Sunday, March 17, 2013

Sastra, Seks dan Kematian

Published on RiauPos 03/03/2013,click link below to see
http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=1051&kat=2#.UUaRcXrHrMz

Setelah terbelenggu sekian lama, akhirnya katub-katub itu terbuka juga. Apa yang dianggap patut dan tak patut kerananya sudah terbuka. Menjelmalah sebuah dunia banal di mana titik pasti kebenaran itu bisa dipertanyakan dan diperdebatkan. Tak ada lagi singgasana superioritas yang bebas berkuasa mewacanakan segalanya. Apapun yang coba dikokohkan akan selalu ada titik baliknya dan celah untuk meruntuhkannya. Fenomena ini hampir menjalar ke segala penjuru lintas persoalan. Politik, ideologi, ekonomi, sosial, seni, budaya telah terecoki dalam kenihilan kemapanan.

Hal ini tentunya juga merambah ke sastra sebagai salah satu bidang seni. Berawal dari gerakan poststrukturalist, postmodernist dan post-post lainnya, terbitlah lembaran baru di mana setiap karya berhak merayakan pemikirannya tanpa batas dan dikotomi  posisi biner. Apa yang adiluhung, avant garde, aufklarung, sublim dan santun bukanlah menjadi suatu pasak mati dan tolok ukur. Sekarang setiap pengarang telah berhak mengusung setiap pergumulan ideologinya, apakah itu hitam, putih, abu-abu. Kiri, kanan, ataupun poros tengah.

Sastra Indonesia sendiri cukup lama juga terbelenggu dari katub-katub budaya yang mengidentikkan diri dengan ketimuran. Timur yang yang pasif dan menjaga hal-hal yang dikotakkan sebagi tabu. Mengenai masalah tabu ini, seks merupakan hal yang dominan dalam wacananya. Dalam ruang sastra sendiri apabila bergumulan dengan seks, maka itu akan dianggap tidak patut untuk budaya kita yang ‘timur’. Maka apabila ada karya seperti ini akan dicap sebagai karya seronok dan jorok, meskipun setiap manusia ingin melakukannya. Akan tetapi karya itu tetap beredar dan pengarangnya memang harus berani dan rela dicap sebagai pengarang murahan yang hanya pandai mengumbar seksual.

Seiring dengan pengaruh pemikiran segala post-post di atas dan reformasi yang juga patut dianggap sebagai titik tolak, para pengarang Indonesia telah berani membungkus tema seks dengan kedalaman yang lebih dan tak hanya mengumbar seksual, meskipun stigma masyarakat masih menilai dengan sama seperti sebelumnya. Nama Ayu Utami bisa jadi sebagai pionir dalam menawarkan citarasa dengan bumbu seksual dan perspektif yang lugas dan tidak menafikan diri dalam karyanya. Sontak saja perlawanan dan ketidaksepahaman juga datang menghadang. Hingga menimbulkan penilaian dan bahkan pelabelan sebagi sastra selangkangan. Meski ada resistensi politis, arus tak bisa dilawan, beberapa pengarang sampai sekarang ini tetap bergerilya dengan bekalnya ini. Beberapa nama seperti Djenar Maesa Ayu, Andrei Aksana dan yang terbaru saya membaca dari karya Adimodel.

Seksualitas Ala Adimodel
Persoalan seksual dalam sastra yang terbaru ada pada karya Adimodel berjudul Kinky Rain, di samping juga ada persoalan kematian yang juga secara kultural agak tabu juga untuk diperbincangkan. Nuansa seks dan kematian sangat kental sekali terasa dalam 10 cerita dalam buku ini. Seks di sini tampak bukan menjadi suatu bahan untuk mengumbar seksual belaka, di sana seks dianggap sebagi suatu fenomena yang kodrati melekat pada manusia. Seks bukan hanya persatuan dua kelamin dan lain-lainnya untuk sekedar nafsu ataupun fungsi reproduksi. Wacana seks oleh Adimodel dapat dikatakan maju selangkah karena tak hanya memaparkan relasi seksual pertemuan dua kelamin secara normal. Namun di sini bahkan lebih condong pada suatu seks yang terlihat menyimpang dari kacamata konstruksi seksual sosial. Ada fenomena rangsangan seksual, sextoys, incest, kekerasan seksual terhadap anak, sadisme, masokisme, dan yang lebih ekstrem adalah permainan seks dengan memancing kematian dengan imaji-imaji yang menakjubkan.

Seks ibarat magnet. Ia akan menarik yang dekat dengannya melalui rangsangan-rangsangannya. Kadang menjadi suatu dilema, menerima rangsangan malu, tapi menahan juga tak enak. Dalam cerita berjudul ‘’Titik Lingkaran’’ Adimodel mengajarkan suatu kejujuran seks. Cerita mengenai sepasang manusia yang menatap lukisan. Laki-laki di belakang perempuan. Tanpa memandang wajah, hanya dengan suara mereka berdua ereksi. Rangsangan seks sepertinya bukan sesuatu yang harus dinafikan. Ia menawarkan dan patut untuk direspon. Dalam cerita lain berjudul ‘’Kinky Rain’’ sendiri juga terjadi hal seperti itu. Bercerita tentang seorang penangkap cahaya yang bisa saja diartikan sebagai penangkap rangsangan seksual. Setelah menangkap maka hubungan seks mau tak mau harus dilakukan. Hal itu tidak hanya berlaku pada benda hidup, benda replikapun bisa menawarkan sensasi seks, seperti halnya sextoys dalam cerita berjudul ‘’kekasihku meledak’’. Sesuatu yang sebenarnya telah umum dalam variasi seks.

Ada juga fenomena incest yang secara umum diartikan sebagai persetubuhan sedarah adalah salah satu rekam dalam cerita Kinky Rain yang berjudul ‘’Bibir’’. Seorang ayah yang menyetubuhi anaknya merupakan suatu hal yang dianggap sangat biadab di Indonesia. Adimodel mampu memotret hal ini, lebih dulu dari kasus RI yang sekarang ini. Meskipun diiringi dengan kalimat seksual, jelas disini motif utama bukanlah umbaran seks. Ini jelas dengan lugas memperlihatkan kekejian perilaku seks itu sendiri. Salah satu petikan kalimat itu ‘’Setelah tangan itu puas bermandikan basah liurku, iapun mengelus-elus dan memulasi bibirku sambil berkata: jangan bilang ibumu’’.

Kekerasan seks terhadap anak memang bukan lagi menjadi hal yang baru. Anak sebagai sesuatu pihak yang dianggap lemah sering menjadi pelampiasan seksual. Potret ini juga ada di Kinky Rain dengan judul ‘’Van’’. Cerita mengenai anak jalanan yang mengemis di ibukota. Kehidupan yang keras membuatnya mengalami hal-hal yang keras yang tak sepatutnya dia alami. Dia korban dari teman-teman anak jalanan lainnya sebagai lumbung seks. Pengaruh lingkungan memang sangat berpengaruh di sini, dengan tidak adanya yang peduli terhadapnya. Dapat dilihat pada kutipan ini ‘’anak-anak laki-laki yang sedari tadi sudah tidak sabaran dalam hujan mulai mengrubungi Val. Tangan yang mencengkramnya menjadi bertambah banyak. Val menangis. Ia membalas cengkraman-cengkraman itu dengan sebuah tatapan lirih...Jangan terlalu keras seperti kemarin’’.

Wacana seks lain yang mengemuka dalam karya Adimodel adalah seks dengan sadisme dan masokisme. Sadisme merupakan jenis yang puas berhubungan seks dengan menyakiti sedangkan masokisme adalah yang puas dengan disakiti. Model ini dikenal dengan BSDM Bandage and Discipline, Sadism and Masochism. Dapat terlihat pada cerita berjudul ‘’Untie Me’’. Seks telah menjadi sesuatu yang tak dapat diukur lagi dengan logika, maka sudah sepatutnyalah variasi seks untuk diapresiasi. Si wanita yang senang disakiti disini ketagihan untuk disiksa dalam berhubungan seks. Dia pun berkata ‘’Hampir setiap hari ia melecutiku. Menamparku. Memukiliku. Hampir setiap hari dia dia memberikan ras sakit yang luar biasa. Tetapi aku membiarkannya. Aku menikmatinya. Aku bahkan mengundangnya datang’’.

Penyimpangan seksual lainnya dalam cerita Adimodel lebih ekstrim lagi yakni hubungan seksual dengan cara-cara mengundang kematian. Lebih rincinya adalah mencekik dalam bersetubuh. Istilah untuk hal ini adalah Autoerotic Asphixiation. Dalam cerita berjudul ‘’La Petite Mort’’ digambarkan kehidupan sepasang kekasih yang sudah sangat akrab dalam berhubungan seks sehingga menimbulkan satu titik jemu sampai akhirnya menemukan gaya mencekik, baik itu dengan lawan main ataupun dengan properti berupa tali untuk menggantung leher. Sensasi dirasakan pada saat sepertinya nyawa sudah mau melayang kemudian dilepaskan beriringan dengan orgasme. Pertama dalam cerita ini dilakukan dengan sang lelaki mencekik leher kemudian bervariasi sampai berada dikamar mandi. Sang laki bergantung dengan tali dengan tangan diborgol ke belakang dan mata ditup serta mulut disumpal. Penahannya adalah tingklik kecil, sementara perempuan di depannya yang akan menjauhkan tingklik dari kaki ketika mulai dan yang meletakkannya kembali setelah hampir nyawa tercabut dan orgasme. Ada juga dengan menggunakan kantung plastik yang menutup kepala.

Imaji Kematian
Kematian adalah sesuatu yang absurd untuk dieksplorasi mengingat takkan mungkin ada manusia yang bisa menceritakan pengalaman ini. Yang ada hanyalah rekaan dan bayangan subjektif personil. Imajilah yang mencoba bermain melalui perenungan ataupun konteks norma dan agama yang memberi sedikit banyak  gambaran. Dalam fiksi, beberapa pengarang telah mencoba me-reka fenomena kematian. Karangan populer dan cerita rekaan lainnya biasanya memberikan gambaran seperti adanya sesuatu khusus menjelang kematian dan adanya malaikat pencabut nyawa, contoh umum malaikat yang memegang senjata pencatuk. Dikarenakan absurd inilah sepertinya sastrawan menemukan suatu keasyikan dalam eksplorasi sketsa-sketsa yang belum terpecahkan ini.

Imaji dalam fenomena sebelum kematian ada dalam judul ‘’La Petite Mort’’. Seperti yang dijelaskan di atas, ini adalah permainan seks dengan kematian. Menjelang kematian terdapat bayangan-bayangan tertentu. Orang yang menjelang kematian tiba di suatu tempat ditemui orang yang telah mendahuluinya dimana biasanya orang itu punya satu kesalahan terhadap yang ditemuinya. Dalam cerita ini dia bertemu Ibunya yang dulu meninggal ditinggal sendiri dan peri kecil yang dulu merupakan benih yang digugurkannya. Karena sering dalam keadaan menjelang kematian, malaikat mautpun pernah berujar padanya untuk jangan bermain-main lagi dengan kematian. Dalam cerita lain berjudul ‘’1441'’ terdapat pula kronologis sang tokoh yang coba bunuh diri dari gedung tinggi, sebelum jatuh dia melihat dan berkomunikasi dengan orang-orang yang pernah disakitinya.

Kematian memang sesuatuyang tak dapat dihindarkan dan tak pernah kita ketahui kapan datangnya. Hal ini menyebabkan kita tanpa ada pilihan dan harus rela menikmati kematian. Namun dalam fiksi hal ini bisa dimodifikasi dengan imajinasi-imajinasi yang bebas dimiliki si penulis. Adimodel pada cerita ‘’Limbo 14'’ menghadirkan sketsa ‘’De Javu’’ kematian. Terdapat delapan cerita dengan keadaan sama dengan versi modifikasi kelanjutan cerita. Sketsa pertama adalah kematian pertama. Lanjut pada yang kedua dengan peristiwa yang sama namun tokoh di dalamnya mempelajari kematian yang pertama meskipun terus saja mati sampai sketsa yang terakhir. Penulis bukanlah bermain, namun tentu saja ada implikasi pesan yaitu tak bisa diubahnya takdir yakni kematian.***


Bayu Agustari Adha,
penulis esai, alumni Sastra Inggris UNP

Monday, February 11, 2013

Semarak Lokalitas dalam Sastra

Published on Riau Pos 03/02/2013, click this link below to see,
http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=991&kat=2#.URj3dXry7Mx

Bergerilyanya warna lokal dalam khasanah sastra Indonesia tak dapat dimungkiri lagi. Entah kapan persisnya kegiatan ‘massif’ ini dimulai memang memerlukan banyak data dan fakta. Akan tetapi sesungguhnya warna lokal tersebut sudah muncul sejak dimulainya periode sastra Indonesia, misalkan kawin paksa dalam roman Siti Nurbaya. Karya Marah Rusli ini meskipun dalam warna lokal namun mampu menciptakan cita rasa nasional atau mungkin di luar Indonesia sendiri meskipun pengaruh politik kolonial ada dalam produk Balai Pustaka ini. Namun reformasi paling tidak telah menjadi gerbang pembuka untuk karya-karya cita rasa lokal ini.

Sekarang coba kita lihat warna-warna lokal dalam sastra. Di satu sisi terdapat suatu demokrasi dalam sastra di mana setiap pengarang bebas merayakan semangat lokalitasnya. Namun di sisi lain juga terdapat pretensi penonjolan jati diri untuk diakui eksistensi. Kadang hampir mirip upaya Pemda/Pemprov yang mencari-cari atribut dan warna lokal untuk suatu komodifikasi. Dalam hal sastra sendiri warna lokal selain dari latar yang mengelilinginya juga terlihat dari idiom-idiom yang tidak ada atau diupayakan tidak ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia sehingga melahirkan catatan kaki yang bejibun. Budaya dan istiadat juga menjadi hal yang sangat dieksplorasi mengenai masyarakat itu sendiri. Sedangkan dalam segi tataran nilai selain terdapat upaya penonjolan identitas lokal juga terdapat upaya gugatan pada lokalitas itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari karya Suhunan Situmorang berjudul Sordam. Sebuah novel dengan warna suku Batak Samosir, Sumatera Utara.

Dari judulnya memang kita sebagai orang awam atau bukan orang Batak akan bertanya-tanya, Apa itu Sordam? Kata itu sendiri adalah suatu alat musik dari bambu yang lebih besar dari alat tiup bambu biasanya. Namun penggunaannya adalah untuk memanggil arwah untuk masuk ke dalam tubuh orang yang memainkannya agar bisa berbicara dengan orang yang menghendaki. Sordam dimainkan oleh orang pintar atau dukun dengan dilengkapi tetek bengek mistik yang lain seperti jeruk purut, gambir, kapur sirih, pinang, arang dan kemenyan. Dalam novel ini Sordam digunakan untuk memanggil tokoh utama Paltibonar yang belum diketahui hidup atau mati. Hal ini dilakukan demi kepastian untuk mengubur jasad ibu yang telah lima hari kaku namun masih menunggu Paltibonar yang tak ada kabar selama dua tahun. Sedangkan secara keseluruhan cerita Sordam sendiri adalah kisah seorang putra Samosir bernama Paltibonar Nadeak yang merantau ke Jakarta dengan segala lika-liku kehidupan yang akhirnya meninggal dalam kerusuhan Partai Banteng sebelum reformasi.

Dari segi bahasa tampak sekali warna lokalitasnya sehingga orang yang tak tahu bahasa Batak sedikitpun akan berkerut. Namun fokus penonjolan warna lokalitas sendiri kebanyakan hanya pada kata, hanya sebagian kecil sekali yang berbentuk kalimat. Warna yang sangat khas yang dapat dilihat dari novel ini ialah cara pemanggilan seseorang dan sebutan untuk seseorang sesuai dengan kedudukannya. Beberapa di antara panggilan itu adalah Namboru, Inangtua, Ompu, Nabolon, Inanta, Amani, Sintua, Amanguda, Amangtua, Ompung, Dahahang dan masih banyak yang lainnya digunakan dalam novel ini. Sedangkan contoh panggilan untuk suatu kedudukan seperti ‘Saurmatua’ untuk orang yang telah memiliki anak yang telah menikah semuanya dan apabila meninggal akan lebih dihargai karena berketurunan banyak adalah simbol kedigdayaan yang dikenal dengan istilah ‘Hagabeon’. Selain itu kata berwarna Batak terdapat pada nama benda dan peristiwa seperti Sordam itu sendiri, ulos dan berbagai macam jenisnya, uortor, gondang sabarungan, ogung, dan lain sebagainya yang dapat dilihat artinya di novel ini.

