyimpangan lingkungan lainnya dapat dilihat pula pada cerpen berjudul “Orang Bunian”. Cerita ini sendiri merupakan nostalgia dan romantisme si narator pada keadaan masa lalunya. Kenangan itu adalah mengenai Bukit Burai dan aktivitas yang ada dialamnya. Dulunya Bukit tersebut adalah tempatnya berburu dimana terdapat tiga lapis bagian bukit yakni “lapis atas, lapis bawah, dan “Lakuak” atau lembah. Di lapis bawah ada kegiatan berburu dan kemudian di lapis lembah ada dunia lain yang kabarnya dihuni orang Bunian. Akan tetapi sekarang itu telah berubah dengan adanya tanah-tanah pribadi dan Villa-Villa mewah dengan pohon-pohon yang ditata ulang. Secara kronologis terdapat dua masa pengkebirian manusia terhadap alam dalam cerpen ini.
            Pertama, adalah masa dimana manusia memperlakukan salah satu entitas alam yakni melalui perburuan Babi. Sebelumnya, manusia setempat melakukan perburuan Babi hanyalah untuk pemberantasan Hama. Namun setelah itu, kebudayaan ini berkembang menjadi suatu budaya hobi untuk kesenangan. Merasakan petualangan enaknya saat-saat menunggu sasaran keluar, melepaskan anjing, dan lari bersorak-sorak saat gerombolan anjing berusaha untuk mendapatkan sang Babi. Singkatnya ini adalah produksi kesenangan melalui penderitaan oleh yang lain. Kemudian kedua, setelah itu muncullah suatu industri Pariwisata yang tujuan akhirnya juga suatu kesenangan. Pada frase ini tidak hanya binatang yang kehilangan eksistem, namun eksistensi tumbuhan alam terdahulu juga dipangkas. Kemudian dilakukanlah reproduksi alam yang seolah-olah alami dengan pembangunan Villa dan penataan kembali tanaman-tanaman. Tentu secara tidak langsung keadaan binatangpun juga terkena imbas, karena perubahan ekosistem dan tentu tempat itu juga harus steril dari Binatang karena tentu akan mengganggu ketentraman pariwisata.

            Metode penindasan terhadap alam juga terjadi pada wilayah yang dekat dengan alam sendiri yakni Agraria. Hal ini dicatat dalam cerpen berjudul “Liang Harimau”. Cerpen yang memuat kasus pembukaan lahan di hutan lindung. Rasikun sang empunya lahan mempekerjakan Sadim untuk melakukan perambahan lahan di hutan yang secara kultural dianggap sesuatu yang tak boleh disentuh. Namun akibat sulitnya hidup membut Sadim menerima tawaran untuk merambah hutan tersebut. Di saat yang sama penduduk kampung Sadim mengadakan upacara adat yang sakral untuk menghormati alam, Rasikun tak memperbolehkannya ikut dengan alasan lahan harus siap tanam sebelum musim hujan. Dengan hati galau, Sadim pergi juga merambah hutan dan melihat Harimau yang menatapnya. Namun paginya terjadi peristiwa Sadim membunuh Rasikun, namun Sadim mengaku yang ditusuknya adalah Harimau.
            Sebagaimana yang kita ketahui hutan lindung tidak boleh dijamah sedikitpun dalam aturan formal. Dalam aturan masyarakat sendiri yang kental dengan mitos juga menganggap ada hutan tertentu yang tidak diperbolehkan diperlakukan demikian. Namun kenapa Rasikun bisa dapat membeli dan membuka lahan? Tentu saja ini merupakan suatu konspirasi dibalik hal itu. Kemungkinan dapat dikaitkan dengan pemerintah setempat. Sudah barang rahasia umum bahwa kepala daerah telah menjadikan perizinan hutan menjadi suatu komoditi untuk mendulang rupiah. Indonesia yang mempunyai lahan luas memang telah menjadi primadona untuk industri agraris. Jelaslah disini bahwa ada kompromi busuk antara si pemodal dengan pemerintah. Jadi bisa diidentifikasi bahwa memang kapitalisme modern telah menjadi musuh abadi dari alam itu sendiri.
            Setelah kita lihat beberapa cerpen di atas, dapatlah dipahami bahwa ada beberapa metode dalam menunjukkan keangkuhan manusia di atas alam. Caranya dapat berbeda-beda. Diantaranya melalui pabrifikasi industri, pertambangan, pariwisata, dan industri agraria. Meskipun dalam plot cerita Gus tf Sakai tidak dominan memuat unsurnya, namun dibaliknya terdapat persoalan besar abad ini yakni keberlangsungan lingkungan. Plot cerita semakin memperkuat efek kejut terhadap pembaca akan suasana yang miris tersebut.

Bayu Agustari Adha
Pembaca Karya Sastra dan Penulis Esai

No comments: