Karya
sastra memang tak hanya menghadirkan nilai estetika saja. Akan tetapi
didalamnya juga disusupi nilai filosofis. Itulah mengapa sastra dan filsafat
tak bisa dipisahkan satu sama lain. Filsafat sendiri merupakan upaya untuk
melakukan pemaknaan hidup. Dalam bahasa sederhana, filsafat adalah ilmu tentang
kehidupan. Untuk apa kita hidup? apa yang dilakukan untuk hidup, atuupun
menjadi apa kita dalam hidup?. Tidak rumit sebenarnya. Semua perenungan itu
akhirnya menghasilkan perspektif bahkan aliran dalam mengarungi kehidupan.
Di
Indonesia sendiri, tentu saja terdapat karya sastra yang menawarkan filosofis
tersendiri. Satu diantaranya adalah karya-karya dari penulis wanita, Dee
Lestari. Banyak karya yang dilahirkannya menawarkan beberapa pandangan
filosofis tersendiri kepada para pembaca seperti Supernova, Filosofi Kopi, dan
lainnya. Karya terakhir Dee terbit 2011 berjudul “Madre” juga menghadirkan
pembelajaran mengenai perenungan kehidupan. Di dalamnya Dee berusaha memberikan
filosofi tersendiri mengenai kebebasan dimana tanpa disadari kebebasan juga
bisa menjadi penjara sehingga menghilangkan substansi dari kebebasan itu
sendiri.
Madre
sendiri bercerita tentang seorang pemuda bernama Tansen yang tak pernah
membayangkan akan mendapat warisan sebuah biang adonan untuk roti dari
seseorang yang tak pernah dikenal sebelumnya. Dia menjadi ahli waris dari Tan
Sin Gie, etnis Tiong Hoa. Tansenpun heran karena dia merasa tak punya darah
Tiong Hoa. Usut punya usut ternyata Tan Sin Gie adalah kakeknya yang menikah
dengan neneknya bernama Laksmi yang India. Biang “Madre” sendiri adalah buatan
Laksmi dan Tan berwasiat untuk mewariskannya kepada keturunan langsung. Tansen
yang baru mengetahui itu merasa hidupnya berubah sekejap karena yang dia tahu
nenek dan ibunya meninggal dalam umur yang pendek. Tansenpun bertambah heran
kenapa yang diwariskan hanya suatu biang adonan yang bernama “Madre” dan juga wasiat untuk meneruskan
usaha roti kakeknya tersebut. Disinilah letak pertempuran dalam batin Tansen
yang berideologi hidup bebas dan tiba-tiba harus berhadapan dengan “Madre”.
Representasi
kebebasan dapat dilihat dari simbol-simbol yang ada pada diri Tansen. Hal itu
bisa meliputi penampilan, kehidupan atau pekerjaan, dan pernyataan-pernyataan dari
Tansen itu sendiri. Dalam hal penampilan cerita ini menggambarkan Tansen yang
memiliki rambut gimbal, celana sobek-sobek, dan hanya memiliki satu baju kemeja.
Rambut gimbal merupakan simbol kebebasan ekspresi bagi sebagian anak muda. Hal
ini biasanya dikaitkan dengan musik reggae yang juga merupakan musik kebebasan
ala kaum rasta. Kebebasan itu terlihat dengan tidak mengikuti apa yang mapan
atau apa yang dianggap layak dalam penataan rambut. Walaupun sebenarnya dengan
berambut gimbal kita juga telah menghilangkan kebebasan kita sendiri dalam hal
ini soal pembatasan ruang gerak dan perawatan yang meminta hal-hal tertentu. Kebebasan
disini adalah hanya untuk tidak mematuhi pola norma masyarakat walaupun pada
umumnya norma itu tidak secara tertulis dan sangsinyapun hanyalah sangsi sosial
seperti dianggap aneh oleh orang-orang kebanyakan. Simbol lainnya yaitu celana
sobek-sobek dan baju kaus tanpa lengan
juga merupakan suatu ikon kebebasan kaum muda dan suatu gerakan anti kemapanan
terhadap sesuatu yang dianggap layak oleh persetujuan masyarakat secara tidak
langsung.
Kemudian
dalam hal kehidupan sendiri terkait dengan pekerjaan, Tansen memilih pekerjaan
yang tidak terikat atau yang dia istilahkan dengan “Freelancer” dan dalam
istilah Pak Hadi, teman kakeknya di toko roti, adalah “serabutan”. Tansen berprofesi sebagai guide, ngajar
surfing, desainer lepasan, dan penulis kadang-kadang. Terlihat pekerjaan yang
dijalaninya memang pekerjaan yang tidak terikat pada siapapun kecuali pada
konsumennya. Letak kebebassan dalam pekerjaan ini adalah tidak adanya atasan.
Jadi tak ada tekanan baginya dalam mengerjakan sesuatu. Dia bisa saja bekerja
kapanpun dia mau dan tidak untungnya memang apabila tidak ada project. Namun
karena telah mendarah daging baginya, dia tetap bersikukuh untuk bekerja pada
pola seperti itu. Dia benci rutinitas atau pola kerja yang sama dari waktu ke
waktu.
Nuansa-nuansa
kebebasan juga jelas terlihat dari nada-nada pernyataannya. Sangat terlihat dia
menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dimana kontrol terletak pada diri
sendiri dan selalu mencoba melawan pertimbangan orang lain. Memang salah satu
substansi kebebasan adalah adanya suatu perlawanan. Hal itu terlihat apabila
ada intervensi dari satu pihak. Hal yang sering dilakukan Tansen adalah selalu
mempertanyakan sesuatu atau tidak setuju dengan sesuatu yang mengarah pada
dirinya. Dalam cerita ini pada saat mendatangi pemakaman Tan Sen Gie saja, dia
terus menggurutu dengan ucapan dalam hati seperti “Siapa dia?”, “kenapa aku?”, “keluarga? Kenalpun tidak”.
Ketika
pertama kali dikenalkan kepada “Madre”, disinilah dimulai pergolakan antara
nilai-nilai kebebasan yang dianutnya dengan kenyataan yang terjadi. Madre
diperkenalkan Pak Hadi yang merupakan teman Tan Sen Gie dan orang yang bekerja
pada toko yang namanya Tan De Bakker. Toko ini sudah tak beroperasi lagi di
tengah menjamurnya bakery-bakery modern di Jakarta. Toko itu sendiri terlihat
kotor di luarnya dan ditunggui oleh Pak hadi. Ketika Tansen tahu bahwa “Madre”
itu hanyalah sebuah biang adonan, Tansen benar-benar merasa ini tidak logis.
Jauh-jauh dia dari Bali untuk menjemput warisan yang hanya sebuah biang adonan.
Jelas sekali disini dia tampak menganngap Madre bukanlah suatu yang penting dan
jauh sekali dari pemikiran kebebasannya untuk menerima Madre. Itu terlihat dari
pandangannya dalam cerita ini,
“Sejenak
aku berharap adonan yang dipanggil madre ini akan berubah jadi bidadari cantik
atau minimal membaca “selamat pagi”. Namun ia tetap diam membeku sebagaimana
harusnya benda mati. Telah kuseberangi
lautan, demi seseorang yang tak kukenal, yang mewariskanku…adonan? Harus
kutarik semua otot humorku agar bisa
mengapresiasi kelucuan ini. Dan rasanyta tetap tak lucu.”
Madre
sangat berarti bagi pak Hadi dan orang-orang yang terlibat di Tan De Bakker.
Nilai historis itu harus tetap terjaga agar tidak hilang. Tan Sen Gie mewariskannya
agar roti beradonan biang Madre bisa berjaya kembali di tangan keturunannya
Tansen. Namun Tansen tetap bersikukuh bahwa ini konyol tanpa memberi sedikitpun
apresiasi. Tansen beralasan dia tidak bisa melakukan sesuatu yang berhubungan
dengan makanan karena dia terlalu menjunjung tinggi nilai kebebasan yang dia
punya dan menganggap pekerjaan pembuat roti bukanlah hal-hal yang bersentuhan
dengan kebebasan. Disinilah letak keras kepalanya Tansen yang tak mau
bernegosiasi dengan kenyataan yang dihadapi. Hal ini semakin mengindikasikan
bahwa kebebasan yang dipujanya selama ini malah seperti memenjarakan dirinya
sendiri sehingga dia selalu mengelak untuk sesuatu yang baru dan berada di
depan mata. Karena pada intinya kebebasan juga tentunya mencoba hal yang baru.
Kalau kebebasan itu tak bisa mencoba yang baru berarti kebebasan itu telah menjadi
penjara. Tansen yang membuat kebebasannya itu menjadi penjara bagi dirinya
sendiri.
Pembelaan-pembelaannya
untuk tidak mau menerima Madre sangat mencerminkan kalau dia hidup di penjara
yang bernama kebebasan dengan dalih-dalih yang terlihat dari pernyataannya ,“Pak ! saya nggak tahu apa-apa soal roti. Dan
kenapa madre ini dari tadi disebut-sebut kayak orang? Kalau Pak Hadi bingung,
dipanggang saja. Bagi ke anak-anak jalanan. Beres ! Saya rela !”. Pak Hadi
terus berusaha meyakinkan bahwa “Madre” begitu berarti dan Tansenlah
pelanjutnya, Tansenpun coba memaklumi
agak sehari sampai dia ditunjukkan oleh Pak Hadi cara memberi Madre pada roti
dan mencicipi roti buatannya sendiri. Akan tetapi, hal itu hanya bertahan
sementara setelah ada tawaran dari seorang gadis pengusaha waralaba bernama Mei
yang kebetulan sering membaca blog Tansen dimana dia langsung tertarik ketika
Tansen mem”posting” tulisannya mengenai keanehan Madre. Mei bermaksud untuk
membeli Madre seharga seratus juta karena Mei tahu betapa berharganya biang dan
sejarah Madre itu sendiri.. Tansenpun tergiur dan berpikir akan kembali pada
kehidupan alam kebebasan yang telah dijalani sekian lama. Alasan-alasan yang untuk
menjual yang disuguhkannyapun juga mencerminkan ketidakmampuannya menghadapi
kenyataan dan sekali lagi cenderung terpenjara dalam kebebasan yang dianutnya.
Hal itu bisa dilihat dari petikan dialognya bersama pak Hadi,
“ Saya bukan tukang
roti Pak ! Ngulen adonan aja seumur hidup baru tadi pagi. Madre jauh lebih
berguna di tangan orang kayak bapak atau Mei. Buat apa di saya? Buat jadi
sarapan saya setiap pagi?”
“Tan kasih Madre
buat untukmu karena dia punya maksud yang lebih besar. Tinggal kamu yang
menentuken.”
“Hidup saya bukan
disini. Saya nggak tertarik berbisnis. Saya nggak punya modal, dan saya nggak
suka Jakarta” bisikku “tapi seratus juta ini riil, Pak. Besar artinya buat
orang kayak saya.”
“bertahun-tahun
kami meniunggu orang yang bisa menghidupkan tempat ini lagi. Kami piker orang
itu kamu,” Pak Hadi menyahut murung.”Ya sudah. Terserah sajalah. Lupa saya.
Madre itu hakmu.”
Tansen
seakan-akan menciptakan penjara bagi dirinya sendiri, lebih hebatnya lagi
penjara itu adalah kebebasan. Usaha Tansen untuk terus menjaga idealimenya
akhirnya mentok juga ketika Pak hadi dan empat orang lainnya yang merupakan
pekerja di toko itu berkumpul di pagi hari untuk suatu acara perpisahan dengan
Madre. Tansenpun terpana melihat keberadaan mereka yang rata-rata berusia di atas 70 tahun dimana
seakan-akan Madre memang sesuatu yang berarti. Pak Hadipun menceritakan pada
pekerja itu bahwa hanya Tansen dan Lakhsmi neneknya yang bisa mengulen adonan
hanya dengan satu kali saja. Melihat orang-orang tua tersebut Tansen menjadi
tidak tega. Berbagai stimulan membuat Tansen tak jadi menjual Madre pada Mei.
Tansenpun akhirnya melanjutkan usaha Tan De Bakker dan Tansen juga menjadi pemimpinnya.
Kepada Mei dia menawarkan kerjasama agar Outlet usaha Mei harus membeli stok
dari Tan de Bakker.
Namun
penjara kebebasan yang dibuatnya belum terhenti, itu terlihat dari beberapa
ucapannya kepada para pekerja dan Mei. Contohnya seperti pada Pak Joko yang
telah bekerja puluhan tahun di Toko itu “Bapak
nggak bosan bekerja di satu tempat yang sama selama itu?”. Dari pertanyaan
ini kita bisa lihat pretensi dari Tansen yang alergi pada pekerjaan rutinitas.