Dari segi tataran nilai ada suatu budaya yang ingin ditonjolkan sebagai manusia Batak dalam novel ini. Salah satunya adalah budaya merantau untuk menempuh pendidikan. Walaupun tujuan utamanya adalah untuk kehidupan yang lebih baik, namun dominannya Masyarakat Batak merantau untuk bersekolah atau kuliah. Berbeda dengan suku-suku lain seperti Minang yang umumnya untuk mencari rezeki dengan berdagang ataupun orang Jawa yang pergi untuk bekerja. Latar belakang merantau sendiri berangkat dari kondisi alam Samosir sendiri yang tidak begitu memberikan penghidupan bagi penduduknya. Di balik keindahannya Danau Toba tak pernah memberikan ikan yang berlimpah dan Pulau Samosir yang berbukit-bukit itu hanya cocok ditanami tanaman keras dan rumput ilalalang. Sehingga mau tak mau harus diupayakan kehidupan yang lebih baik, namun tidak dengan mencari penghasilan langsung, dibutuhkan suatu jembatan yakni pendidikan. Pentingnya arti pendidikan sendiri sebagai nilai bagi masyarakat Batak dipengaruhi oleh misionaris Jerman Nommansen yang selain meng-Kristen-kan masyarakat Tapanuli namun juga menanamkan nilai-nilai pendidikan melalui misi pencerahannya, tidak seperti misionaris negara lainnya yang hanya menganggap masyarakat Tapanuli sebagai objek ‘Gospel’nya.

Budaya orang Batak juga menjadi hal yang ingin digambarkan dalam novel ini. Menyangkut masalah pendidikan, budaya orangtua adalah mementingkan anaknya untuk bersekolah tinggi, tak peduli dengan apa akan dibiayai uang kuliah. Seperti pada tokoh utama Paltibonar yang orang tuanya hanyalah seorang petani bawang. Jika dilihat secara logika, takkan mampulah mereka membiayai, namun dengan perjuangan yang keras mereka tetap berhasil membiayai anak mereka. Dalam hal seksualitas, masyarakat Batak melihat itu sebagai hal yang tabu sekali. Apabila ada pembicaraan ke arah itu, maka akan dianggap tidak sopan. Apabila ada hamil di luar nikah merekapun menganggap itu sebagai aib dan tak bisa menikah di gereja HKBP. Dalam pernikahanpun seks bukanlah tujuan yang utama, karena yang menjadi hakikat pernikahan adalah untuk keturunan, pencarian nafkah dan adat. Sangat jarang kasus perceraian akibat ketidakpuasan seksual meskipun ada yang mengalami.

Di samping ingin menonjolkan nilai lokalitasnya, karya ini juga memuat gugatan terhadap warna lokalnya sendiri. Hal ini bisa dilihat dari resistensinya terhadap ritual adat dalam upacara kematian dan tata cara penentuan perkawinan. Juga terdapat kegelisahan terhadap situasi terkini dan profesi yang umumnya digeluti orang Batak yakni Pengacara. Dalam perlawanannya terhadap prosesi ritual adat yang telah berlangsung lama, tentu ini dipengaruhi oleh pendidikan yang lebih menanamkan rasionalitas dalam berfikir dan cenderung matematis. Hal ini menjadi simpul terbalik di mana akhirnya pendidikan yang didapat dan diidamkan oleh para orang tua akhirnya malah menjadi senjata yang akan mencoba mendekonstruksi tatanan adat.

Dalam upacara kematian sendiri terdapat narasi yang memperlihatkan sudut pandang narator bermakna sindiran atas peristiwa yang ada. Dapat dilihat dari kalimat ketika meninggalnya orangtua perempuan Paltibonar. ‘’(Orang-orang di kampung itu sebagaimana kebiasaan orang Batak Toba umumnya, selalu menyikapi kematian dengan raung tangis, tak jadi soal usia si mati)’’. Terdapat suatu sindiran terhadap masyarakat Batak yang terlalu menyikapi kematian dengan berlebihan, meskipun kematian adalah hal yang harus sangat dimaklumi, cukuplah ratapan dihadirkan dengan sekedarnya. Akan tetapi di kultur ini mengenal istilah ‘andung-andung’, peristiwa yang sepertinya telah menjadi prosesi yang berisi ratapan yang mendayu-dayu. Peristiwa ini seakan-akan telah disakralkan sebagai suatu proses tata cara menyambut kematian.

Selain itu narator juga melugaskan kalimat ‘’Ada pesta di tengah duka, ada suka cita di tengah berlinangnya air mata’’. Di sini jelas sang narator memberikan parodi terhadap peristiwa kematian itu. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyaknya tetek bengek dalam upacara kematian. Sebelum jenazah tiba, masyarakat sekitaran orang yang meninggal telah menyiapkan kerbau, babi, ayam, ikan mas, kayu bakar, kopi, gula, teh, beras yang dipesan dan dibeli. Hal ini dilakukan dengan dalil penghormatan karena yang meninggal telah berposisi sebagai ‘Saurmatua’, seseorang meninggal dalam keadaan di mana anak-anaknya telah menikah dan berketurunan. Hajatan ini akan dilakukan tiga sampai lima hari. Dalam hari-hari tersebut seperti dalam novel ini, Para pelayat wajib dijamu, pagi, siang, malam. Gelas-gelas kopi, teh, tuak, bir, akan terus dialirkan. Kedai-kedai kopi, pedagang rokok dan jajanan akan muncul di sekitar rumah duka. Belum lagi ‘tortor’ beriring ‘gondang sabangunan’ yang patutlah digelar, orang-orang yang mengasihi yang meninggal pantaslah menari sepanjang malam.

Tak hanya habis sampai di situ, adalagi upacara ‘’mangongkal holi’’ untuk menggali tulang belulang kakek nenek dan segenap keturunannya, diurut sejak tiga generasi di atasnya. Kesemua tulang belulang itu akan dikumpulkan dan masing-masing diletakkan dalam piring keramik Cina berlapiskan kain putih dan ulos sebelum dimasukkan ke peti mati berukuran kecil. Sesudah diupacarai tiga hari tiga malam, kesemua tulang dan tengkorak itu akan dimasukkan ke dalam bangunan tugu yang disebut ‘batu napir’ atau ‘tambak napir’. Gondang sabangunan dan tortor pun digelar dan tak lupa puluhan karung beras, lima ekor kerbau, 20 ekor babi besar, puluhan ekor ayam, berkrat-krat bir dan berbagai minuman beralkohol serta ringan telah disiapkan.

Dalam prosesi yang bagi Paltibonar adalah penggalian tulang ayahnya, dia menyiratkan nada tak sepaham dengan upacara itu. Dalam narasi diceritakan ‘’Ia merasa tak patut sisa-sisa tubuh yang telah kembali ke asalnya itu dipindahkan, dipisahkan dari daging yang sudah menyatu dengan tanah’’. Menurut Palti prosesi ini hanyalah suatu ajang memperlihatkan status sosial di mana orang-orang akan berlomba menghias tugu dengan berbagai arsitektur. Dalam pikiran Palti mengapa setelah mati itu diberikan semua, yang ketika hidup tak pernah mendapatkannya. Kegalauan dan kegelisahan ini juga menjadi warna sendiri dalam hal warna lokalitas di mana tak melulu lokalitas itu dibangga-banggakan namun ada juga upaya kritis untuk menggugat kemapanan yang telah ada.

Gugatan lain yang ada dalam novel ini adalah terhadap prosedur perkawinan yang memberatkan orang yang ingin menikah. Hal itu adalah yang dikenal dengan ‘Sinamot’ yang merupakan semacam mahar dalam perkawinan Batak. Diceritakan perkara temannya yang batal menikah hanya gara-gara ‘Sinamot’ tidak cocok jumlahnya dengan yang diinginkan. Ketidaksepahaman lain juga dialami oleh Paltibonar dalam hal penentuan jodoh di mana dia menemukan cinta seorang Jawa, namun orangtua lebih memilih untuk anaknya menikah dengan sesama Batak. Bahkan dalam cerita inipun Paltibonar akhirnya menikah dengan orang Inggris, akibatnya Ibunya meraung-raung akan ulahnya. Pada saat Paltibonar pulang pun setelah itu Ibunya tak menyambut dengan senang, bahkan tak ingin menyentuhnya.

Sementara itu kegelisahan sebagai orang beridentitas Batak juga dialaminya di dalam dunia kerjanya sebagai advokat. Tak dimungkiri lagi memang banyak pengacara di Indonesia ini berasal dari etnis Batak. Di sini Palti mengungkap kotornya permainan yang dilakukan oleh para advokat di mana hukum hanya bekerja atas legal fee seorang klien tanpa mengindahkan hukum nurani. Segala hal dilakukan untuk melindungi yang bersalah dengan mencari-cari celah dalam undang-undang yang ada. Tak hanya itu permainan juga dilakukan dengan ber-kongkalingkong dengan aparat hukum lain. Sementara bila ada kasus hukum yang tak mempunyai angka rupiah, para advokat seperti menutup mata untuk membela, dalam cerita ini kasus buruh.

