Sunday, July 14, 2013

Destrukturisasi Lokalitas (Dari Cerpen Zelfeni Wimra)


Published on Padang Ekspress 30/06/2013
  
Perkara lokalitas telah menjadi bahan tersendiri terutama oleh penulis yang mempunyai akar lokal atau yang memang berada di lingkungan lokalitas bernaung. Akan tetapi ada satu hal yang dominan dalam menuangkan lokalitas ini yaitu lokalitas yang semakin terhimpit oleh pengaruh global. Seperti yang telah dikemukakan Katrin Bandel dalam tulisannya “Etnisitas dan Kota”. Karya yang menyajikan etnisitas umumnya berbicara mengenai dampak yang terjadi oleh kota terhadap etnis, sedangkan yang berbicara Kota tak sedikitpun menyinggung lokalitas. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa Globalitas dari kota bersifat agresif, ekspansif, dan destruktif terhadap lokalitas yang seperti bernasib selalu tertindas tanpa perlawanan.
Kehancuran lokalitas ini dilakukan secara sistmatis dengan ditopang oleh wacana-wacana advanced (kemajuan) dan prospered (kesejahteraan). Akan tetapi ekpansi ini tidak melihat adanya penghapusan, penghilangan, dan penghancuran sejarah lokalitas itu sendiri baik yang bersifat fisik ataupun nonfisik. Kenyataan ini melahirkan berbagai karya fiksi yang mengungkapkan betapa kejamnya kemajuan dan kesejahteraan itu sendiri sehingga tak bisa lagi dikembalikan seperti semula. Salah satu penulis yang menghadirkan isu-isu ini adalah Zelfeni Wimra dalam kumpulan Cerpen “Yang Menunggu dengan Payung” yang umumnya berlatar tempat dan budaya Minangkabau. Dalam 17 cerpen di dalamnya memang membicarakan perkara penantian dan kesetiaan seperti yang tertulis di sampul belakang buku. Namun apabila dilihat lebih lagi, banyak diantara karyanya memuat perkara kehancuran lokalitas oleh pengaruh globalitas. Pelaku dan hal yang mendorong penghancuran disini direpresentasikan oleh pemerintah melalui tindakan langsung ataupun kebijakan, gaya hidup, dan penduduk etnis itu sendiri yang terpengaruh rayuan globalitas.
Penghancuran lokalitas yang dilakukan pemerintah atas nama negara terjadi pada dua cerpen berjudul “Tabung Cahaya” dan “Puisi Malam Penghabisan”. Keduanya menampilkan kehancuran lokalitas langsung secara fisik dan berlanjut pada hal-hal nonfisik. Detailnya cerita ini mengisahkan pembangunan PLTA Koto Panjang di perbatasan Riau Sumbar dengan membuat Bendungan menahan aliran Sungai Kampar Kanan. Pembuatan ini menggelamkan ribuan rumah, ribuan km jalan, kebun, ladang dan fasilitas lainnya di sekitar tepian sungai. “Tabung Cahaya” bersetting setelah bendungan dibangun sekaligus dengan narasi kenangan sebelum terjadi pembangunan. Tokoh sentral adalah seorang pemuda yang harus menyelam untuk menziarahi makam Ibunya. Sedangkan “Puisi Malam Penghabisan” bersetting saat-saat akan dibangunnya PLTA dengan keinginan seorang Ibu yang ingin dimakamkan di tanah yang akan ditenggelamkan. Perbedaan keduanya juga terlihat dari cara narasi dimana “Tabung Cahaya” lebih bercerita datar apa adanya dan “Puisi Malam Penghabisan” berbentuk Prosa lirik dengan kalimat-kalimat emosional dengan ritme semakin dan semakin meningkat.
Wacana yang dikeluarkan dalam rangka penghancuran lokalitas ini adalah wacana pembangunan. Senjata yang ampuh untuk meluluhkan hati penduduk dengan tujuan demi kemajuan masyarakat. Padahal jika dilihat, daya yang didapat oleh PLTA ini tidak sesuai harapan dan telah menjadi sampel salah satu proyek gagal dengan mengorbankan segala hal yang tak ternilai. Mulai dari ganti rugi yang tak sesuai, relokasi yang tak sebanding dengan tempat asal, sampai pada pengerahan aparat untuk memaksa penduduk direlokasi. Kehilangan tak hanya tanah, tapi juga kenangan dan sejarah itu sendiri sehingga menjadikankan manusia-manusia tanpa sejarah. Belum lagi efek masa kini dimana terdapat daerah yang rutin terkena banjir akibat terhambatnya aliran sungai. Metode penghancuran ini jelas sekali akibat dari kerakusan pemerintah yang tergiur oleh gelontoran dana dari Jepang. Dengan hancurnya lokalitas ini, maka dengan sendirinya telah terjadi pemutusan rantai sejarah dari daerah terkena dampak.
Destrukturisasi Lokalitas juga dlakukan oleh Pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya. Hal ini terlihat pada cerpen “Sunat” dan “Nasi Dingin”. Disini terlihat bagaimana sebuah kebijakan pemerintah berdampak pada putusnya suatu budaya, kebiasaan, bahkan pola hidup. Dalam cerpen “Sunat”, dimuat budaya sunat yang dilakukan secara adat oleh budaya setempat. Pemerintah melalui kebijakannya menghancurkan nilai lokal dengan menyatakan budaya sunat tradisional dianggap berbahaya. Padahal kegiatan ini dilakukan untuk membuat perempuan menjadi baik-baik dan tidak gatal, serta bisa bermental mandiri dan tidak cengeng, serta baik-baik menjaga kewanitaannya. Pemerintah melegitimasikan sunat terhadap perempuan hanya dilakukan sekali saja pada saat melahirkan oleh Bidan. Secara tidak langsung pemerintah juga menghancurkan eksistensi dukun dan menggunakan tiraninya untuk mengarahkan pada institusi kesehatan yang dianggap ilmiah seperti Dokter dan Bidan.
Sementara itu dalam cerpen “Nasi Dingin”, pemerintah melalui kebijakannya menghancurkan rantai kebiasaan representasi masyarakat lokal. Kebijakan pemerintah itu adalah pemusnahan unggas yang ada dalam masyarakat seiring menyebarnya virus flu burung. Pemerintah dan perangkatnya memaksakan pembunuhan massal unggas meskipun belum tau apakah unggas itu terjangkit atau tidak. Rantai budaya yang dihancurkan dalam cerpen ini adalah tidak adanya lagi yang memakan nasi dingin setelah hewan ternaknya dipaksa oleh pemerintah untuk dimusnahkan. Meskipun terlihat sepele, kegiatan ini dapat memutus rantai kehidupan yang sebelumnya dilaksanakan secara rutin. Nasi dingin yang biasanya dimakan ternak, kini menjadi terbuang, membuat Ibu Rumah Tangga menjadi bingung. Keluarganya tak mau makan nasi dingin, namun apabila dialihkan pada hal lan seperti membuat kerak nasi, zaman sekarang tak banyak yang suka memakannya.
Destrukturisasi lokalitas lainnya yang tergambar dikumpulan cerpen Zelfeni Wimra tak hanya berasal dari pemerintah, namun juga zaman itu sendiri. Hal ini bisa terjadi oleh perkembangan teknologi dan peningkatan gaya hidup modern. Melalui perkembangan teknologi, siklus kehidupan yang dulu dijalani bisa saja hilang. Hal ini tergambar dalam cerpen “Suara Serak di Seberang Radio”. Budaya berkirim surat dalam program radio sempat menjadi kebiasaan yang menggejala dalam kehidupan hiburan masyarakat. Namun setelah berkembangnya teknologi komunikasi, budaya ini perlahan-lahan hilang. Surat ini telah digantikan teknologi telepon seluler yang secara teknis sangat mudah dan praktis. Namun yang hilang adalah romantika dan proses yang ada dalam dunia surat menyurat. Di cerpen ini seorang pemuda kampung rutin mendengar radio dan pada saat tertentu mengirim surat melalui pos dengan proses perjalanan yang cukup panjang. Namun sejak adanya HP, program yang biasa didengarkannya tidak ada dan surat-surat yang telah dikirimnya hanya menjadi tumpukan oleh sang penyiar yang akhirnya dibuang oleh sang suami penyiar. Disini terlihat betapa kejamnya teknologi membunuh proses romantika yang dinikmati seseorang.
Gaya hidup metropilitan, modern, globalisasi terus merangsek menjalar ke seluruh daerah. Gaya hidup ini sendiri terlihat dalam simbol-simbol yang disuguhkan pada mata kita. Misalnya adalah pusat pebelanjaan, Mall, Plaza, yang seakan-akan menjadi syarat untuk setiap daerah agar dapat dikatakan bergaya hidup metropolis dan modern. Karena kuatnya hasrat untuk gaya hidup ini, maka harus dikorbankanlah suatu kenangan lokal seperti terminal Ibukota Provinsi di Kota Padang yang telah berubah menjadi pusat perbelanjaan modern. Dalam cerpen “Layang-Layang Bulan”, terkesibat dua orang yang berusaha mengenang lagi terminal yang pada masa kecilnya menjadi tempatnya tumbuh dan bermain. Namun sekarang, sejarah kecilnya itu telah menjadi angkuh berdiri dengan bangunannya dan orang-orang di dalamnya. Mall yang tega menindih terminal itu secara tidak langsung telah menghilangkan sejarah. Romantika yang ada saat para perantau berangkat pergi, suara-suara agen, dan anak-anak yang menghabiskan masa kecil di terminal karena dibawa oleh orang tua pencari nafkah di terminal tak bisa dipanggil lagi oleh kokhnya simbol modernitas ini.
Penghancuran lokalitas ini rupanya tak hanya dilakukan oleh pihak yang berada di luar lokalitas itu sendiri. Tetapi juga bisa berasal dari pihak internal yakni masyarakat atau penduduk lokal itu sendiri. Lebih ringkasnya ini dilakukan dalam tahap eksekusi meskipun dorongan datangnya juga dari globalitas sentral itu sendiri. Dalam kumpulan cerpen ini dapat dilihat dalam cerita “Di atas Dipan Penantian” dan “Bini Perantau”. Keduanya sama-sama mengungkapkan rintihan orang yang ditinggalkan. Cerpen pertama mengenai seseorang yang menunggu kematian dalam kesunyian dimana di kampungnya tak ada lagi penduduk. Sedangkan yang kedua mengenai suasana keluarga yang ditimpa banjir tanpa adanya sang pemimpin keluarga, karena pergi merantau. Kegiatan merantau disini lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya.
Mungkin kurang bijak rasanya apabila kegiatan me\rantau ini dikatakan sebagai penghancuran lokalitas, apalagi jika dilihat adanya budaya merantau Minangkabau. Namun disini penulis mencoba mengambil dari sisi lain. Bisa saja ada kesalahan dari esensi pergi merantau itu sendiri. Dulu lebih banyak kegiatan meranta ini adalah untuk bertualang, mencari ilmu, atau bahkan penyebaran ajaran. Jika kita lihat di cerpen “Di atas Dipan Penantian”, kepergian orang-orang kampung hanyalah alasan materi semata karena tidak puas dengan negeri dataran tinggi yang hanya bisa bersawah dan berladang. Trend globalitas sekarang tak lagi mencari daerah subur, tapi daerah yg memiliki kandungan barang tambang. Akibat hal inilah penduduk kampung berbondong-bondong pergi dan hanya meninggalkan satu keluarga yang menunggu mati. Dalam cerpen “Bini Perantau”, seorang suami juga pergi karena alasan materi sehingga membuatnya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya mencari dimana rupiah bisa dikeruk.
Jelaslah disini kehancuran lokalitas menjadi tema yang bisa diekplorasi dalam sastra Indonesia kontemporer sekarang ini. Globalitas tak menyadari apa yang telah dikokohkannya menimbulkan suatu efek bagi lokalitas sehingga terjadi destrukturisasi secara sistematis, memutuskan dan menghilangkan rantai sejarah.
        Bayu Agustari Adha
Penulis Esai
Alumni Sastra Inggris UNP

sumber gambar http://www.bukabuku.com/browse/bookdetail/2010000086636/yang-menunggu-dengan-payung.html

2 comments:

Unknown said...

Ijin nyimak dulu deh...
Nice post gan... :)

bayustation said...

sundul gan,,,,hahaha