Dia masih memandang tak ada kebebasan dalam tempat bekerja yang sama apalagi
berpuluh-puluh tahun. Juga ketika Pak Hadi dan Bu Cory, salah satu pekerja, memujinya
yang telah menghidupkan kembali Tan De Bakker. Tansen masih belum seratus
persen menerima kenyataan yang terjadi walaupun terkesan hanya basa-basi
seperti dalam dialog ini,
”Yang kami
dibutuhkan took ini bukan modal Tansen. Kapanpun kami mau bikin roti kami bisa. Kami butuh orang
yang bisa memperkenalkan roti-roti macem yang kami punya ini ke orang-orang
muda macem kamu dan Mei”.
“Saya Cuma bantu sedikit, Pak. Saya nggak
bakat memimpin.”
“Ternyata si Tan
benar. Katanya ketika Madre diwariskan ke keturunan Lakshmi, pasti took ini
jalan lagi,”
“Cuma kebetulan Bu.
Saya ini nggak tau apa-apa kok. Madre saja taadinya mau saya jual.”
Setelah Tan De Bakker
beroperasipun ternyata Tansen masih mengagung-agungkan kebebasan yang pernah
dialaminya dengan mencari-cari kelemahan dari usaha yang telah dijalaninya. Dia
merasa pekerjaan menjadi terlalu berat dimana dia harus bangun pagi-pagi buta
dan juga dengan memanfaatkan ketuaan para pekerjanya. Dia merasa kasihan
melihat para jompo yang bekerja keras tak sesuai dengan porsi fisiknya. Namun
Mei meyakinkannya untuk terus maju Mei menawarkan untuk berinvestasi dengan
menjadikan Tan De Bakery sebagai anak usahanya. Tampak betapa kebebasan versi
Tansen telah menjadi racun yang telah larut dalam dirinya. Hal itu terlihat dalam
percakapan ketika dia makan malam dengan Mei,
“ Saya nggak bisa terikat,” kata-kata itu meluncur begitu saja dari
mulutku. Sesaat kemudian aku tersadar baru saja curhat colongan,”Sori.
Keceplosan.”
“Satu-satunya
yang saya ingin teruskan adalah kebebasan saya.”
“kalau
bebas sudah jadi keharusan, sebetulnya sudah bukan bebas lagi, ya?” cetus Mei
kalem
Dalam dialog selanjutnya juga terlihat,
“Saya bukan
siapa-siapa disitu. Saya nggak ngerti apa-apa..”
“Sebenarnya
ini masalah komitmen, kan?” sergah Mei, “Kamu merasa nggak pengin terikat
dengan mereka? Tapi anehnya, kamu bela-belainmenemui saya gara-gara khawatir
setengah mati sama kondisi mereka.”
“Kalau
saya peduli, bukan berarti saya mau menetap selamanya disitu,”sahutku cepat.
“Apa
sih yang menahan kamu di Bali?”
Aku
tergagap. Pertanyaan sama yang pernah ditanyakan oleh Pak hadi dan berulang
kali kutanyakan dalam hati. Lagi-lagi, perempuan inilah yang berhasil
mengantarkupada sebuah jawaban. Ternyata akulahyang mengikat kakiku sendiri.
“Saya
bisa jelasin A sampai Z rencana saya tadi Tansen. Tapi semua itu percumakalau
kamu memutuskan pergi. Saya butuh kamu disini,” Mei menegaskan.
Akhirnya Mei yang berhasil melepaskan
penjara yang bernama kebebasan itu dalam diri Tansen. Kadang memang cinta juga
yang bisa mencairkan segala sesuatu. Ini merupakan suatu pengalaman hidup yang
sangat bermakna. Terkadang kita begitu mengagungkan kebebasan atau hal yang
berkedok kebebasan padahal sebenarnya adalah ketidakmampuan atau hanya sekedar
gengsi. Dee Lestari sangat cerdik sekali mengolah suatu kisah filosofis yang
memberikan suatu pencerahan yang tentu saja sangat berguna bagi dunia nyata.
Kita dapat melihat bahwa ini juga mendorong semangat kewirausahaan bagi kaum
muda khususnya di dunia usaha waralaba ini. Betapa banyaknya potensi yang dapat
dirasakan daripada hanya terendam dalam air kebebasan yang malah memberatkan
langkah kita sendiri.