Gugatan tak hanya diberikan pada suatu kebiasaan masyarakat Batak, namun juga pada kondisi terkini. Dia melihat telah banyak juga terjadi praktek kolusi dan korupsi di tanah kelahirannya. Mengenai kepala daerah yang semakin tak memperdulikan rakyat, di sini dengan contoh diizinkannya perusahaan pulp untuk membabat hutan Samosir. Kegelisahannya  dalam konflik sekte Protestan yang bahkan memisahkan para kerabat. Gundah juga dia melihat pola hidup anak Medan yang semakin elitis tanpa adanya persaudaraan. Jelas di sini terlihat gugatan yang dilakukannya bukan hanya terhadap sesuatu yang telah mapan di tanahnya, namun juga menggugat pada perubahan yang terjadi. Dalam kata lain ada hal kontradiktif, di satu sisi dia menggugat untuk adanya suatu perubahan dan di sisi lain menggugat karena telah berubahnya suatu keadaan.***


Bayu Agustari Adha
Lulusan S1 Sastra Inggris Universitas Negeri Padang. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa seperti Riau Pos, Padang Ekspres, Singgalang dan lainnya.

Tuesday, December 18, 2012

Teror-teror Paranoia (dari Cerpen Edgar Allan Poe)

 


Publish on Riau Pos 16/12/2012 click this link
http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=892&kat=2#.UNFNNawwKdc




NAMA Edgar Allan Poe tentu tak asing lagi dalam peta kesusastraan dunia. Ia dikenal sebagai Master Horror Gothic yang membuat pembacanya masuk pada ruang gelap yang menyajikan ketegangan dan misteri. Di saat sastrawan seangkatannya sibuk menelurkan karya-karya berpesan moral seperti Charles Dickens dan Mark Twain, ia malah menghadirkan warna baru dengan teror-teror psikologis dalam cerpen-cerpennya. Dalam genre misteri sendiri ia juga membuat suatu hal otentik dengan menekankan pada kegilaan karakternya, beda dengan Agatha Christie yang lebih fokus pada usaha pemecahan misteri.

Tabiat karakternya yang selalu menyimpan suatu kelainan psikologis membuat para pembaca takut dan sekaligus penasaran. Sehingga ketakutan itu sendirilah yang membuat kita ingin terus membalikkan setiap halaman ceritanya. Karya-karyanya yang terkenal seperti Tell-Tale Heart dan Black Cat adalah beberapa contoh yang menyajikan teror-teror paranoia. Teror yang selalu menghantui tokohnya sehingga membuatnya paranoid dan melakukan hal-hal di luar kewajaran. Meskipun terlihat terlalu sadis, namun ini merupakan suatu siklus psikologis yang bisa merasuk siapa saja. Cerpen di atas dan cerpen lainnya bisa dibaca pada Kisah-Kisah Tengah Malam terjemahan Maggie Tiojakin yang memuat 13 cerpen pilihan karya Edgar Allan Poe.

Dalam cerpen Tell-Tale Heart (Terjemahan: Gema Jantung yang Tersiksa) memuat cerita seseorang yang sangat membenci tatapan mata seorang lelaki tua, padahal lelaki tua itu baik padanya dan begitu juga sebaliknya. Namun karena mata yang seperti mata burung bangkai itu sangat menjijkkan baginya, dia berencana untuk membunuh laki-laki tua itu. Tujuh malam berturut-turut ia mengintai mata lelaki tua itu, namun tak bisa melihatnya karena sedang tidur. Di malam kedelapan saat dia mengintai dengan sangat hati-hati, lelaki tua itu terbangun dan satu jam tak beranjak dari posisi duduknya di atas ranjang. Hingga akhirnya si aku berteriak dan menghantamnya ke lantai dan membalikkan ranjang hingga menimpa lelaki tua itu sampai mati. Ia lalu mencincang mayatnya dan menyembunyikannya di bawah lantai kayu. Keesokan harinya, polisi datang untuk bertanya-tanya. Sementara waktu ia bisa menyembunyikan perbuatannya, namun lama kelamaan ia mendengar suara jantung lelaki tua itu dari bawah lantai. Keras dan semakin keras sehingga ia tak tahan lagi untuk mengakui pembunuhan dengan menunjukkan sendiri letak mayat yang membuatnya jijik itu.

Dari sekuel di atas bisa dilihat bahwa konflik dimulai dari ketaksukaannya terhadap mata lelaki tua itu. Kebencian itu terus dipelihara sampai menimbulkan rencana pembunuhan. Dari aspek psikologi dapat ditarik bahwa elemen id naluriahnya terus memaksanya untuk terus memuaskan hasrat kebenciannya. Ia tidak berusaha memfilter apa yang diinginkan oleh idnya tersebut. Tidak adanya mekanisme menghambat laju napsu naluri kebinatangannya membuatnya semakin liar. Saat eksekusi pembunuhan akan dilakukan, ada jeda waktu satu jam untuk mengelola tindakan yang akan dilakukan. Namun tetap saja saat pengambilan keputusan dia menuruti perintah id untuk melancarkan rencana. Konflik tindakan ini akhirnya benar-benar dimenangkan oleh sang id. Bisikan untuk membunuh ini tentu datangnya dari ketidakinginan untuk kembali melihat sesosok mata yang menjijikkan itu. Setelah itu sepertinya dia menyerahkan segalanya kepada perintah id untuk memutilasi mayat lelaki tua itu.

Gejolak pergolakan psikologis lainnya terjadi pada saat polisi datang keesokan harinya. Dalam menanggapi keberadaan polisi tersebut, si pembunuh berusaha untuk terus menyembunyikan. Di sini terlihat siklus psikologis yang masih dikuasai naluri alamaiah untuk menghindari sesuatu yang dianggap akan tidak menguntungkannya. Mekanisme pertahanan ini memang adalah sesuatu yang wajar mengingat elemen id dalam psikologi juga mendorong seseorang untuk tidak berada pada suatu keadaan yang akan merugikannya. Terlihat dia membuat alasan bahwa lelaki tua pergi liburan ke pedesaan. Alasan inilah yang menjadi senjata dalam upaya penghindaran tersebut. Si pembunuhpun mempersilahkan polisi untuk memasuki kamar lelaki tua itu.

Pada saat berada dalam kamar tersebut bersama tiga polisi, di situlah muncul teror-teror paranoia yang selalu menghantuinya. Polisi tak terlalu menginterogasinya dan hanya berbincang dengan santai. Namun apa yang dialami oleh si pembunuh tidak demikian, meskipun dia tetap berusaha untuk santai bersahaja. Beberapa saat kemudian dia mendengar suara detak jantung dari balik lantai kayu yang makin lama makin keras. Di sinilah efek dari paranoia yang dijangkiti olehnya, karena di antara gejala paranoia adalah adanya halusinasi yang hanya dirasakan diri sendiri. Jelas sekali suara detak jantung itu sendiri merupakan suatu halusinasi darinya, dari efek rasa bersalahnya. Hingga akhirnya diapun mengakui, meskipun polisi tak berusaha sedikitpun untuk mencurigainya dan mengatakan, ‘’Dasar penjahat!’’ teriakku lantang, ‘’Tidak usah berpura-pura lagi! Aku mengakui perbuatanku! Bongkar lantai ini!-sini!-di sini!-aku bisa mendengar denyut jantungnya yang menjijikkan’’.

Sementara itu dalam cerpen lainnya yakni The Black Cat (Terjemahan: Kucing Hitam) juga menceritakan hal dengan fenomena psikologis yang cukup mirip dengan cerpen di atas. Tokoh aku sendiri adalah seorang yang sangat mencintai binatang karena dia merasakan kenyamanan dengan binatang dikarenakan pergaulan sesama manusia yang tidak memuaskannya. Setelah beristripun dia akrab dengan binatang, yang favorit baginya adalah kucing hitam bernama Pluto. Seiring berjalannya waktu kondisi mentalnya mulai tidak stabil karena sering mabuk-mabukan. Akibatnya dia sempat melampiaskan kemarahannya pada istri dan binatang-binatangnya. Plutopun juga jadi sasaran setelah sekian lama dia mencoba menahan amarahnya. Sampai akhirnya Pluto diangkat dan dicekik lehernya kemudian dicongkel matanya serta digantungnya di pohon.

