Published on Singgalang 18/11/12
Seperti kata pepatah, hidup itu adalah perjuangan.
Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari perjuangan fisik,
politik dan diplomasi, sampai dengan perjuangan berbentuk tulisan pada media
yang bisa memberikan pencerahan. Perjuangan berbentuk tulisan sendiri bisa juga
menjadi dua cara, baik itu yang melalui tulisan jurnalistik non fiksi dan juga
berupa karya fiksi. Dalam perjuangan jurnalistik non fiksi dapat melalui
tulisan opini ataupun gagasan. Namun kadang kala sering juga belum menghasilkan dan
malahan sering dibungkam, maka karya sastralah yang seterusnya berbicara.
Sehingga muncullah suatu slogan yang kira-kira berbunyi “Jurnalisme dibungkam,
Sastra bicara”.
Disamping menghamparkan suatu cerita, sastra juga
menyusupkan perjuangan melawan relasi kekuasaan yang telah menjadi mapan.
Kemapanan kekuasaan ini coba digugat melalui asupan emosi yang hadir dalam
tubuh sebuah karya. Kemapanan ini sendiri secara harfiah merupakan suatu narasi
yang telah mendominasi sehingga berpretensi menjadi sesuatu yang dianggap
layak. Namun apabila ditelisik lebih jauh, kemapanan itu sendiri menghadirkan
ketidakadilan bagi pihak yang tersubordinasi. Perlawanan terhadap kemapanan
disini bukan hanya terhadap struktur Negara, tapi lebih terhadap realita sosial
yang telah hidup dan berkembang menjadi mapan di kalangan masyarakat. Hal
inilah yang coba digugat oleh sastra.
Salah satu contoh karya yang didalamnya memuat
beberapa gugatan adalah Novel “Saman” karya Ayu Utami. Novel ini bisa dijadikan
suatu representasi yang coba menggugat segala kemapanan yang beredar di tengah
kita. Kemapanan yang coba digugat diantaranya praktek kapitalisme dan relasi
gender. Dalam hal praktek kapitalisme sendiri sesungguhnya terdapat suatu konspirasi
busuk yang bermuara pada suatu kerakusan. Hal ini bisa dilihat dalam cerita
yang menggambarkan proses berhegemoninya kapitalisme bidang energi oleh
korporasi multinasional dan juga kapitalisme agraris. Sedangkan relasi gender
yang coba digugat adalah konsesi kedudukan pria dan wanita. Pria berabad-abad
mendapatkan posisi lebih kuat dan superior oleh tatanan masyarakat, adat dan
agama.
Kapitalisme sendiri masih berdiri tegap menjadi
sistem ekonomi yang dianggap layak dalam kegiatan ekonomi. Tak ada sistem lain
yang mampu mengunggulinya untuk mencapai suatu kemakmuran materi. Namun dalam
operasinya seperti diketahui dilakukan dengan berbagai cara. Bahkan sampai
menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan karena ditopang oleh suatu kerakusan
seperti pada praktek perusahaan energi multinasional. Dalam kisah Saman sendiri
terdapat suatu konspirasi dalam praktek kapitalisme di bidang energi, khususnya
eksplorasi minyak bumi. Terdapat suatu konspirasi busuk dalam mengeruk kekayaan
alam ini.
Diceritakan adanya sebuah perusahaan bernama Texcoil
beroperasi di sekitar laut Cina Selatan daerah kepulauan Natuna. Perusahaan
dijalankan oleh orang Indonesia yang dipimpin oleh tokoh yang bernama Rosano.
Dia merupakan anak pejabat di Kementrian Pertambangan. Konon jabatan ini
didapat karena adanya konspirasi busuk antara pengusaha dengan pemerintah.
Rosano diberikan posisi tinggi agar pemerintah memuluskan izin ekplorasi di
kepulauan Natuna itu. Mengacu pada hal di atas, praktek kapitalisme sendiri
rupanya tidak murni hanya dilakukan oleh pihak asing namun juga diiringi oleh
kerakusan pribumi lainnya. Hal ini menjadi suatu perselingkuhan yang indah
antara perusahaan dan pemerintah untuk mengeruk pundi-pundi materi dengan
megangkangi keadaan rakyat.
