Saturday, November 24, 2012

Menggugat Kemapanan dengan Sastra



 Published on Singgalang 18/11/12

Seperti kata pepatah, hidup itu adalah perjuangan. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari perjuangan fisik, politik dan diplomasi, sampai dengan perjuangan berbentuk tulisan pada media yang bisa memberikan pencerahan. Perjuangan berbentuk tulisan sendiri bisa juga menjadi dua cara, baik itu yang melalui tulisan jurnalistik non fiksi dan juga berupa karya fiksi. Dalam perjuangan jurnalistik non fiksi dapat melalui tulisan opini ataupun gagasan. Namun  kadang kala sering juga belum menghasilkan dan malahan sering dibungkam, maka karya sastralah yang seterusnya berbicara. Sehingga muncullah suatu slogan yang kira-kira berbunyi “Jurnalisme dibungkam, Sastra bicara”.
Disamping menghamparkan suatu cerita, sastra juga menyusupkan perjuangan melawan relasi kekuasaan yang telah menjadi mapan. Kemapanan kekuasaan ini coba digugat melalui asupan emosi yang hadir dalam tubuh sebuah karya. Kemapanan ini sendiri secara harfiah merupakan suatu narasi yang telah mendominasi sehingga berpretensi menjadi sesuatu yang dianggap layak. Namun apabila ditelisik lebih jauh, kemapanan itu sendiri menghadirkan ketidakadilan bagi pihak yang tersubordinasi. Perlawanan terhadap kemapanan disini bukan hanya terhadap struktur Negara, tapi lebih terhadap realita sosial yang telah hidup dan berkembang menjadi mapan di kalangan masyarakat. Hal inilah yang coba digugat oleh sastra.
Salah satu contoh karya yang didalamnya memuat beberapa gugatan adalah Novel “Saman” karya Ayu Utami. Novel ini bisa dijadikan suatu representasi yang coba menggugat segala kemapanan yang beredar di tengah kita. Kemapanan yang coba digugat diantaranya praktek kapitalisme dan relasi gender. Dalam hal praktek kapitalisme sendiri sesungguhnya terdapat suatu konspirasi busuk yang bermuara pada suatu kerakusan. Hal ini bisa dilihat dalam cerita yang menggambarkan proses berhegemoninya kapitalisme bidang energi oleh korporasi multinasional dan juga kapitalisme agraris. Sedangkan relasi gender yang coba digugat adalah konsesi kedudukan pria dan wanita. Pria berabad-abad mendapatkan posisi lebih kuat dan superior oleh tatanan masyarakat, adat dan agama.
Kapitalisme sendiri masih berdiri tegap menjadi sistem ekonomi yang dianggap layak dalam kegiatan ekonomi. Tak ada sistem lain yang mampu mengunggulinya untuk mencapai suatu kemakmuran materi. Namun dalam operasinya seperti diketahui dilakukan dengan berbagai cara. Bahkan sampai menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan karena ditopang oleh suatu kerakusan seperti pada praktek perusahaan energi multinasional. Dalam kisah Saman sendiri terdapat suatu konspirasi dalam praktek kapitalisme di bidang energi, khususnya eksplorasi minyak bumi. Terdapat suatu konspirasi busuk dalam mengeruk kekayaan alam ini.
Diceritakan adanya sebuah perusahaan bernama Texcoil beroperasi di sekitar laut Cina Selatan daerah kepulauan Natuna. Perusahaan dijalankan oleh orang Indonesia yang dipimpin oleh tokoh yang bernama Rosano. Dia merupakan anak pejabat di Kementrian Pertambangan. Konon jabatan ini didapat karena adanya konspirasi busuk antara pengusaha dengan pemerintah. Rosano diberikan posisi tinggi agar pemerintah memuluskan izin ekplorasi di kepulauan Natuna itu. Mengacu pada hal di atas, praktek kapitalisme sendiri rupanya tidak murni hanya dilakukan oleh pihak asing namun juga diiringi oleh kerakusan pribumi lainnya. Hal ini menjadi suatu perselingkuhan yang indah antara perusahaan dan pemerintah untuk mengeruk pundi-pundi materi dengan megangkangi keadaan rakyat.
Dalam perjalanannya, suatu setting memperlihatkan suasana kerja dimana rosano memaksa untuk melakukan analisa oleh pihak seismoclyse, namun Sihar yang mengepalainya menolak karena beralasan tekanan di bawah masih tinggi. Rosano terus memaksa dan bersitegang dengan Sihar hingga akhirnya Sihar dipecat secara sepihak, lalu menyuruh anak buah Sihar untuk mengambil tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan itu. Rosano memaksa, meski tekanan masih tinggi. Akhirnya terjadilah suatu ledakan yang menyebabkan Hasyim, salah satu pekerja meninggal. Inilah muara dari suatu kerakusan tadi dimana nilai kemanusiaan menjadi tak berarti. Rosanopun berusaha melakukan pembenaran dengan mengatakan bahwa itu adalah kecelakaan kerja. Kecelakaan itu wajar dan kewajaran tentu nantinya akan menjadi kebiasaan yang berpotensi untuk terus terjadi. Slogan “Safety First” hanya menjadi suatu “lips service”.