Setelah membunuh kucing itu, rumahnya kebakaran namun ada satu dinding yang tidak terbakar dan menurutnya ada ukiran yang mirip Pluto. Setelah itu dia selalu dibayangi oleh sosok Pluto. Suatu saat di Bar dia melihat kucing mirip Pluto dan langsung mengambilnya. Diapun memperlakukan dengan penuh kasih sayang layaknya Pluto dulu. Namun lama kelamaan dia juga benci kucing itu sampai suatu saat dia ingin membunuh kucing itu dengan kapak. Malangnya istrinya menghalanginya sehingga diapun tak terkontrol sampai akhirnya Kapak tertancap di kepala istrinya. Diapun menyimpan mayat istrinya di dalam dinding yang kemudian dilapisinya lagi dengan bata sehingga tertutup dan berbentuk sama seperti dinding. Namun dia masih heran di mana Pluto berada. Polisipun datang untuk sekedar bertanya keberadaan istrinya, karena para tetangga juga telah melakukan pencarian. Dia bisa menyembunyikan pembunuhan ini sampai akhirnya dia mendengar tangisan dari lapisan dinding dan akhirnya mengakui perbuatannya. Kucing hitam mirip Pluto berada di atas mayat istrinya.

Sekilas terlihat memang cerpen ini sama polanya dengan cerpen Tell-Tale Heart. Perbedaannya barangkali hanya dari latar belakang tokoh-tokohnya. Si narator dalam cerita ini sejak kecil memang telah mengalami kelainan psikologis. Dia kerap menjadi olok-olokkan temannya sehingga dia menemukan pelarian dengan bermain bersama binatang. Ini juga merupakan suatu gejala paranoia di mana kecendrungan untuk mengasingkan diri terjadi karena adanya anggapan dan kecurigaan takkan diterima oleh sosial. Rasa khawatir inilah yang terus menterornya sehingga menjadikan suatu pergaulan sosial dengan manusia untuk tidak menjadi pilihan. Kemudian berbeda dengan cerpen pertama yang memiliki sesuatu yang dibenci, dalam cerpen ini kebencian lahir dari adanya suatu kasih sayang. Si pembunuh yang telah lama mencintai binatang akhirnya menemukan antiklimaks di mana dia kemudian sangat membenci hal yang disayanginya. Pengaruh luar mungkin bisa dijadikan alasan di sini yakni pengaruh mental yang dirasuki alkohol. Jelas di sini dimendi Id telah menguasainya mengalahkan dimensi super ego yang memuat nilai-nilai mulia, di sini adalah kasih sayangnya pada binatang.

Seperti diketahui, binatang lainnya telah menjadi pelampiasan kemarahannya, namun untuk sang kucing hitam Pluto dia masih menahannya hingga akhirnya meledak dengan kejadian dia mencongkel mata si Pluto. Pelampiasan kehendak Id yang bersifat destruktif terus menguasainya sampai akhirnya dia menggantungnya. Namun setelah rumahnya terbakar dan melihat ukiran Pluto di dinding yang tidak terbakar, teror rasa bersalah terus menghantuinya. Ukiran Pluto tersebut jelas merupakan suatu halusinasi dari dirinya. Ukiran ini akan terus membuatnya menjadi paranoid karena bayangan itu terus menghantuinya. Akibatnya, dia berusaha untuk mencari wadah penebus rasa bersalah. Kucing yang dikiranya mirip Pluto diambilnya dan diniatkan untuk merawatnya dengan kasih sayang.

Akan tetapi sepertinya keakrabanlah yang menimbulkan kebencian karena lama-lama dia membenci juga kucing ini. Apalagi ditambah dengan adanya halusinasi tanda putih lingkaran di dada kucing itu yang dianggapnya sebagai tali gantungan Pluto. Kebiasaannya yang selalu memanjakan kehendak ingin menghancurkan membuatnya menyerah juga untuk ingin membunuh kucing ini, walaupun akhirnya yang terbunuh adalah istrinya. Istrinya yang disimpannya di balik dinding yang dibuatnya sendiri mungkin terasa janggal dan tidak logis. Namun apabila dianalogikan dengan binatang-binatang yang disiksanya, istri dan binatang merupakan dua korban yang sama. Di mana kebencian dilahirkan dari suatu keakraban dan kasih sayang. Tidak adanya rasa takut untuk membunuh istrinya adalah suatu perasaan superior yang dimilikinya karena istrinya memang tidak pernah sekalipun berlawanan dengannya.

Teror-teror yang membuatnya menjadi paranoid jelas sekali saat polisi datang rumahnya. Meskipun dia mencoba santai, namun usaha-usaha menyembunyikan perbuatan itu tak begitu kebal. Perasaannya yang seakan-akan ada yang akan membahayakannya menjadi umpan balik yang membuatnya tidak stabil saat dia mengetuk dinding di mana istrinya di dalamnya dengan tongkat. Dia mengatakan ‘’Kalimatku dijawab seseorang dalam dinding-seperti tangisan, suara itu awalnya menyerupai isak tangis anak kecil, yang lama-lama membengkak menjadi teriakan binatang atau setan’’. Teror yang menghantuinya membuatnya khawatir dan ketakutan sehingga tanpa sadar dia telah memperlihatkan perbuatannya. Edgar Allan Poe sepertinya tak hanya menyumbang untuk sastra dan psikologi tapi sepertinya dia juga memberi metode interogasi untuk pelaku kejahatan. Faktanya kita lihat memang banyak pembunuhan yang terjadi akibat oleh orang terdekat. Walaupun hidup satu abad lebih di masa lalu, tapi tampaknya pemikirannya telah melampaui zamannya.***


Bayu Agustari Adha
Adalah penulis sastra yang rajin menulis esai dan karya-karyanya dimuat diberbagai media, salah satunya Riau Pos.