Dalam perjalanannya, suatu setting memperlihatkan
suasana kerja dimana rosano memaksa untuk melakukan analisa oleh pihak
seismoclyse, namun Sihar yang mengepalainya menolak karena beralasan tekanan di
bawah masih tinggi. Rosano terus memaksa dan bersitegang dengan Sihar hingga
akhirnya Sihar dipecat secara sepihak, lalu menyuruh anak buah Sihar untuk
mengambil tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan itu. Rosano memaksa, meski
tekanan masih tinggi. Akhirnya terjadilah suatu ledakan yang menyebabkan
Hasyim, salah satu pekerja meninggal. Inilah muara dari suatu kerakusan tadi
dimana nilai kemanusiaan menjadi tak berarti. Rosanopun berusaha melakukan
pembenaran dengan mengatakan bahwa itu adalah kecelakaan kerja. Kecelakaan itu
wajar dan kewajaran tentu nantinya akan menjadi kebiasaan yang berpotensi untuk
terus terjadi. Slogan “Safety First” hanya menjadi suatu “lips service”.
Praktek kapitalisme lainnya yang coba digugat adalah
kegiatan ekonomi agraria. Praktek yang masih terus berlanjut sampai sekarang
hingga menimbulkan berbagai konflik. Disini kapitalis juga beroperasi
menggunakan perangkat kekuasaan yakni pemerintah. Dalam novel ini diceritakan
kegiatan pengusaha dan pemerintah yang memaksa petani untuk mengubah komoditi
pertanian dari bertanam karet menjadi bertanam sawit. Karakter yang ada disini
adalah Saman yang merupakan pastor di daerah Perabumulih, Sumatera Selatan. Dia
bergabung bersama petani dari desa sebelah yakni LubukRantau dengan menanam
karet. Seiring dengan timbulnya Sawit sebagai komoditi yang menggiurkan, investor
dan pemerintah memaksa petani untuk menanam sawit sehingga karet yang telah
ditanam harus dibongkar menjadi sawit.
Pemerintah dan investor menuai perlawanan dari warga
karena perjanjian hanya dibuat sepihak dan warga harus membubuhkan tandatangan
atas pemakaian lahan mereka. Pergolakan terjadi dimana Saman memimpin
perjuangan ini. Saman yang bukanlah penduduk Lubuk Rantau menjadi pihak yang
ditenggarai menghasut warga. Karena perlawanan terus terjadi, pemerintahpun
melakukan usaha paksa yang kejam dengan membunuh dan membakar perumahan warga.
Samanpun disiksa setelah ditangkap. Diapun juga difitnah melakukan tindakan
subversi terhadap pemerintah dan dituduh melakukan praktek kristenisasi.
Jelas sekali kelihatannya bahwa praktek kapitalisme
di Indonesia dilakukan oleh dwitunggal pengusaha dan pemerintah dengan rakyat
sebagai objeknya. Hal ini terlihat tak ada bedanya dengan apa yang dilakukan
oleh Belanda. Cuma saja orangnya berbeda yang satu berkulit putih dan yang saat
ini berkulit coklat. Hal ini terjadi tentu dilatarbelakangi oleh nafsu
kebinatangan yang besar untuk keuntungan pribadi dengan melakukan penyimpangan
kekuasaan oleh pemerintah. Sementara bila ada perlawanan maka akan dicap
sebagai tindakan subversif sehingga para aparat merasa berhak untuk menindas
warga. Pengusaha disisi yang sama selalu menganggap dirinya telah menciptakan
kesejahteraan bagi rakyat dengan membuka lapangan kerja. Namun seringkali,
rakyat hanya dijadikan seekor kuda untuk menanggung beban kerja demi keuntungan
perusahaan. Dapat kita lihat sekarang disamping dampak lingkungan, dampak
sosial juga tak terhitung dengan adanya korban jiwa akibat pemaksaan
kehendak yang didorong oleh nafsu
kerakusan.
Relasi gender antara pria dan wanita juga mejadi
salah satu kemapanan yang digugat oleh Ayu Utami dalam novel ini. Kemapanan
paradigama yang mengsubordinasi kedukan pria diatas wanita telah menjadi
tradisi dari masa ke masa. Tradisi superioritas pria ini dikembangkan oleh
masyarakat dan nilai-nilai adat serta agama. Gugatan yang ada dalam cerita ini
dapat dilihat dari karakteristik pada tokoh wanitanya. Laila yang mencintai
Sihar meskipun Sihar sudah punya istri. Hal yang ditekankan disini adalah hak
setiap wanita untuk mencintai. Selama ini wanita hanyalah sesuatu yang dicintai,
dikasihi, dicumbui, dan di-di lainnya yang mengindikasikan suatu kepasifan
terletak pada pihak wanita. Disini Laila mencoba untuk menjadi aktif dengan
terus mencintai lelaki itu sehingga ada suatu pretensi untuk berubah menjadi
subjek. Namun kelemahannya tetap saja ada yakni dia mau saja dibuat menunggu
oleh Sihar.