Praktek kapitalisme lainnya yang coba digugat adalah kegiatan ekonomi agraria. Praktek yang masih terus berlanjut sampai sekarang hingga menimbulkan berbagai konflik. Disini kapitalis juga beroperasi menggunakan perangkat kekuasaan yakni pemerintah. Dalam novel ini diceritakan kegiatan pengusaha dan pemerintah yang memaksa petani untuk mengubah komoditi pertanian dari bertanam karet menjadi bertanam sawit. Karakter yang ada disini adalah Saman yang merupakan pastor di daerah Perabumulih, Sumatera Selatan. Dia bergabung bersama petani dari desa sebelah yakni LubukRantau dengan menanam karet. Seiring dengan timbulnya Sawit sebagai komoditi yang menggiurkan, investor dan pemerintah memaksa petani untuk menanam sawit sehingga karet yang telah ditanam harus dibongkar menjadi sawit.
Pemerintah dan investor menuai perlawanan dari warga karena perjanjian hanya dibuat sepihak dan warga harus membubuhkan tandatangan atas pemakaian lahan mereka. Pergolakan terjadi dimana Saman memimpin perjuangan ini. Saman yang bukanlah penduduk Lubuk Rantau menjadi pihak yang ditenggarai menghasut warga. Karena perlawanan terus terjadi, pemerintahpun melakukan usaha paksa yang kejam dengan membunuh dan membakar perumahan warga. Samanpun disiksa setelah ditangkap. Diapun juga difitnah melakukan tindakan subversi terhadap pemerintah dan dituduh melakukan praktek kristenisasi.
Jelas sekali kelihatannya bahwa praktek kapitalisme di Indonesia dilakukan oleh dwitunggal pengusaha dan pemerintah dengan rakyat sebagai objeknya. Hal ini terlihat tak ada bedanya dengan apa yang dilakukan oleh Belanda. Cuma saja orangnya berbeda yang satu berkulit putih dan yang saat ini berkulit coklat. Hal ini terjadi tentu dilatarbelakangi oleh nafsu kebinatangan yang besar untuk keuntungan pribadi dengan melakukan penyimpangan kekuasaan oleh pemerintah. Sementara bila ada perlawanan maka akan dicap sebagai tindakan subversif sehingga para aparat merasa berhak untuk menindas warga. Pengusaha disisi yang sama selalu menganggap dirinya telah menciptakan kesejahteraan bagi rakyat dengan membuka lapangan kerja. Namun seringkali, rakyat hanya dijadikan seekor kuda untuk menanggung beban kerja demi keuntungan perusahaan. Dapat kita lihat sekarang disamping dampak lingkungan, dampak sosial juga tak terhitung dengan adanya korban jiwa akibat pemaksaan kehendak  yang didorong oleh nafsu kerakusan.
Relasi gender antara pria dan wanita juga mejadi salah satu kemapanan yang digugat oleh Ayu Utami dalam novel ini. Kemapanan paradigama yang mengsubordinasi kedukan pria diatas wanita telah menjadi tradisi dari masa ke masa. Tradisi superioritas pria ini dikembangkan oleh masyarakat dan nilai-nilai adat serta agama. Gugatan yang ada dalam cerita ini dapat dilihat dari karakteristik pada tokoh wanitanya. Laila yang mencintai Sihar meskipun Sihar sudah punya istri. Hal yang ditekankan disini adalah hak setiap wanita untuk mencintai. Selama ini wanita hanyalah sesuatu yang dicintai, dikasihi, dicumbui, dan di-di lainnya yang mengindikasikan suatu kepasifan terletak pada pihak wanita. Disini Laila mencoba untuk menjadi aktif dengan terus mencintai lelaki itu sehingga ada suatu pretensi untuk berubah menjadi subjek. Namun kelemahannya tetap saja ada yakni dia mau saja dibuat menunggu oleh Sihar.
Pada karakter lainnya, Shakuntala, juga memperlihatkan hal-hal bersifat perlawanan pada kemapanan posisi pria. Dia sangat membenci ayahnya yang dapat dirunut sebagai gugatan atas kekuatan laki-laki. Itu tak hanya dalam sistem yang ada di Indonesia, namun juga dalam sistem yang berkembang di Barat. Pada suatu setting Shakuntala begitu jengkel dengan keharusan untuk memakai nama Ayah dalam penulisan nama di Passport, sampai-sampai dia menghentikan niatnya ke luar negeri seperti dalam dialog ini,
“Nama saya Shakuntala. Orang jawa tak punya nama keluarga”
“Anda memiliki ayah, bukan?”
“alangkah indahnya kalau tak punya”
“Gunakan nama ayahmu,” kata wanita di loket itu.
“Dan mengapa saya haru memakainya?”
“Formulir ini harus diisi.”