Saturday, November 24, 2012

Menggugat Kemapanan dengan Sastra



 Published on Singgalang 18/11/12

Seperti kata pepatah, hidup itu adalah perjuangan. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari perjuangan fisik, politik dan diplomasi, sampai dengan perjuangan berbentuk tulisan pada media yang bisa memberikan pencerahan. Perjuangan berbentuk tulisan sendiri bisa juga menjadi dua cara, baik itu yang melalui tulisan jurnalistik non fiksi dan juga berupa karya fiksi. Dalam perjuangan jurnalistik non fiksi dapat melalui tulisan opini ataupun gagasan. Namun  kadang kala sering juga belum menghasilkan dan malahan sering dibungkam, maka karya sastralah yang seterusnya berbicara. Sehingga muncullah suatu slogan yang kira-kira berbunyi “Jurnalisme dibungkam, Sastra bicara”.
Disamping menghamparkan suatu cerita, sastra juga menyusupkan perjuangan melawan relasi kekuasaan yang telah menjadi mapan. Kemapanan kekuasaan ini coba digugat melalui asupan emosi yang hadir dalam tubuh sebuah karya. Kemapanan ini sendiri secara harfiah merupakan suatu narasi yang telah mendominasi sehingga berpretensi menjadi sesuatu yang dianggap layak. Namun apabila ditelisik lebih jauh, kemapanan itu sendiri menghadirkan ketidakadilan bagi pihak yang tersubordinasi. Perlawanan terhadap kemapanan disini bukan hanya terhadap struktur Negara, tapi lebih terhadap realita sosial yang telah hidup dan berkembang menjadi mapan di kalangan masyarakat. Hal inilah yang coba digugat oleh sastra.
Salah satu contoh karya yang didalamnya memuat beberapa gugatan adalah Novel “Saman” karya Ayu Utami. Novel ini bisa dijadikan suatu representasi yang coba menggugat segala kemapanan yang beredar di tengah kita. Kemapanan yang coba digugat diantaranya praktek kapitalisme dan relasi gender. Dalam hal praktek kapitalisme sendiri sesungguhnya terdapat suatu konspirasi busuk yang bermuara pada suatu kerakusan. Hal ini bisa dilihat dalam cerita yang menggambarkan proses berhegemoninya kapitalisme bidang energi oleh korporasi multinasional dan juga kapitalisme agraris. Sedangkan relasi gender yang coba digugat adalah konsesi kedudukan pria dan wanita. Pria berabad-abad mendapatkan posisi lebih kuat dan superior oleh tatanan masyarakat, adat dan agama.
Kapitalisme sendiri masih berdiri tegap menjadi sistem ekonomi yang dianggap layak dalam kegiatan ekonomi. Tak ada sistem lain yang mampu mengunggulinya untuk mencapai suatu kemakmuran materi. Namun dalam operasinya seperti diketahui dilakukan dengan berbagai cara. Bahkan sampai menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan karena ditopang oleh suatu kerakusan seperti pada praktek perusahaan energi multinasional. Dalam kisah Saman sendiri terdapat suatu konspirasi dalam praktek kapitalisme di bidang energi, khususnya eksplorasi minyak bumi. Terdapat suatu konspirasi busuk dalam mengeruk kekayaan alam ini.
Diceritakan adanya sebuah perusahaan bernama Texcoil beroperasi di sekitar laut Cina Selatan daerah kepulauan Natuna. Perusahaan dijalankan oleh orang Indonesia yang dipimpin oleh tokoh yang bernama Rosano. Dia merupakan anak pejabat di Kementrian Pertambangan. Konon jabatan ini didapat karena adanya konspirasi busuk antara pengusaha dengan pemerintah. Rosano diberikan posisi tinggi agar pemerintah memuluskan izin ekplorasi di kepulauan Natuna itu. Mengacu pada hal di atas, praktek kapitalisme sendiri rupanya tidak murni hanya dilakukan oleh pihak asing namun juga diiringi oleh kerakusan pribumi lainnya. Hal ini menjadi suatu perselingkuhan yang indah antara perusahaan dan pemerintah untuk mengeruk pundi-pundi materi dengan megangkangi keadaan rakyat.
Dalam perjalanannya, suatu setting memperlihatkan suasana kerja dimana rosano memaksa untuk melakukan analisa oleh pihak seismoclyse, namun Sihar yang mengepalainya menolak karena beralasan tekanan di bawah masih tinggi. Rosano terus memaksa dan bersitegang dengan Sihar hingga akhirnya Sihar dipecat secara sepihak, lalu menyuruh anak buah Sihar untuk mengambil tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan itu. Rosano memaksa, meski tekanan masih tinggi. Akhirnya terjadilah suatu ledakan yang menyebabkan Hasyim, salah satu pekerja meninggal. Inilah muara dari suatu kerakusan tadi dimana nilai kemanusiaan menjadi tak berarti. Rosanopun berusaha melakukan pembenaran dengan mengatakan bahwa itu adalah kecelakaan kerja. Kecelakaan itu wajar dan kewajaran tentu nantinya akan menjadi kebiasaan yang berpotensi untuk terus terjadi. Slogan “Safety First” hanya menjadi suatu “lips service”.
Praktek kapitalisme lainnya yang coba digugat adalah kegiatan ekonomi agraria. Praktek yang masih terus berlanjut sampai sekarang hingga menimbulkan berbagai konflik. Disini kapitalis juga beroperasi menggunakan perangkat kekuasaan yakni pemerintah. Dalam novel ini diceritakan kegiatan pengusaha dan pemerintah yang memaksa petani untuk mengubah komoditi pertanian dari bertanam karet menjadi bertanam sawit. Karakter yang ada disini adalah Saman yang merupakan pastor di daerah Perabumulih, Sumatera Selatan. Dia bergabung bersama petani dari desa sebelah yakni LubukRantau dengan menanam karet. Seiring dengan timbulnya Sawit sebagai komoditi yang menggiurkan, investor dan pemerintah memaksa petani untuk menanam sawit sehingga karet yang telah ditanam harus dibongkar menjadi sawit.
Pemerintah dan investor menuai perlawanan dari warga karena perjanjian hanya dibuat sepihak dan warga harus membubuhkan tandatangan atas pemakaian lahan mereka. Pergolakan terjadi dimana Saman memimpin perjuangan ini. Saman yang bukanlah penduduk Lubuk Rantau menjadi pihak yang ditenggarai menghasut warga. Karena perlawanan terus terjadi, pemerintahpun melakukan usaha paksa yang kejam dengan membunuh dan membakar perumahan warga. Samanpun disiksa setelah ditangkap. Diapun juga difitnah melakukan tindakan subversi terhadap pemerintah dan dituduh melakukan praktek kristenisasi.
Jelas sekali kelihatannya bahwa praktek kapitalisme di Indonesia dilakukan oleh dwitunggal pengusaha dan pemerintah dengan rakyat sebagai objeknya. Hal ini terlihat tak ada bedanya dengan apa yang dilakukan oleh Belanda. Cuma saja orangnya berbeda yang satu berkulit putih dan yang saat ini berkulit coklat. Hal ini terjadi tentu dilatarbelakangi oleh nafsu kebinatangan yang besar untuk keuntungan pribadi dengan melakukan penyimpangan kekuasaan oleh pemerintah. Sementara bila ada perlawanan maka akan dicap sebagai tindakan subversif sehingga para aparat merasa berhak untuk menindas warga. Pengusaha disisi yang sama selalu menganggap dirinya telah menciptakan kesejahteraan bagi rakyat dengan membuka lapangan kerja. Namun seringkali, rakyat hanya dijadikan seekor kuda untuk menanggung beban kerja demi keuntungan perusahaan. Dapat kita lihat sekarang disamping dampak lingkungan, dampak sosial juga tak terhitung dengan adanya korban jiwa akibat pemaksaan kehendak  yang didorong oleh nafsu kerakusan.
Relasi gender antara pria dan wanita juga mejadi salah satu kemapanan yang digugat oleh Ayu Utami dalam novel ini. Kemapanan paradigama yang mengsubordinasi kedukan pria diatas wanita telah menjadi tradisi dari masa ke masa. Tradisi superioritas pria ini dikembangkan oleh masyarakat dan nilai-nilai adat serta agama. Gugatan yang ada dalam cerita ini dapat dilihat dari karakteristik pada tokoh wanitanya. Laila yang mencintai Sihar meskipun Sihar sudah punya istri. Hal yang ditekankan disini adalah hak setiap wanita untuk mencintai. Selama ini wanita hanyalah sesuatu yang dicintai, dikasihi, dicumbui, dan di-di lainnya yang mengindikasikan suatu kepasifan terletak pada pihak wanita. Disini Laila mencoba untuk menjadi aktif dengan terus mencintai lelaki itu sehingga ada suatu pretensi untuk berubah menjadi subjek. Namun kelemahannya tetap saja ada yakni dia mau saja dibuat menunggu oleh Sihar.
Pada karakter lainnya, Shakuntala, juga memperlihatkan hal-hal bersifat perlawanan pada kemapanan posisi pria. Dia sangat membenci ayahnya yang dapat dirunut sebagai gugatan atas kekuatan laki-laki. Itu tak hanya dalam sistem yang ada di Indonesia, namun juga dalam sistem yang berkembang di Barat. Pada suatu setting Shakuntala begitu jengkel dengan keharusan untuk memakai nama Ayah dalam penulisan nama di Passport, sampai-sampai dia menghentikan niatnya ke luar negeri seperti dalam dialog ini,
“Nama saya Shakuntala. Orang jawa tak punya nama keluarga”
“Anda memiliki ayah, bukan?”
“alangkah indahnya kalau tak punya”
“Gunakan nama ayahmu,” kata wanita di loket itu.
“Dan mengapa saya haru memakainya?”
“Formulir ini harus diisi.”

Dapat terlihat ternyata peradaban barat yang majupun masih mempraktekkan ideologi patriarki yang berpusat pada laki-laki. Ini bukan suatu tindakan kekurangajaran terhadap orang tua, namun ini adalah suatu kerangka sosial yang perlu dicermati. Ini adalah suatu bom waktu saja dari dominasi laki-laki terhadap pria sehingga memunculkan perlawanan. Shakuntala juga jengkel dengan adat Jawa yang ketika menikah mengharuskan istri untuk mencuci kaki suami sebagai sembah bakti istri yang dia pikir sebagai sebagai suatu kepatuhan dan ketidakberdayaan wanita.
            Sementara itu karakter lainnya yakni Yasmin, pada satu sisi dia tetap berlaku sesuai pandangan social terhadap wanita. Dia berkeluarga dan menikah dengan adat Jawa. Namun disisi lainnya dia juga membalikkan apa yang selama ini dianggap kodrat kepada wanita. Yasmin melakukan “Agresi” kepada Saman. Apa yang dilakukannya merupakan suatu titik balik dalam relasi pria dan wanita. Dia menunjukkan prilakunya sebagai subjek yang menginginkan dan bukan objek yang diinginkan. Dia tak terbelenggu aturan sosial dimana pria harus memulai terlebih dahulu. Kejadian ini terjadi pada saat Yasmin menolong Saman untuk pergi melarikan diri ke luar negeri, sebelum pergi Yasmin menaklukkan Saman untuk melakukan hubungan intim. Memang terlihat agresif namun apa yang dilakukan merupakan suatu kesadaran manusia atas apa yang diinginkan tanpa harus dikepung oleh konstruksi sosial. Samanpun menerima dan menikmati apa yang diperlakukan terhadapnya oleh Yasmin dan selalu merindukan Yasmin melakukan hal itu lagi, seperti di pesan-pesan email mereka:
JAKARTA, 20 JUNI 1994
   Saman,
   Taukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmatimu ketika ejakulasi. Aku ingin datang kesana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.

NEW YORK, 21 JUNI 1994
   Yasmin,
   Ajarilah aku. Perkosalah aku.