Pada karakter lainnya, Shakuntala, juga
memperlihatkan hal-hal bersifat perlawanan pada kemapanan posisi pria. Dia
sangat membenci ayahnya yang dapat dirunut sebagai gugatan atas kekuatan laki-laki.
Itu tak hanya dalam sistem yang ada di Indonesia, namun juga dalam sistem yang
berkembang di Barat. Pada suatu setting Shakuntala begitu jengkel dengan
keharusan untuk memakai nama Ayah dalam penulisan nama di Passport,
sampai-sampai dia menghentikan niatnya ke luar negeri seperti dalam dialog ini,
“Nama saya Shakuntala. Orang jawa
tak punya nama keluarga”
“Anda memiliki ayah, bukan?”
“alangkah indahnya kalau tak
punya”
“Gunakan nama ayahmu,” kata
wanita di loket itu.
“Dan mengapa saya haru memakainya?”
“Formulir ini harus diisi.”
Dapat
terlihat ternyata peradaban barat yang majupun masih mempraktekkan ideologi
patriarki yang berpusat pada laki-laki. Ini bukan suatu tindakan kekurangajaran
terhadap orang tua, namun ini adalah suatu kerangka sosial yang perlu
dicermati. Ini adalah suatu bom waktu saja dari dominasi laki-laki terhadap
pria sehingga memunculkan perlawanan. Shakuntala juga jengkel dengan adat Jawa
yang ketika menikah mengharuskan istri untuk mencuci kaki suami sebagai sembah
bakti istri yang dia pikir sebagai sebagai suatu kepatuhan dan ketidakberdayaan
wanita.
Sementara itu karakter lainnya yakni
Yasmin, pada satu sisi dia tetap berlaku sesuai pandangan social terhadap
wanita. Dia berkeluarga dan menikah dengan adat Jawa. Namun disisi lainnya dia
juga membalikkan apa yang selama ini dianggap kodrat kepada wanita. Yasmin
melakukan “Agresi” kepada Saman. Apa yang dilakukannya merupakan suatu titik
balik dalam relasi pria dan wanita. Dia menunjukkan prilakunya sebagai subjek
yang menginginkan dan bukan objek yang diinginkan. Dia tak terbelenggu aturan
sosial dimana pria harus memulai terlebih dahulu. Kejadian ini terjadi pada
saat Yasmin menolong Saman untuk pergi melarikan diri ke luar negeri, sebelum
pergi Yasmin menaklukkan Saman untuk melakukan hubungan intim. Memang terlihat
agresif namun apa yang dilakukan merupakan suatu kesadaran manusia atas apa
yang diinginkan tanpa harus dikepung oleh konstruksi sosial. Samanpun menerima
dan menikmati apa yang diperlakukan terhadapnya oleh Yasmin dan selalu
merindukan Yasmin melakukan hal itu lagi, seperti di pesan-pesan email mereka:
JAKARTA,
20 JUNI 1994
Saman,
Taukah kamu, malam itu, malam itu yang aku
inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmatimu ketika ejakulasi. Aku ingin
datang kesana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.
NEW
YORK, 21 JUNI 1994
Yasmin,
Ajarilah aku. Perkosalah aku.
Begitulah
karya Ayu Utami, penuh dengan gugatan sehingga emosi kian terasa dalam aroma
perlawanan. Setelah karya ini menang pada Sayembara novel Dewan Kesenian
Jakarta 1998, banyak pihak mengatakan bahwa Ayu Utami telah menguak suatu gaya
penulisan yang sangat menggugah. Sementara itu disisi lain ada juga yang
menganggapnya sebagai kelompok “Sastra Selangkangan”. Perlu ditekankan disini
bahwa apa yang disampaikannya adalah suatu gugatan yang tajam dan bukan suatu
vulgarisme, yang ada adalah suatu kelugasan.