Dapat terlihat ternyata peradaban barat yang majupun masih mempraktekkan ideologi patriarki yang berpusat pada laki-laki. Ini bukan suatu tindakan kekurangajaran terhadap orang tua, namun ini adalah suatu kerangka sosial yang perlu dicermati. Ini adalah suatu bom waktu saja dari dominasi laki-laki terhadap pria sehingga memunculkan perlawanan. Shakuntala juga jengkel dengan adat Jawa yang ketika menikah mengharuskan istri untuk mencuci kaki suami sebagai sembah bakti istri yang dia pikir sebagai sebagai suatu kepatuhan dan ketidakberdayaan wanita.
            Sementara itu karakter lainnya yakni Yasmin, pada satu sisi dia tetap berlaku sesuai pandangan social terhadap wanita. Dia berkeluarga dan menikah dengan adat Jawa. Namun disisi lainnya dia juga membalikkan apa yang selama ini dianggap kodrat kepada wanita. Yasmin melakukan “Agresi” kepada Saman. Apa yang dilakukannya merupakan suatu titik balik dalam relasi pria dan wanita. Dia menunjukkan prilakunya sebagai subjek yang menginginkan dan bukan objek yang diinginkan. Dia tak terbelenggu aturan sosial dimana pria harus memulai terlebih dahulu. Kejadian ini terjadi pada saat Yasmin menolong Saman untuk pergi melarikan diri ke luar negeri, sebelum pergi Yasmin menaklukkan Saman untuk melakukan hubungan intim. Memang terlihat agresif namun apa yang dilakukan merupakan suatu kesadaran manusia atas apa yang diinginkan tanpa harus dikepung oleh konstruksi sosial. Samanpun menerima dan menikmati apa yang diperlakukan terhadapnya oleh Yasmin dan selalu merindukan Yasmin melakukan hal itu lagi, seperti di pesan-pesan email mereka:
JAKARTA, 20 JUNI 1994
   Saman,
   Taukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmatimu ketika ejakulasi. Aku ingin datang kesana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.

NEW YORK, 21 JUNI 1994
   Yasmin,
   Ajarilah aku. Perkosalah aku.

            Begitulah karya Ayu Utami, penuh dengan gugatan sehingga emosi kian terasa dalam aroma perlawanan. Setelah karya ini menang pada Sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 1998, banyak pihak mengatakan bahwa Ayu Utami telah menguak suatu gaya penulisan yang sangat menggugah. Sementara itu disisi lain ada juga yang menganggapnya sebagai kelompok “Sastra Selangkangan”. Perlu ditekankan disini bahwa apa yang disampaikannya adalah suatu gugatan yang tajam dan bukan suatu vulgarisme, yang ada adalah suatu kelugasan.

Thursday, November 1, 2012

Satir Imajiner dalam Sastra

 Published on Riau Pos 14/10/2012
 just click link below,
http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=728&kat=2


 Pada tataran tertentu sastra dianggap sebagai suatu refleksi kehidupan seperti apa yang dipandang oleh Plato. Makanya Plato sendiri agak merendahkan sastra karena kalau sastra adalah refleksi maka itu adalah mimesis lapis ketiga. Itu terjadi karena dia menganggap bahwa kehidupan ini adalah suatu refleksi dari ide. Maka dari itu jikalau kehidupan sendiri adalah refleksi dari ide, jadi sastra mengalami dua kali tingkat turunan mimesis.