            Begitulah karya Ayu Utami, penuh dengan gugatan sehingga emosi kian terasa dalam aroma perlawanan. Setelah karya ini menang pada Sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 1998, banyak pihak mengatakan bahwa Ayu Utami telah menguak suatu gaya penulisan yang sangat menggugah. Sementara itu disisi lain ada juga yang menganggapnya sebagai kelompok “Sastra Selangkangan”. Perlu ditekankan disini bahwa apa yang disampaikannya adalah suatu gugatan yang tajam dan bukan suatu vulgarisme, yang ada adalah suatu kelugasan.

Thursday, November 1, 2012

Satir Imajiner dalam Sastra

 Published on Riau Pos 14/10/2012
 just click link below,
http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=728&kat=2


 Pada tataran tertentu sastra dianggap sebagai suatu refleksi kehidupan seperti apa yang dipandang oleh Plato. Makanya Plato sendiri agak merendahkan sastra karena kalau sastra adalah refleksi maka itu adalah mimesis lapis ketiga. Itu terjadi karena dia menganggap bahwa kehidupan ini adalah suatu refleksi dari ide. Maka dari itu jikalau kehidupan sendiri adalah refleksi dari ide, jadi sastra mengalami dua kali tingkat turunan mimesis.

Bermula dari ide turun ke kehidupan, dan barulah bergenerasi kepada sastra sehingga ibarat penyaringan, akan terdapat unsur-unsur yang tereliminasi. Namun faktanya apa yang terjadi dengan dunia sastra tidak menunjukkan hal yang demikian. Banyak diantara karya sastra tidak melulu merupakan refleksi utuh kehidupan, namun juga dibumbui imajinasi dan beragam gaya para penulis. Rasanya mendekati tepat pula apabila kita mengikuti murid Plato sendiri yang menyatakan bahwa sastra adalah sebuah representasi.

Sastra sebagai representasi berarti bahwa apa yang ada pada sastra adalah suatu wujud perwakilan dari kehidupan nyata. Dia tidak sama persis dengan kehidupan nyata, tetapi mengambil bahan dari kehidupan nyata lalu diramu oleh seorang sastrawan. Hasilnya karya-karya yang dihasilkan salah satunya berbentuk imajinasi yang berakar pada kehidupan nyata. Secara kasat mata mungkin apa yang disajikan tidak logis untuk dicerna, namun hal itu merupakan gaya tersendiri di mana sastra tak utuh untuk menyentuh logika tapi yang utama adalah menyentuh emosi. Karya-karya imajinatif itulah yang menjadi representasi dari kehidupan dan bukanlah rekaan si pengarang. Salah satu tujuannya juga untuk memberikan satir atau sindiran atau olok-olokan terhadap suatu hal yang menjadi perhatian si pengarang. Pada umumnya di Indonesia saat ini genre sastra cerpenlah yang sering menggunakan hal ini. Upaya pengungkapan satir yang imajinatif dapat kita lihat pada karya-karya cerpen Agus Noor dalam bukunya berjudul Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia.

Agus Noor memang dikenal sebagai cerpenis mapan Indonesia. Karya-karyanya yang bersifat imajinatif tersebut memang sangat menggelitik melalui penjelajahan gaya yang dilakukannya. Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia ini sangat terlihat jelas betapa nakalnya Agus Noor bermain dengan imajinasi. Bagian pertama yang hadir dalam buku ini berjudul ‘’Empat cerita buat Cinta’’. Cerita pertama berjudul ‘’Pemetik Air Mata’’. Awalnya Agus Noor menjelajahi penceritaannya mengenai asal-usul adanya peri pemetik air mata manusia. Setelah lika-liku cerita imajinatif mengenai hal itu, tibalah akhirnya bahwa air mata-air mata itu dicuri dan telah dijadikan bahan dagangan oleh para pedagang asongan. Sandra, tokoh yang ada dalam cerita tak mempercayai ini karena dia tak melihat peri datang setiap dia dan ibunya yang seorang pelacur menangis. Mama Sandra selalu marah melihat Sandra menangis. Sandra kemudian juga mempunyai anak. Nasibnya lebih baik dari ibunya yang pelacur. Sandra adalah wanita simpanan yang beroleh anak. Anaknya mengetahui adanya peri pemetik air mata itu dan juga membeli air mata itu dari pedagang asongan dan Sandra tidak menyukainya.

Secara kasat mata memang kisah ini tidak masuk akal sama sekali. Mulai dari cerita peri yang entah ada atau tidak sampai pada cerita dijualnya air mata. Namun menarik untuk ditelusuri unsur satir yang ada dalam cerita ini. Air mata merupakan suatu yang identik dengan kesedihan. Dengan air mata, sesuatu yang tidak dapat terselesaikan dapat hilang dengan mencucurkan air mata. Intinya adalah air mata adalah kebutuhan manusia dan telah menjadi takdir bagi manusia untuk menangis menitikkan air mata. Berhubungan dengan konteks cerita bisa dipahami bahwa satir yang hadir adalah suatu sindiran terhadap kehidupan nyata yang telah akrab dengan kesedihan dan kepedihan hidup. Itu terlihat dari apa yang dialami Sandra, ibunya, dan anaknya. Kesedihan terjadi tentu ada sebabnya yang tak lepas dari lingkungannya. Tetapi apa yang dilakukan Sandra dengan melarang anaknya membeli air mata itu adalah suatu upaya kemunafikan dalam menafikan kodrat manusia sebagai makhluk yang berteman dengan kesedihan. Sandra tidak ingin menunjukkan kesedihan yang ada dan memilih untuk terus hidup dalam kebohongan seperti yang dilakukan kepada anaknya dengan menyembunyikan kenyataan bahwa papanya adalah suami orang.

Satu hal lagi satir yang ada bisa dikupas dengan membaca fenomena mengapa air mata itu telah menjadi barang dagangan. Hal ini menandakan bahwa memang saat ini kesedihan juga telah menjadi suatu komoditas. Itu terlihat mulai dari yang beroperasi secara jelas dan yang abstrak. Yang beroperasi dengan jelas adalah seperti para pengemis yang menjual kesedihan dan kemelaratan untuk memperoleh uang. Banyak juga diantaranya yang memperlihatkan bagian fisik yang terlihat menyedihkan untuk memperoleh simpati agar dikasihani. Kemudian menjual kesedihan sebagai komoditi dalam bentuk abstrak bisa dilihat dari populernya cara-cara menarik simpati oleh berbagai pihak. Contohnya program televisi yang mengekspos kesedihan sebagai produknya dan ada juga yang menarik simpati dengan kisah hidupnya dahulu yang menyedihkan agar karya atau produknya terjual. Jadi, hakikatnya mereka menjual kesedihan untuk menarik simpati, bukan menjual produknya melalui kualitasnya.
Cerita kedua di sini berjudul ‘’Penyemai Sunyi’’ menceritakan seorang laki-laki yang menemui rumahnya di mana keluarganya semuanya terbunuh. Saat itulah dia melihat setangkai sunyi yang ada di halamannya sambil terus membayangkan kenangan bersama keluarganya.

‘’Setangkai sunyi yang cemerlang dengan perpaduan warna-warna yang paling rahasia membuatku tergetar dan bertanya-tanya’’. Begitulah gambaran keindahan yang dilukiskan lelaki itu. Sebelum pulang dia membayangkan istrinya akan membukakan pintu dan menyiapkannya kopi hangat dan anak-anaknya yang masih belajar ataupun menonton TV. Dalam renungan diapun masih merasakan seakan-akan ada suara istrinya dan anaknya dari dalam memanggil masuk, namun itu hanya ada dalam kenangan. Setelah itu setangkai sunyi yang berbentuk bunga itu terus tumbuh mekar dan besar sehingga memukau banyak orang, namun ketika ditanya orang dia selalu menjawab bahwa itu adalah setangkai kesunyian.

Cerita ini bersifat filosofis melalui perenungan yang dilakukannya. Satir yang ada di sini bisa dimaknai sebagai suatu fase kehidupan di mana manusia harus melalui suatu masa kesunyian. Kesunyian itu dimaknai sebagai suatu akibat dari tindakan manusia yang telah lupa akan anugerah sosial, dalam hal ini adalah keluarga. Karakter semasa hidupnya tak memanfaatkan waktu kebersamaan dengan keluarganya. Dia yang selalu pulang malam membohongi istrinya dan dia yang menganggap remeh kehadiran dari anaknya. Akhirnya dia mengalami kehampaan tanpa mereka semua.  Hanya kesunyian yang akan hadir apabila waktu yang telah ada tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Namun hal menarik yang dihadirkan oleh Agus Noor adalah metaphor bunga sebagai lambang kesunyian. Apa yang mendasari ini? Ini merupakan suatu hal yang berbeda lainnya di mana biasanya bunga dianggap sebagai suatu hal yang menggambarkan keindahan dan bukanlah kesunyian. Mungkinkah ini sebagai perlawanan simbol pada pemahaman umum orang-orang bahwa bunga perlambang dari kegembiraan karena hidupnya warna yang dimilikinya? Apakah manusia telah salah kaprah atau manusia yang hanya melihat kulit luar dari sewujud bunga yang sebenarnya di dalamnya adalah tawaran kesunyian? Interpretasi bisa berbeda di sini.

Cerita ketiga dengan judul ‘’Penjahit Kesedihan’’ menceritakan fenomena tukang jahit dalam suatu kota. Dulu banyak gerombolan tukang jahit datang menjelang Lebaran dan semua orang gembira. Lebaran tak lengkap tanpa menjahitkan pakaian pada para penjahit itu. Setelah beberapa lama, penjahit itu semakin berkurang oleh imbas modernisme. Akhirnya merekapun menyingkir ke pinggir kota. Tak lama kemudian merekapun juga hilang satu per satu oleh zaman. Namun masih ada satu penjahit yang masih bertahan. Ceritanya dia tak hanya bisa menjahit pakaian tapi juga bisa menjahit kesedihan menjadi kebahagian karena memiliki jarum yang diakuinya didapat dari Nabi. Lama kelamaan banyak saja orang yang datang kepadanya untuk menjahit kesedihan sampai antriannya sepanjang ujung cakrawala ini.

Unsur satir yang dapat dilihat dari karya imajinatif ini pada mulanya adalah fenemona tersingkirnya kaum tertentu oleh suatu modernisme. Masyarakat tak menyukai lagi hal-hal yang berakar dari masyarakatnya sendiri melainkan menyukai hal yang lebih modern dan materialistis. Ini merupakan satir dan balada terhadap kesedihan yang dialami oleh para pencari nafkah tradisi kita yang harus tersingkir oleh peradaban modern yang tak kenal kasihan. Selain itu, dapat dilihat di sini pertukaran pola pikir masyarakat yang telah menjadi lebih instan dan tidak mempertimbangkan proses dalam menilai suatu hal. Dulu mereka dengan setia melihat bagaimana setiap penjahit meliuk-liukkan jarumnya, tapi sekarang mereka lebih suka beli barang yang langsung jadi di mal dan butik. Namun ketika manusia telah merasakan keanekaragaman material tersebut, mereka suatu saat juga menjadi hampa sehingga tak mendapatkan kebahagian sehingga menjamurlah orang-orang yang mencari kebahagiaan untuk menjahit kepedihannya. Inilah suatu fenemona yang disebut kehampaan spiritual karena hidup didunia yang materialistis. Ketika mereka telah memiliki semuanya, mereka tak juga bahagia karena masih merasa hampa karena kosongnya jiwa. Hal ini disebabkan tidak adanya kegiatan spiritual. Kegiatan melihat penjahit melakukan jahitannya pada masa dulu bisa jadi suatu analogi kegiatan spiritual sehingga ada suatu kenyamanan dalam hati pada saat melakukan atau menyaksikan.

Cerita keempat dalam bagian cerpen ini adalah ‘’Pelancong Kepedihan’’. Di sini diceritakan fenomena pelancong dari luar yang berwisata untuk menyaksikan kesedihan pada suatu kota. Di sana para pelancong sangat terkagum-kagum melihat kesedihan dan kemelaratan yang ada karena tidak merasakan dan melihat hal tersebut di negerinya. Mereka membawa bekal dan beberapa persediaan dokumentasi. Mereka mengambil foto apa saja yang dilihatnya dan kadang-kadang mereka juga berfoto dengan penduduk setempat yang tertlihat menyedihkan. Konon pula foto itu juga dijadikan perangko yang dibanggakan sebagai bukti mereka pernah ke kota kepedihan. Salah satu hal yang membuat para pelancong tertarik adalah dimana kota ini dibangun untuk keruntuhan. Maka ketika bumi di kota ini tanahnya bergerak, para pelancongpun langsung bereaksi memperlihatkan ketertarikannya dengan apa yang terjadi.

Tentu saja imajinasi ini akan terasa tidak logis. Namun intensitas yang dibangun tentunya bukan bertujuan untuk membujuk logika, namun lebih kepada upaya untuk menyentuh perasaan. Hal ini dilakukan dengan pembuatan realita cerita yang hiperbola. Agus Noor juga memainkan bayangan diluar lingkaran yang ada untuk memberikan satir atas apa yang menjadi fenomena bagi Indonesia yang sering mengalami keruntuhan. Mulai dari keruntuhan secara fisik sampai dengan keruntuhan secara moril. Indonesia sebagai bangsa yang akrab dengan bencana akhir-akhir ini memang telah menyerap perhatian Internasional. Maka banyaklah orang asing yang berdatangan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Apakah pelancong yang disangkakan oleh Agus Noor adalah sejumlah lembaga pemerintah ataupun NGO asing yang berkunjung dengan kedok kemanusiaan. Sejumlah kejadian telah memperlihatkan hal tersebut, seperti tsunami Aceh, gempa Jogja dan gempa Padang. Memang terkesan terlalu verbal untuk menuduh mereka sebagai pelancong di dalam cerita. Namun kembali lagi kita menilik pada hakikat sastra sebagai suatu representasi suatu realita. Sastra tidak menuduh, akan tetapi adalah mencoba untuk menggugah pembaca melalui imajinasi yang ada sehingga dapat menjadi pegangan ataupun suatu antisipasi.***


Bayu Agustari Adha
Penulis yang rajin membaca karya-karya baru serta menulis esai. Bayu adalah Tutor Bahasa Inggris di EasySpeak.

Saturday, October 6, 2012

Sastra dengan Karakter Bukan Manusia

Published on Riau Pos 30 September 2012, click link below
http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=690&kat=2

UNSUR dalam sastra yang berperan penting adalah karakter. Dalam penyajian sebuah karya sastra khususnya fiksi, karakter tersaji dengan sudut pandang tertentu. Inilah yang nanti akan jadi narator sebuah fiksi. Ada beberapa sudut pandang yang disediakan dalam penyuguhan karya sastra. Di antaranya sudut pandang orang pertama, kedua dan ketiga. Sudut pandang orang pertama adalah si aku dan/atau kami dalam cerita. Si aku menceritakan segala hal menurut apa yang dipikirkan dan dialami si aku mengenai dirinya maupun karakter lainnya. Orang kedua adalah kamu dan kalian, sudut pandang ini jarang digunakan karena susah diterapkan. Sudut pandang ketiga adalah narator sebagai orang di luar cerita sehingga sering disebut menggunakan sudut pandang ketiga adalah yang tahu segala yang ada dalam cerita tanpa terlibat dalam alur cerita.

Karakter dalam sastra secara umum dipahami sebagai orang yang direpresentasikan dalam sebuah alur cerita. Tiap karakter memperlihatkan karakteristiknya melalui berbagai sudut pandang di atas. Umumnya secara konvensional karakter dalam cerita adalah manusia, namun seiring ekplorasi kegiatan sastra, karakter tak hanya manusia. Karakter bukan manusia ini mungkin diprasangkakan sebagai karakter makhluk hidup lainnya, seperti binatang atau makhluk gaib dan fantasi. Meski bukan manusia, mereka masih memiliki karakteristik manusia yang berpikir. Namun yang dimaksud di sini sebagai karakter bukan manusia adalah karakter yang merupakan benda mati dan mereka jadi karakter dalam cerita. Ini tentu jadi suatu hal yang terasa tak logis, tapi tentu penulis punya intensitas tersendiri di dalamnya baik itu estetika ataupun tataran nilai.

Fenomena gaya penulisan seperti ini dapat kita lihat pada cerpen Norman Erikson Pasaribu, ‘’Sepasang Sosok yang Menunggu’’ di Kompas Ahad (9/9/2012). Dalam cerpen ini yang jadi karakter adalah sebuah boneka dan sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang pertama dimana cerita dikelola si boneka tersebut. Contoh lain adalah cerpen Ayu Maesa Djenar, ‘’Mandi Sabun Mandi’’, salah satu dari kumpulan cerpen Jangan Main-main (dengan Kelaminmu). Sebenarnya cerpen ini memakai sudut pandang ketiga dimana ada narator yang menjadi pemandu cerita. Tapi, para karakter benda mati yakni cermin dan meja diketahui karakternya melalui dialog-dialog yang diucapkannya bukan melalui pandangan narator sehingga secara tak langsung si karakter juga bertindak dengan sudut pandangnya.

Dalam cerpen Norman Erikson Pasaribu, sepasang boneka adalah karakter dalam bentuk benda mati. