Published on Padang Ekspress 30/06/2013
Perkara
lokalitas telah menjadi bahan tersendiri terutama oleh penulis yang mempunyai
akar lokal atau yang memang berada di lingkungan lokalitas bernaung. Akan
tetapi ada satu hal yang dominan dalam menuangkan lokalitas ini yaitu lokalitas
yang semakin terhimpit oleh pengaruh global. Seperti yang telah dikemukakan Katrin
Bandel dalam tulisannya “Etnisitas dan Kota”. Karya yang menyajikan etnisitas
umumnya berbicara mengenai dampak yang terjadi oleh kota terhadap etnis,
sedangkan yang berbicara Kota tak sedikitpun menyinggung lokalitas. Dari hal
tersebut dapat dilihat bahwa Globalitas dari kota bersifat agresif, ekspansif,
dan destruktif terhadap lokalitas yang seperti bernasib selalu tertindas tanpa
perlawanan.
Kehancuran
lokalitas ini dilakukan secara sistmatis dengan ditopang oleh wacana-wacana advanced (kemajuan) dan prospered (kesejahteraan). Akan tetapi
ekpansi ini tidak melihat adanya penghapusan, penghilangan, dan penghancuran
sejarah lokalitas itu sendiri baik yang bersifat fisik ataupun nonfisik.
Kenyataan ini melahirkan berbagai karya fiksi yang mengungkapkan betapa
kejamnya kemajuan dan kesejahteraan itu sendiri sehingga tak bisa lagi
dikembalikan seperti semula. Salah satu penulis yang menghadirkan isu-isu ini
adalah Zelfeni Wimra dalam kumpulan Cerpen “Yang Menunggu dengan Payung” yang
umumnya berlatar tempat dan budaya Minangkabau. Dalam 17 cerpen di dalamnya
memang membicarakan perkara penantian dan kesetiaan seperti yang tertulis di
sampul belakang buku. Namun apabila dilihat lebih lagi, banyak diantara
karyanya memuat perkara kehancuran lokalitas oleh pengaruh globalitas. Pelaku
dan hal yang mendorong penghancuran disini direpresentasikan oleh pemerintah
melalui tindakan langsung ataupun kebijakan, gaya hidup, dan penduduk etnis itu
sendiri yang terpengaruh rayuan globalitas.
Penghancuran
lokalitas yang dilakukan pemerintah atas nama negara terjadi pada dua cerpen
berjudul “Tabung Cahaya” dan “Puisi Malam Penghabisan”. Keduanya menampilkan kehancuran
lokalitas langsung secara fisik dan berlanjut pada hal-hal nonfisik. Detailnya
cerita ini mengisahkan pembangunan PLTA Koto Panjang di perbatasan Riau Sumbar
dengan membuat Bendungan menahan aliran Sungai Kampar Kanan. Pembuatan ini
menggelamkan ribuan rumah, ribuan km jalan, kebun, ladang dan fasilitas lainnya
di sekitar tepian sungai. “Tabung Cahaya” bersetting setelah bendungan dibangun
sekaligus dengan narasi kenangan sebelum terjadi pembangunan. Tokoh sentral
adalah seorang pemuda yang harus menyelam untuk menziarahi makam Ibunya.
Sedangkan “Puisi Malam Penghabisan” bersetting saat-saat akan dibangunnya PLTA
dengan keinginan seorang Ibu yang ingin dimakamkan di tanah yang akan ditenggelamkan.
Perbedaan keduanya juga terlihat dari cara narasi dimana “Tabung Cahaya” lebih
bercerita datar apa adanya dan “Puisi Malam Penghabisan” berbentuk Prosa lirik
dengan kalimat-kalimat emosional dengan ritme semakin dan semakin meningkat.
Wacana
yang dikeluarkan dalam rangka penghancuran lokalitas ini adalah wacana
pembangunan. Senjata yang ampuh untuk meluluhkan hati penduduk dengan tujuan
demi kemajuan masyarakat. Padahal jika dilihat, daya yang didapat oleh PLTA ini
tidak sesuai harapan dan telah menjadi sampel salah satu proyek gagal dengan
mengorbankan segala hal yang tak ternilai. Mulai dari ganti rugi yang tak
sesuai, relokasi yang tak sebanding dengan tempat asal, sampai pada pengerahan
aparat untuk memaksa penduduk direlokasi. Kehilangan tak hanya tanah, tapi juga
kenangan dan sejarah itu sendiri sehingga menjadikankan manusia-manusia tanpa
sejarah. Belum lagi efek masa kini dimana terdapat daerah yang rutin terkena
banjir akibat terhambatnya aliran sungai. Metode penghancuran ini jelas sekali
akibat dari kerakusan pemerintah yang tergiur oleh gelontoran dana dari Jepang.
Dengan hancurnya lokalitas ini, maka dengan sendirinya telah terjadi pemutusan
rantai sejarah dari daerah terkena dampak.
Destrukturisasi
Lokalitas juga dlakukan oleh Pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya. Hal ini
terlihat pada cerpen “Sunat” dan “Nasi Dingin”. Disini terlihat bagaimana
sebuah kebijakan pemerintah berdampak pada putusnya suatu budaya, kebiasaan,
bahkan pola hidup. Dalam cerpen “Sunat”, dimuat budaya sunat yang dilakukan
secara adat oleh budaya setempat. Pemerintah melalui kebijakannya menghancurkan
nilai lokal dengan menyatakan budaya sunat tradisional dianggap berbahaya.
Padahal kegiatan ini dilakukan untuk membuat perempuan menjadi baik-baik dan
tidak gatal, serta bisa bermental mandiri dan tidak cengeng, serta baik-baik
menjaga kewanitaannya. Pemerintah melegitimasikan sunat terhadap perempuan
hanya dilakukan sekali saja pada saat melahirkan oleh Bidan. Secara tidak
langsung pemerintah juga menghancurkan eksistensi dukun dan menggunakan
tiraninya untuk mengarahkan pada institusi kesehatan yang dianggap ilmiah
seperti Dokter dan Bidan.
Sementara
itu dalam cerpen “Nasi Dingin”, pemerintah melalui kebijakannya menghancurkan
rantai kebiasaan representasi masyarakat lokal. Kebijakan pemerintah itu adalah
pemusnahan unggas yang ada dalam masyarakat seiring menyebarnya virus flu
burung. Pemerintah dan perangkatnya memaksakan pembunuhan massal unggas
meskipun belum tau apakah unggas itu terjangkit atau tidak. Rantai budaya yang
dihancurkan dalam cerpen ini adalah tidak adanya lagi yang memakan nasi dingin
setelah hewan ternaknya dipaksa oleh pemerintah untuk dimusnahkan. Meskipun
terlihat sepele, kegiatan ini dapat memutus rantai kehidupan yang sebelumnya
dilaksanakan secara rutin. Nasi dingin yang biasanya dimakan ternak, kini menjadi
terbuang, membuat Ibu Rumah Tangga menjadi bingung. Keluarganya tak mau makan
nasi dingin, namun apabila dialihkan pada hal lan seperti membuat kerak nasi,
zaman sekarang tak banyak yang suka memakannya.
Destrukturisasi
lokalitas lainnya yang tergambar dikumpulan cerpen Zelfeni Wimra tak hanya
berasal dari pemerintah, namun juga zaman itu sendiri. Hal ini bisa terjadi
oleh perkembangan teknologi dan peningkatan gaya hidup modern. Melalui
perkembangan teknologi, siklus kehidupan yang dulu dijalani bisa saja hilang.
Hal ini tergambar dalam cerpen “Suara Serak di Seberang Radio”. Budaya berkirim
surat dalam program radio sempat menjadi kebiasaan yang menggejala dalam
kehidupan hiburan masyarakat. Namun setelah berkembangnya teknologi komunikasi,
budaya ini perlahan-lahan hilang. Surat ini telah digantikan teknologi telepon
seluler yang secara teknis sangat mudah dan praktis. Namun yang hilang adalah
romantika dan proses yang ada dalam dunia surat menyurat. Di cerpen ini seorang
pemuda kampung rutin mendengar radio dan pada saat tertentu mengirim surat
melalui pos dengan proses perjalanan yang cukup panjang. Namun sejak adanya HP,
program yang biasa didengarkannya tidak ada dan surat-surat yang telah dikirimnya
hanya menjadi tumpukan oleh sang penyiar yang akhirnya dibuang oleh sang suami
penyiar. Disini terlihat betapa kejamnya teknologi membunuh proses romantika
yang dinikmati seseorang.
Gaya
hidup metropilitan, modern, globalisasi terus merangsek menjalar ke seluruh
daerah. Gaya hidup ini sendiri terlihat dalam simbol-simbol yang disuguhkan
pada mata kita. Misalnya adalah pusat pebelanjaan, Mall, Plaza, yang
seakan-akan menjadi syarat untuk setiap daerah agar dapat dikatakan bergaya
hidup metropolis dan modern. Karena kuatnya hasrat untuk gaya hidup ini, maka
harus dikorbankanlah suatu kenangan lokal seperti terminal Ibukota Provinsi di
Kota Padang yang telah berubah menjadi pusat perbelanjaan modern. Dalam cerpen
“Layang-Layang Bulan”, terkesibat dua orang yang berusaha mengenang lagi
terminal yang pada masa kecilnya menjadi tempatnya tumbuh dan bermain. Namun
sekarang, sejarah kecilnya itu telah menjadi angkuh berdiri dengan bangunannya
dan orang-orang di dalamnya. Mall yang tega menindih terminal itu secara tidak
langsung telah menghilangkan sejarah. Romantika yang ada saat para perantau
berangkat pergi, suara-suara agen, dan anak-anak yang menghabiskan masa kecil
di terminal karena dibawa oleh orang tua pencari nafkah di terminal tak bisa
dipanggil lagi oleh kokhnya simbol modernitas ini.
Penghancuran
lokalitas ini rupanya tak hanya dilakukan oleh pihak yang berada di luar
lokalitas itu sendiri. Tetapi juga bisa berasal dari pihak internal yakni
masyarakat atau penduduk lokal itu sendiri. Lebih ringkasnya ini dilakukan
dalam tahap eksekusi meskipun dorongan datangnya juga dari globalitas sentral itu
sendiri. Dalam kumpulan cerpen ini dapat dilihat dalam cerita “Di atas Dipan
Penantian” dan “Bini Perantau”. Keduanya sama-sama mengungkapkan rintihan orang
yang ditinggalkan. Cerpen pertama mengenai seseorang yang menunggu kematian
dalam kesunyian dimana di kampungnya tak ada lagi penduduk. Sedangkan yang
kedua mengenai suasana keluarga yang ditimpa banjir tanpa adanya sang pemimpin
keluarga, karena pergi merantau. Kegiatan merantau disini lebih banyak mudharatnya
dari pada manfaatnya.
Mungkin
kurang bijak rasanya apabila kegiatan me\rantau ini dikatakan sebagai
penghancuran lokalitas, apalagi jika dilihat adanya budaya merantau
Minangkabau. Namun disini penulis mencoba mengambil dari sisi lain. Bisa saja
ada kesalahan dari esensi pergi merantau itu sendiri. Dulu lebih banyak
kegiatan meranta ini adalah untuk bertualang, mencari ilmu, atau bahkan
penyebaran ajaran. Jika kita lihat di cerpen “Di atas Dipan Penantian”, kepergian
orang-orang kampung hanyalah alasan materi semata karena tidak puas dengan
negeri dataran tinggi yang hanya bisa bersawah dan berladang. Trend globalitas
sekarang tak lagi mencari daerah subur, tapi daerah yg memiliki kandungan
barang tambang. Akibat hal inilah penduduk kampung berbondong-bondong pergi dan
hanya meninggalkan satu keluarga yang menunggu mati. Dalam cerpen “Bini
Perantau”, seorang suami juga pergi karena alasan materi sehingga membuatnya
berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya mencari dimana rupiah bisa
dikeruk.
Jelaslah
disini kehancuran lokalitas menjadi tema yang bisa diekplorasi dalam sastra
Indonesia kontemporer sekarang ini. Globalitas tak menyadari apa yang telah
dikokohkannya menimbulkan suatu efek bagi lokalitas sehingga terjadi
destrukturisasi secara sistematis, memutuskan dan menghilangkan rantai sejarah.
Bayu Agustari Adha
Penulis Esai
Alumni Sastra Inggris UNP
sumber gambar http://www.bukabuku.com/browse/bookdetail/2010000086636/yang-menunggu-dengan-payung.html
2 comments:
Ijin nyimak dulu deh...
Nice post gan... :)
sundul gan,,,,hahaha
Post a Comment