Bermula dari ide turun ke kehidupan, dan barulah bergenerasi kepada sastra sehingga ibarat penyaringan, akan terdapat unsur-unsur yang tereliminasi. Namun faktanya apa yang terjadi dengan dunia sastra tidak menunjukkan hal yang demikian. Banyak diantara karya sastra tidak melulu merupakan refleksi utuh kehidupan, namun juga dibumbui imajinasi dan beragam gaya para penulis. Rasanya mendekati tepat pula apabila kita mengikuti murid Plato sendiri yang menyatakan bahwa sastra adalah sebuah representasi.

Sastra sebagai representasi berarti bahwa apa yang ada pada sastra adalah suatu wujud perwakilan dari kehidupan nyata. Dia tidak sama persis dengan kehidupan nyata, tetapi mengambil bahan dari kehidupan nyata lalu diramu oleh seorang sastrawan. Hasilnya karya-karya yang dihasilkan salah satunya berbentuk imajinasi yang berakar pada kehidupan nyata. Secara kasat mata mungkin apa yang disajikan tidak logis untuk dicerna, namun hal itu merupakan gaya tersendiri di mana sastra tak utuh untuk menyentuh logika tapi yang utama adalah menyentuh emosi. Karya-karya imajinatif itulah yang menjadi representasi dari kehidupan dan bukanlah rekaan si pengarang. Salah satu tujuannya juga untuk memberikan satir atau sindiran atau olok-olokan terhadap suatu hal yang menjadi perhatian si pengarang. Pada umumnya di Indonesia saat ini genre sastra cerpenlah yang sering menggunakan hal ini. Upaya pengungkapan satir yang imajinatif dapat kita lihat pada karya-karya cerpen Agus Noor dalam bukunya berjudul Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia.

Agus Noor memang dikenal sebagai cerpenis mapan Indonesia. Karya-karyanya yang bersifat imajinatif tersebut memang sangat menggelitik melalui penjelajahan gaya yang dilakukannya. Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia ini sangat terlihat jelas betapa nakalnya Agus Noor bermain dengan imajinasi. Bagian pertama yang hadir dalam buku ini berjudul ‘’Empat cerita buat Cinta’’. Cerita pertama berjudul ‘’Pemetik Air Mata’’. Awalnya Agus Noor menjelajahi penceritaannya mengenai asal-usul adanya peri pemetik air mata manusia. Setelah lika-liku cerita imajinatif mengenai hal itu, tibalah akhirnya bahwa air mata-air mata itu dicuri dan telah dijadikan bahan dagangan oleh para pedagang asongan. Sandra, tokoh yang ada dalam cerita tak mempercayai ini karena dia tak melihat peri datang setiap dia dan ibunya yang seorang pelacur menangis. Mama Sandra selalu marah melihat Sandra menangis. Sandra kemudian juga mempunyai anak. Nasibnya lebih baik dari ibunya yang pelacur. Sandra adalah wanita simpanan yang beroleh anak. Anaknya mengetahui adanya peri pemetik air mata itu dan juga membeli air mata itu dari pedagang asongan dan Sandra tidak menyukainya.

Secara kasat mata memang kisah ini tidak masuk akal sama sekali. Mulai dari cerita peri yang entah ada atau tidak sampai pada cerita dijualnya air mata. Namun menarik untuk ditelusuri unsur satir yang ada dalam cerita ini. Air mata merupakan suatu yang identik dengan kesedihan. Dengan air mata, sesuatu yang tidak dapat terselesaikan dapat hilang dengan mencucurkan air mata. Intinya adalah air mata adalah kebutuhan manusia dan telah menjadi takdir bagi manusia untuk menangis menitikkan air mata. Berhubungan dengan konteks cerita bisa dipahami bahwa satir yang hadir adalah suatu sindiran terhadap kehidupan nyata yang telah akrab dengan kesedihan dan kepedihan hidup. Itu terlihat dari apa yang dialami Sandra, ibunya, dan anaknya. Kesedihan terjadi tentu ada sebabnya yang tak lepas dari lingkungannya. Tetapi apa yang dilakukan Sandra dengan melarang anaknya membeli air mata itu adalah suatu upaya kemunafikan dalam menafikan kodrat manusia sebagai makhluk yang berteman dengan kesedihan. Sandra tidak ingin menunjukkan kesedihan yang ada dan memilih untuk terus hidup dalam kebohongan seperti yang dilakukan kepada anaknya dengan menyembunyikan kenyataan bahwa papanya adalah suami orang.

