Monday, April 30, 2012

Warisan Birokratisme Kolonial


Sastra tak pelak lagi telah menjadi suatu alat rekam sejarah yang ampuh. Bahkan bisa lebih mumpuni lagi dari literatur-literatur sejarah  yang kita dapat pada dokumen resmi. Hal ini dapat dimaklumi karena kekuatan sastra yang bisa mengajak pembaca untuk melibatkan emosi pada kejadian atau peristiwa yang disuguhkan. Pembaca seakan-akan ikut dalam cerita sehingga secara tidak langsung bisa mengamini peristiwa yang diceritakan sekaligus mengambil nilai-nilai dan perspektif yang ditawarkan. Fenomena reka ulang sejarah dalam sastra ini memang telah menjadi suatu alternatif dalam memaknai sejarah itu sendiri ditengah banyaknya pembohongan sejarah oleh pihak yang berkuasa. Meskipun dibungkus dalam bentuk fiksi, itu tak mempengaruhi kebenaran sejarah itu sendiri.
Di Indonesia sendiri karya sastra yang coba mereka ulang bahkan merekonstruksi sejarah itu sendiri sudah menjadi bagian tersendiri dalam khasanah sastra Indonesia. Pada umumnya banyak yang mereka ulang sejarah penjajahan Belanda yang tentunya sangat berbekas pada kehidupan bangsa Indonesia. Ada yang mencoba mengungkap kebusukan dan kekejaman Belanda dan ada juga yang memberikan perspektif berbeda dari pandangan mainstream Belanda sebagai penjajah. Namun intinya secara keseluruhan Belanda banyak meninggalkan warisan yang tidak hanya dalam bentuk fisik, tapi juga sistem. Dalam bentuk sistem, karya Yanti Soeparmo “Deharmonie” mengungkap warisan-warisan sistem pemerintahan Belanda sebagai penyelenggara pemerintah di Indonesia kala itu.
Pada novel ini jelas terlihat bagaimana birokrasi yang diterapkan oleh Belanda yang tentunya menguntungkan pihaknya sendiri sehingga memperlakukan rakyat hanya pada level sebatas tidak merugikan pihak Belanda. Jadi terlihat jelas bahwa pemerintah Belanda adalah bertindak sebagai penguasa sehingga cenderung bersifat birokratis dimana aturan ditetapkan sendiri selama tidak merugikan. Inilah warisan yang ditinggalkan Belanda yang bahkan apabila kita bandingkan dengan penyelenggara pemerintah sekarang ini terlihat tak ada bedanya dimana pemerintah berlaku sebagai penguasa. Birokratisme kolonial yang tergambar dalam novel “Deharmonie” ini meliputi hal-hal sistem seremonial, pelayanan masyarakat, pengambilan kebijakan, dan pemenfaatan jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Dalam hal kegiatan seremonial, watak birokrat kolonial Belanda menerapkan pembedaan antara orang Belanda dan kaum pribumi. Saat itu dalam salah satu latar di novel ini diceritakan sebuah acara perayaan ulang tahun ratu Belanda Wilhelmina. Perayaan ini diadakan di Gedung Societeit De Harmonie yang saat ini adalah sekretariat Negara. Pada pesta ini terlihat jelas lokalisasi identitas dimana yang diperbolehkan berada ditempat ini hanyalah orang Belanda, kalaupun ada yang pribumi hanyalah para pelayan. Sedangkan bagi kaum pribumi hanya diperbolehkan berada di lapangan gambir di depan gedung tersebut dimana disediakan pasar malam bagi pribumi. Inilah watak birokrat saat itu yang memisahkan identitas antara penyelenggara pemerintah dan pribumi yang diperintah. Memang Belanda masih menyisakan sedikit ruang untuk pribumi untuk juga merayakannya. Namun ada ataupun tidak, tetap saja pihak birokrat  telah melecehkan pribumi. Untuk mengadakan pesta yang megah inipun pasti menggunakan kekayaan Indonesia dari hasil penjajahan, tapi malah hanya bisa dinikmati oleh pihak perampas. Ini suatu bentuk ketidakadilan yang diterapkan Belanda saat itu. Hal yang sama-sama dinikmati hanyalah kemeriahan kembang api yang juga dapat disaksikan oleh pribumi dari lapangan gambir. Namun itu tentu bukan hal yang sengaja diberikan oleh pemerintah Belanda, karena bagaimanapun setiap orang tentu bias melihat gebyar kembang api karena memang kembang api terbangnya ke atas.
Pada satu setting di novel ini diceritakan Mayor laurens Vlekke, seorang pensiunan tentara Belanda terbunuh pada saat pesta. Setelah pesta itu polisi mengumpulkan orang-orang yang terduga terlibat pembunuhan. Ada satu pribumi yang juga dimintai keterangan yakni kusir Mayor itu. Ketika masuk ke dalam gedung itu si kusir hanya duduk di lantai, itu terlihat dari petikan dalam novel ini, “Inspektur Hasselaar bersama ketiga pria itu berada di ruang bekas pesta dansa. Hanya kusir yang duduk di lantai. Kusir itu harus duduk di lantai karena pengelola De Harmonie tak ingin kursi bagus mereka ditindih oleh bokong inlander yang statusnya hanya kusir kereta kuda”. Jelas sekali terlihat dari birokrat belanda yang tak ingin ada persamaan diantara mereka dan kaum pribumi.
Watak birokrat inilah yang sepertinya menjadi warisan dan masih diterapkan saat ini. Hal itu bisa terlihat sekarang ini dimana acara-acara pemerintahan lebih bersifat protokoler dan cenderung tidak merakyat. Contohnya pada istana merdeka, yang bisa memasukinya hanyalah orang tertentu dan rakyat biasa hanya bisa berada tentunya juga sebagai pelayan tetap ataupun pelayan pada acara tertentu. Padahal untuk membuatnya pemerintah memakai uang rakyat. Disini terlihat bahwa watak kolonial Belanda ini memang telah menjadi warisan yang dijaga kelestariannya sampai sekarang.
Kemudian dalam hal pelayanan masyarakat novel ini juga menyentil sedikit perlakuan institusi pemerintah oleh para birokratnya dalam bidang kesehatan dan hukum. Telah menjadi pameo saat itu bahwa yang bisa mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit hanyalah orang Belanda dan kaum lainnya yang mampu membayar. Tentu saja banyak rakyat pribumi yang tidak bisa berobat ke dokter karena terhalang biaya. Pribumipun lebih memilih berobat ke dukun yang mungkin bisa dibayar dengan hasil pertanian. Hal ini terlihat dari celotehan pribumi kepada dokter Rafael Van der Berg yang jadi tokoh utama di novel ini, “Tapi Tuan berobat ke dokter mah katanya mahal pisan. Orang-orang kampung mah tidak ada uang buat berobat ke dokter. Mendingan ke dukun, bisa dibayar pakai pisang atawa kelapa. Kalau berobat ke dokter harus bayar pakai uang.” Sangat terlihat bagaimana mindset masyarakat saat itu masih menganggap bahwa institusi kesehatan hanya diperuntukkan bagi orang yang berpunya dan memang begitulah kenyataannya.
Dalam hal perlakuan hukum, birokrat Belanda melakukan pembedaan terhadap orang yang terlibat hukum. Dalam novel ini pembedaan itu terlihat kala seseorang masuk penjara. Terdapat perlakuan yang berbeda kepada kaum Belanda, Cina atau Arab, dan Pribumi. Untuk tahanan Eropa akan ditempatkan di lantai dasar sedangkan untuk pribumi ditempatkan di bawah tanah yang sangat miskin ventilasi dan pengap. Untuk kalangan pedagang Cina dan Arab akan disesuaikan. Apabila memiliki uang lebih akan ditempatkan bersama Eropa namun apabila tak punya uang akan ditempatkan sama dengan pribumi. Apabila ingin membesuk, pribumi juga akan mendapat kesulitan. Begitulah para birokrat Belanda membeda-bedakan seseorang di mata hukum. Kenyataan yang sungguh menyakitkan walaupun yang ditahan sama-sama manusia. Kenyataan ini memang tak beda jauh dengan apa yang ada pada zaman sekarang. Sudah rahasia umum apabila tahanan itu memiliki posisi dan materi akan diberikan fasilitas yang lebih baik daripada yang tidak bermateri. Banyak contohnya seperti Gayus Tambunan, Artalita, dan banyak lagi tahanan berduit lainnya yang bisa mengkondisikan hukum.

Dalam pengambilan keputusan terhadap satu masalahpun, para birokrat juga sering menetapkan keputusan yang memberatkan pribumi. Hal ini terekam pada saat Belanda yang merasa terancam oleh Negara fasis yang akan melakukan invasi di kawasan asia yakni Jepang. Untuk mengatasi keadaan ini Belanda harus bersiap untuk waspada apabila nanti terjadi perang. Dengan begitu Belanda harus mempunyai stok pangan yang memadai. Untuk mewaspadai ini Belanda malah mengambil kebijakan yang restriktif dengan memaksa para petani untuk harus menjual kebutuhan pokok kepada Belanda dengan harga yang murah, apabila melawan akan langsung dihabisi oleh tentara.
Dalam latar novel ini, wilayah Garut yang subur dipetakan untuk menjadi salah satu lumbung beras. Petani harus menanam padi. Jika ada tanaman lain dilahan yang subur, maka harus diganti dengan padi. Petani harus menjual empat pikul (@62,5 kg) padi untuk setiap bahu (@7096,5 m2) lahan sawah. Harga padi yang dijual kepada pemerintah akan ditentukan oleh pemerintah, dan petani harus menerima berapapun harga yang dibayarkan. Petani yang menolak menjual padinya kepada pemerintah akan dianggap sebagai pihak yang tidak mau membantu persiapan perang melawan fasis. Dan militer boleh melakukan tindakan terhadap para petani yang membangkang atas program cadangan pangan tersebut.
Terlihat jelas watak birokratis yang apabila berada dalam suatu ancaman, mereka malah mengambil keputusan yang memberatkan rakyat. Tampak kegagapan dan ketidakmampuan para birokrat untuk mencari solusi dengan cara lain. Begitulah umumnya sifat para birokrat pengambil keputusan. Apabila tidak disetujui maka akan dianggap pembangkang dan langsung menggunakan cara militer untuk tetap melanggengkan keputusan tersebut. Pada zaman sekarang, watak birokratis ini juga dapat dilihat. Contoh pada kenaikan BBM dimana pemerintah dengan dalih menutupi defisit Negara malah mengeluarkan kebijakan yang memberatkan rakyat. Nyata sekali bahwa pemerintah setelah merdekapun juga berbuat seperti penjajah.
Terakhir, watak birokratis yang terlihat dari pihak kolonial adalah pemanfaatan posisi atau jabatan untuk meraih keuntungan pribadi. Dalam novel ini tokoh Mayor Laurens Vlekke yang terbunuh merupakan representasi dari perangkat pemerintah yang memanfaatkan jabatannya untuk memeras rakyat untuk pundi-pundi kekayaannya. Hal ini terungkap dari kesaksian rekan bisnisnya Hendrick Van Rechteren.
“Saat pertama kali kami bertemu pangkat Laurens adalah letnan satu. Laurens menanyakan hasil bumi apa saja yang akan saya beli. Setelah itu, dia menyuruh saya menunggu saja di kota Garut. Dia yang yang mengupayakan membeli hasil bumi dari masyarakat, dan nanti saya tinggal membeli dari dia. Saya setuju karena hal itu lebih praktis.”
Hendrick juga menceritakan bahwa Laurens Vlekke menjadi kaya dari hasil bisnis jual beli kopi, the, tembakau, gula aren, dan beberapa macam lagi komoditi pertanian rakyat. Singkatnya, Vlekke menggunakan pangkat dan jabatannya untuk memaksa rakyat menjual hasil bumi kepadanya. Vlekke membeli dengan harga semaunya. Vlekke bahkan membangun gudang untuk menyimpan hasil bumi yang sudah dibelinya. Kemudian Vlekke menjual hasil bumi itu dengan harga yang berlaku di pasaran. Hendrick van rechteren menjadi pelanggan hasil bumi dari Laurens Vlekke. Hendrick mengekspor hasil bumi yang bagus dan berkualitas baik dan yang berkualitas standar dijual kepada kepada pedagang grosir di Pasar Senen dan Tanah Abang. Pada era saat inipun sudah tidak rahasia lagi kalau pejabat pemerintahan, wakil rakyat, tentara, dan aparat lainnyapun juga berlaku seperti Mayor Vlekke. Mereka menjelma menjadi cukong dan tukang beking untuk meraih keuntungan pribadi.
Itulah beberapa watak kolonial yang berperan sebagai pihak birokrat. Prilaku menindas ini diterapkan sebagai suatu pengukuhan kepada yang lain untuk terus menjaga kekuasaan. Dapat diambil beberapa poin contoh prilaku para birokrat. Mulai dari adanya pembedaan dan gengsi yang diperlihatkan pada kaum yang dikuasainya saat ada suatu prosesi, diskriminasi pelayanan kesehatan dan hokum, pengambilan keputusan yang memberatkan rakyat, dan juga pemenfaatan jabatan untuk keuntungan pribadi. Begitulah kekuatan sastra dalam mengungkapkan sesuatu. Walaupun novel ini bercerita tentang kisah cinta seorang Belanda dan seorang pribumi, namun disela-sela perjalanan kisah tersebut dengan gamblang sekali penulis menelanjangi kebusukan yang dilakukan oleh para birokrat kolonial.