Sunday, May 13, 2012

Madre: Melepas Penjara Kebebasan


Karya sastra memang tak hanya menghadirkan nilai estetika saja. Akan tetapi didalamnya juga disusupi nilai filosofis. Itulah mengapa sastra dan filsafat tak bisa dipisahkan satu sama lain. Filsafat sendiri merupakan upaya untuk melakukan pemaknaan hidup. Dalam bahasa sederhana, filsafat adalah ilmu tentang kehidupan. Untuk apa kita hidup? apa yang dilakukan untuk hidup, atuupun menjadi apa kita dalam hidup?. Tidak rumit sebenarnya. Semua perenungan itu akhirnya menghasilkan perspektif bahkan aliran dalam mengarungi kehidupan.
Di Indonesia sendiri, tentu saja terdapat karya sastra yang menawarkan filosofis tersendiri. Satu diantaranya adalah karya-karya dari penulis wanita, Dee Lestari. Banyak karya yang dilahirkannya menawarkan beberapa pandangan filosofis tersendiri kepada para pembaca seperti Supernova, Filosofi Kopi, dan lainnya. Karya terakhir Dee terbit 2011 berjudul “Madre” juga menghadirkan pembelajaran mengenai perenungan kehidupan. Di dalamnya Dee berusaha memberikan filosofi tersendiri mengenai kebebasan dimana tanpa disadari kebebasan juga bisa menjadi penjara sehingga menghilangkan substansi dari kebebasan itu sendiri.
Madre sendiri bercerita tentang seorang pemuda bernama Tansen yang tak pernah membayangkan akan mendapat warisan sebuah biang adonan untuk roti dari seseorang yang tak pernah dikenal sebelumnya. Dia menjadi ahli waris dari Tan Sin Gie, etnis Tiong Hoa. Tansenpun heran karena dia merasa tak punya darah Tiong Hoa. Usut punya usut ternyata Tan Sin Gie adalah kakeknya yang menikah dengan neneknya bernama Laksmi yang India. Biang “Madre” sendiri adalah buatan Laksmi dan Tan berwasiat untuk mewariskannya kepada keturunan langsung. Tansen yang baru mengetahui itu merasa hidupnya berubah sekejap karena yang dia tahu nenek dan ibunya meninggal dalam umur yang pendek. Tansenpun bertambah heran kenapa yang diwariskan hanya suatu biang adonan yang bernama  “Madre” dan juga wasiat untuk meneruskan usaha roti kakeknya tersebut. Disinilah letak pertempuran dalam batin Tansen yang berideologi hidup bebas dan tiba-tiba harus berhadapan dengan “Madre”.
Representasi kebebasan dapat dilihat dari simbol-simbol yang ada pada diri Tansen. Hal itu bisa meliputi penampilan, kehidupan atau pekerjaan, dan pernyataan-pernyataan dari Tansen itu sendiri. Dalam hal penampilan cerita ini menggambarkan Tansen yang memiliki rambut gimbal, celana sobek-sobek, dan hanya memiliki satu baju kemeja. Rambut gimbal merupakan simbol kebebasan ekspresi bagi sebagian anak muda. Hal ini biasanya dikaitkan dengan musik reggae yang juga merupakan musik kebebasan ala kaum rasta. Kebebasan itu terlihat dengan tidak mengikuti apa yang mapan atau apa yang dianggap layak dalam penataan rambut. Walaupun sebenarnya dengan berambut gimbal kita juga telah menghilangkan kebebasan kita sendiri dalam hal ini soal pembatasan ruang gerak dan perawatan yang meminta hal-hal tertentu. Kebebasan disini adalah hanya untuk tidak mematuhi pola norma masyarakat walaupun pada umumnya norma itu tidak secara tertulis dan sangsinyapun hanyalah sangsi sosial seperti dianggap aneh oleh orang-orang kebanyakan. Simbol lainnya yaitu celana sobek-sobek  dan baju kaus tanpa lengan juga merupakan suatu ikon kebebasan kaum muda dan suatu gerakan anti kemapanan terhadap sesuatu yang dianggap layak oleh persetujuan masyarakat secara tidak langsung.
Kemudian dalam hal kehidupan sendiri terkait dengan pekerjaan, Tansen memilih pekerjaan yang tidak terikat atau yang dia istilahkan dengan “Freelancer” dan dalam istilah Pak Hadi, teman kakeknya di toko roti, adalah “serabutan”.  Tansen berprofesi sebagai guide, ngajar surfing, desainer lepasan, dan penulis kadang-kadang. Terlihat pekerjaan yang dijalaninya memang pekerjaan yang tidak terikat pada siapapun kecuali pada konsumennya. Letak kebebassan dalam pekerjaan ini adalah tidak adanya atasan. Jadi tak ada tekanan baginya dalam mengerjakan sesuatu. Dia bisa saja bekerja kapanpun dia mau dan tidak untungnya memang apabila tidak ada project. Namun karena telah mendarah daging baginya, dia tetap bersikukuh untuk bekerja pada pola seperti itu. Dia benci rutinitas atau pola kerja yang sama dari waktu ke waktu.
Nuansa-nuansa kebebasan juga jelas terlihat dari nada-nada pernyataannya. Sangat terlihat dia menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dimana kontrol terletak pada diri sendiri dan selalu mencoba melawan pertimbangan orang lain. Memang salah satu substansi kebebasan adalah adanya suatu perlawanan. Hal itu terlihat apabila ada intervensi dari satu pihak. Hal yang sering dilakukan Tansen adalah selalu mempertanyakan sesuatu atau tidak setuju dengan sesuatu yang mengarah pada dirinya. Dalam cerita ini pada saat mendatangi pemakaman Tan Sen Gie saja, dia terus menggurutu dengan ucapan dalam hati seperti “Siapa dia?”, “kenapa aku?”, “keluarga? Kenalpun tidak”.
Ketika pertama kali dikenalkan kepada “Madre”, disinilah dimulai pergolakan antara nilai-nilai kebebasan yang dianutnya dengan kenyataan yang terjadi. Madre diperkenalkan Pak Hadi yang merupakan teman Tan Sen Gie dan orang yang bekerja pada toko yang namanya Tan De Bakker. Toko ini sudah tak beroperasi lagi di tengah menjamurnya bakery-bakery modern di Jakarta. Toko itu sendiri terlihat kotor di luarnya dan ditunggui oleh Pak hadi. Ketika Tansen tahu bahwa “Madre” itu hanyalah sebuah biang adonan, Tansen benar-benar merasa ini tidak logis. Jauh-jauh dia dari Bali untuk menjemput warisan yang hanya sebuah biang adonan. Jelas sekali disini dia tampak menganngap Madre bukanlah suatu yang penting dan jauh sekali dari pemikiran kebebasannya untuk menerima Madre. Itu terlihat dari pandangannya dalam cerita ini,
“Sejenak aku berharap adonan yang dipanggil madre ini akan berubah jadi bidadari cantik atau minimal membaca “selamat pagi”. Namun ia tetap diam membeku sebagaimana harusnya benda mati.  Telah kuseberangi lautan, demi seseorang yang tak kukenal, yang mewariskanku…adonan? Harus kutarik  semua otot humorku agar bisa mengapresiasi kelucuan ini. Dan rasanyta tetap tak lucu.”
Madre sangat berarti bagi pak Hadi dan orang-orang yang terlibat di Tan De Bakker. Nilai historis itu harus tetap terjaga agar tidak hilang. Tan Sen Gie mewariskannya agar roti beradonan biang Madre bisa berjaya kembali di tangan keturunannya Tansen. Namun Tansen tetap bersikukuh bahwa ini konyol tanpa memberi sedikitpun apresiasi. Tansen beralasan dia tidak bisa melakukan sesuatu yang berhubungan dengan makanan karena dia terlalu menjunjung tinggi nilai kebebasan yang dia punya dan menganggap pekerjaan pembuat roti bukanlah hal-hal yang bersentuhan dengan kebebasan. Disinilah letak keras kepalanya Tansen yang tak mau bernegosiasi dengan kenyataan yang dihadapi. Hal ini semakin mengindikasikan bahwa kebebasan yang dipujanya selama ini malah seperti memenjarakan dirinya sendiri sehingga dia selalu mengelak untuk sesuatu yang baru dan berada di depan mata. Karena pada intinya kebebasan juga tentunya mencoba hal yang baru. Kalau kebebasan itu tak bisa mencoba yang baru berarti kebebasan itu telah menjadi penjara. Tansen yang membuat kebebasannya itu menjadi penjara bagi dirinya sendiri.
Pembelaan-pembelaannya untuk tidak mau menerima Madre sangat mencerminkan kalau dia hidup di penjara yang bernama kebebasan dengan dalih-dalih yang terlihat dari pernyataannya ,“Pak ! saya nggak tahu apa-apa soal roti. Dan kenapa madre ini dari tadi disebut-sebut kayak orang? Kalau Pak Hadi bingung, dipanggang saja. Bagi ke anak-anak jalanan. Beres ! Saya rela !”. Pak Hadi terus berusaha meyakinkan bahwa “Madre” begitu berarti dan Tansenlah pelanjutnya, Tansenpun coba  memaklumi agak sehari sampai dia ditunjukkan oleh Pak Hadi cara memberi Madre pada roti dan mencicipi roti buatannya sendiri. Akan tetapi, hal itu hanya bertahan sementara setelah ada tawaran dari seorang gadis pengusaha waralaba bernama Mei yang kebetulan sering membaca blog Tansen dimana dia langsung tertarik ketika Tansen mem”posting” tulisannya mengenai keanehan Madre. Mei bermaksud untuk membeli Madre seharga seratus juta karena Mei tahu betapa berharganya biang dan sejarah Madre itu sendiri.. Tansenpun tergiur dan berpikir akan kembali pada kehidupan alam kebebasan yang telah dijalani sekian lama. Alasan-alasan yang untuk menjual yang disuguhkannyapun juga mencerminkan ketidakmampuannya menghadapi kenyataan dan sekali lagi cenderung terpenjara dalam kebebasan yang dianutnya. Hal itu bisa dilihat dari petikan dialognya bersama pak Hadi,
“ Saya bukan tukang roti Pak ! Ngulen adonan aja seumur hidup baru tadi pagi. Madre jauh lebih berguna di tangan orang kayak bapak atau Mei. Buat apa di saya? Buat jadi sarapan saya setiap pagi?”
“Tan kasih Madre buat untukmu karena dia punya maksud yang lebih besar. Tinggal kamu yang menentuken.”
“Hidup saya bukan disini. Saya nggak tertarik berbisnis. Saya nggak punya modal, dan saya nggak suka Jakarta” bisikku “tapi seratus juta ini riil, Pak. Besar artinya buat orang kayak saya.”
“bertahun-tahun kami meniunggu orang yang bisa menghidupkan tempat ini lagi. Kami piker orang itu kamu,” Pak Hadi menyahut murung.”Ya sudah. Terserah sajalah. Lupa saya. Madre itu hakmu.”
Tansen seakan-akan menciptakan penjara bagi dirinya sendiri, lebih hebatnya lagi penjara itu adalah kebebasan. Usaha Tansen untuk terus menjaga idealimenya akhirnya mentok juga ketika Pak hadi dan empat orang lainnya yang merupakan pekerja di toko itu berkumpul di pagi hari untuk suatu acara perpisahan dengan Madre. Tansenpun terpana melihat keberadaan mereka yang  rata-rata berusia di atas 70 tahun dimana seakan-akan Madre memang sesuatu yang berarti. Pak Hadipun menceritakan pada pekerja itu bahwa hanya Tansen dan Lakhsmi neneknya yang bisa mengulen adonan hanya dengan satu kali saja. Melihat orang-orang tua tersebut Tansen menjadi tidak tega. Berbagai stimulan membuat Tansen tak jadi menjual Madre pada Mei. Tansenpun akhirnya melanjutkan usaha Tan De Bakker dan Tansen juga menjadi pemimpinnya. Kepada Mei dia menawarkan kerjasama agar Outlet usaha Mei harus membeli stok dari Tan de Bakker.
Namun penjara kebebasan yang dibuatnya belum terhenti, itu terlihat dari beberapa ucapannya kepada para pekerja dan Mei. Contohnya seperti pada Pak Joko yang telah bekerja puluhan tahun di Toko itu “Bapak nggak bosan bekerja di satu tempat yang sama selama itu?”. Dari pertanyaan ini kita bisa lihat pretensi dari Tansen yang alergi pada pekerjaan rutinitas. Dia masih memandang tak ada kebebasan dalam tempat bekerja yang sama apalagi berpuluh-puluh tahun. Juga ketika Pak Hadi dan Bu Cory, salah satu pekerja, memujinya yang telah menghidupkan kembali Tan De Bakker. Tansen masih belum seratus persen menerima kenyataan yang terjadi walaupun terkesan hanya basa-basi seperti dalam dialog ini,
”Yang kami dibutuhkan took ini bukan modal Tansen. Kapanpun kami  mau bikin roti kami bisa. Kami butuh orang yang bisa memperkenalkan roti-roti macem yang kami punya ini ke orang-orang muda macem kamu dan Mei”.
 “Saya Cuma bantu sedikit, Pak. Saya nggak bakat memimpin.”
“Ternyata si Tan benar. Katanya ketika Madre diwariskan ke keturunan Lakshmi, pasti took ini jalan lagi,”
“Cuma kebetulan Bu. Saya ini nggak tau apa-apa kok. Madre saja taadinya mau saya jual.”
Setelah Tan De Bakker beroperasipun ternyata Tansen masih mengagung-agungkan kebebasan yang pernah dialaminya dengan mencari-cari kelemahan dari usaha yang telah dijalaninya. Dia merasa pekerjaan menjadi terlalu berat dimana dia harus bangun pagi-pagi buta dan juga dengan memanfaatkan ketuaan para pekerjanya. Dia merasa kasihan melihat para jompo yang bekerja keras tak sesuai dengan porsi fisiknya. Namun Mei meyakinkannya untuk terus maju Mei menawarkan untuk berinvestasi dengan menjadikan Tan De Bakery sebagai anak usahanya. Tampak betapa kebebasan versi Tansen telah menjadi racun yang telah larut dalam dirinya. Hal itu terlihat dalam percakapan ketika dia makan malam dengan Mei,
            “ Saya nggak bisa terikat,” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Sesaat kemudian aku tersadar baru saja curhat colongan,”Sori. Keceplosan.”
            “Satu-satunya yang saya ingin teruskan adalah kebebasan saya.”
            “kalau bebas sudah jadi keharusan, sebetulnya sudah bukan bebas lagi, ya?” cetus Mei kalem
Dalam dialog selanjutnya juga terlihat,
            Saya bukan siapa-siapa disitu. Saya nggak ngerti apa-apa..”
            “Sebenarnya ini masalah komitmen, kan?” sergah Mei, “Kamu merasa nggak pengin terikat dengan mereka? Tapi anehnya, kamu bela-belainmenemui saya gara-gara khawatir setengah mati sama kondisi mereka.”
            “Kalau saya peduli, bukan berarti saya mau menetap selamanya disitu,”sahutku cepat.
            “Apa sih yang menahan kamu di Bali?”
            Aku tergagap. Pertanyaan sama yang pernah ditanyakan oleh Pak hadi dan berulang kali kutanyakan dalam hati. Lagi-lagi, perempuan inilah yang berhasil mengantarkupada sebuah jawaban. Ternyata akulahyang mengikat kakiku sendiri.
            “Saya bisa jelasin A sampai Z rencana saya tadi Tansen. Tapi semua itu percumakalau kamu memutuskan pergi. Saya butuh kamu disini,” Mei menegaskan.
Akhirnya Mei yang berhasil melepaskan penjara yang bernama kebebasan itu dalam diri Tansen. Kadang memang cinta juga yang bisa mencairkan segala sesuatu. Ini merupakan suatu pengalaman hidup yang sangat bermakna. Terkadang kita begitu mengagungkan kebebasan atau hal yang berkedok kebebasan padahal sebenarnya adalah ketidakmampuan atau hanya sekedar gengsi. Dee Lestari sangat cerdik sekali mengolah suatu kisah filosofis yang memberikan suatu pencerahan yang tentu saja sangat berguna bagi dunia nyata. Kita dapat melihat bahwa ini juga mendorong semangat kewirausahaan bagi kaum muda khususnya di dunia usaha waralaba ini. Betapa banyaknya potensi yang dapat dirasakan daripada hanya terendam dalam air kebebasan yang malah memberatkan langkah kita sendiri.