Satu hal lagi satir yang ada bisa dikupas dengan membaca fenomena mengapa air mata itu telah menjadi barang dagangan. Hal ini menandakan bahwa memang saat ini kesedihan juga telah menjadi suatu komoditas. Itu terlihat mulai dari yang beroperasi secara jelas dan yang abstrak. Yang beroperasi dengan jelas adalah seperti para pengemis yang menjual kesedihan dan kemelaratan untuk memperoleh uang. Banyak juga diantaranya yang memperlihatkan bagian fisik yang terlihat menyedihkan untuk memperoleh simpati agar dikasihani. Kemudian menjual kesedihan sebagai komoditi dalam bentuk abstrak bisa dilihat dari populernya cara-cara menarik simpati oleh berbagai pihak. Contohnya program televisi yang mengekspos kesedihan sebagai produknya dan ada juga yang menarik simpati dengan kisah hidupnya dahulu yang menyedihkan agar karya atau produknya terjual. Jadi, hakikatnya mereka menjual kesedihan untuk menarik simpati, bukan menjual produknya melalui kualitasnya.
Cerita kedua di sini berjudul ‘’Penyemai Sunyi’’ menceritakan seorang laki-laki yang menemui rumahnya di mana keluarganya semuanya terbunuh. Saat itulah dia melihat setangkai sunyi yang ada di halamannya sambil terus membayangkan kenangan bersama keluarganya.

‘’Setangkai sunyi yang cemerlang dengan perpaduan warna-warna yang paling rahasia membuatku tergetar dan bertanya-tanya’’. Begitulah gambaran keindahan yang dilukiskan lelaki itu. Sebelum pulang dia membayangkan istrinya akan membukakan pintu dan menyiapkannya kopi hangat dan anak-anaknya yang masih belajar ataupun menonton TV. Dalam renungan diapun masih merasakan seakan-akan ada suara istrinya dan anaknya dari dalam memanggil masuk, namun itu hanya ada dalam kenangan. Setelah itu setangkai sunyi yang berbentuk bunga itu terus tumbuh mekar dan besar sehingga memukau banyak orang, namun ketika ditanya orang dia selalu menjawab bahwa itu adalah setangkai kesunyian.

Cerita ini bersifat filosofis melalui perenungan yang dilakukannya. Satir yang ada di sini bisa dimaknai sebagai suatu fase kehidupan di mana manusia harus melalui suatu masa kesunyian. Kesunyian itu dimaknai sebagai suatu akibat dari tindakan manusia yang telah lupa akan anugerah sosial, dalam hal ini adalah keluarga. Karakter semasa hidupnya tak memanfaatkan waktu kebersamaan dengan keluarganya. Dia yang selalu pulang malam membohongi istrinya dan dia yang menganggap remeh kehadiran dari anaknya. Akhirnya dia mengalami kehampaan tanpa mereka semua.  Hanya kesunyian yang akan hadir apabila waktu yang telah ada tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Namun hal menarik yang dihadirkan oleh Agus Noor adalah metaphor bunga sebagai lambang kesunyian. Apa yang mendasari ini? Ini merupakan suatu hal yang berbeda lainnya di mana biasanya bunga dianggap sebagai suatu hal yang menggambarkan keindahan dan bukanlah kesunyian. Mungkinkah ini sebagai perlawanan simbol pada pemahaman umum orang-orang bahwa bunga perlambang dari kegembiraan karena hidupnya warna yang dimilikinya? Apakah manusia telah salah kaprah atau manusia yang hanya melihat kulit luar dari sewujud bunga yang sebenarnya di dalamnya adalah tawaran kesunyian? Interpretasi bisa berbeda di sini.

Cerita ketiga dengan judul ‘’Penjahit Kesedihan’’ menceritakan fenomena tukang jahit dalam suatu kota. Dulu banyak gerombolan tukang jahit datang menjelang Lebaran dan semua orang gembira. Lebaran tak lengkap tanpa menjahitkan pakaian pada para penjahit itu. Setelah beberapa lama, penjahit itu semakin berkurang oleh imbas modernisme. Akhirnya merekapun menyingkir ke pinggir kota. Tak lama kemudian merekapun juga hilang satu per satu oleh zaman. Namun masih ada satu penjahit yang masih bertahan. Ceritanya dia tak hanya bisa menjahit pakaian tapi juga bisa menjahit kesedihan menjadi kebahagian karena memiliki jarum yang diakuinya didapat dari Nabi. Lama kelamaan banyak saja orang yang datang kepadanya untuk menjahit kesedihan sampai antriannya sepanjang ujung cakrawala ini.

Unsur satir yang dapat dilihat dari karya imajinatif ini pada mulanya adalah fenemona tersingkirnya kaum tertentu oleh suatu modernisme. Masyarakat tak menyukai lagi hal-hal yang berakar dari masyarakatnya sendiri melainkan menyukai hal yang lebih modern dan materialistis. Ini merupakan satir dan balada terhadap kesedihan yang dialami oleh para pencari nafkah tradisi kita yang harus tersingkir oleh peradaban modern yang tak kenal kasihan. Selain itu, dapat dilihat di sini pertukaran pola pikir masyarakat yang telah menjadi lebih instan dan tidak mempertimbangkan proses dalam menilai suatu hal. Dulu mereka dengan setia melihat bagaimana setiap penjahit meliuk-liukkan jarumnya, tapi sekarang mereka lebih suka beli barang yang langsung jadi di mal dan butik. Namun ketika manusia telah merasakan keanekaragaman material tersebut, mereka suatu saat juga menjadi hampa sehingga tak mendapatkan kebahagian sehingga menjamurlah orang-orang yang mencari kebahagiaan untuk menjahit kepedihannya. Inilah suatu fenemona yang disebut kehampaan spiritual karena hidup didunia yang materialistis. Ketika mereka telah memiliki semuanya, mereka tak juga bahagia karena masih merasa hampa karena kosongnya jiwa. Hal ini disebabkan tidak adanya kegiatan spiritual. Kegiatan melihat penjahit melakukan jahitannya pada masa dulu bisa jadi suatu analogi kegiatan spiritual sehingga ada suatu kenyamanan dalam hati pada saat melakukan atau menyaksikan.

Cerita keempat dalam bagian cerpen ini adalah ‘’Pelancong Kepedihan’’. Di sini diceritakan fenomena pelancong dari luar yang berwisata untuk menyaksikan kesedihan pada suatu kota. Di sana para pelancong sangat terkagum-kagum melihat kesedihan dan kemelaratan yang ada karena tidak merasakan dan melihat hal tersebut di negerinya. Mereka membawa bekal dan beberapa persediaan dokumentasi. Mereka mengambil foto apa saja yang dilihatnya dan kadang-kadang mereka juga berfoto dengan penduduk setempat yang tertlihat menyedihkan. Konon pula foto itu juga dijadikan perangko yang dibanggakan sebagai bukti mereka pernah ke kota kepedihan. Salah satu hal yang membuat para pelancong tertarik adalah dimana kota ini dibangun untuk keruntuhan. Maka ketika bumi di kota ini tanahnya bergerak, para pelancongpun langsung bereaksi memperlihatkan ketertarikannya dengan apa yang terjadi.

Tentu saja imajinasi ini akan terasa tidak logis. Namun intensitas yang dibangun tentunya bukan bertujuan untuk membujuk logika, namun lebih kepada upaya untuk menyentuh perasaan. Hal ini dilakukan dengan pembuatan realita cerita yang hiperbola. Agus Noor juga memainkan bayangan diluar lingkaran yang ada untuk memberikan satir atas apa yang menjadi fenomena bagi Indonesia yang sering mengalami keruntuhan. Mulai dari keruntuhan secara fisik sampai dengan keruntuhan secara moril. Indonesia sebagai bangsa yang akrab dengan bencana akhir-akhir ini memang telah menyerap perhatian Internasional. Maka banyaklah orang asing yang berdatangan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Apakah pelancong yang disangkakan oleh Agus Noor adalah sejumlah lembaga pemerintah ataupun NGO asing yang berkunjung dengan kedok kemanusiaan. Sejumlah kejadian telah memperlihatkan hal tersebut, seperti tsunami Aceh, gempa Jogja dan gempa Padang. Memang terkesan terlalu verbal untuk menuduh mereka sebagai pelancong di dalam cerita. Namun kembali lagi kita menilik pada hakikat sastra sebagai suatu representasi suatu realita. Sastra tidak menuduh, akan tetapi adalah mencoba untuk menggugah pembaca melalui imajinasi yang ada sehingga dapat menjadi pegangan ataupun suatu antisipasi.***


Bayu Agustari Adha
Penulis yang rajin membaca karya-karya baru serta menulis esai. Bayu adalah Tutor Bahasa Inggris di EasySpeak.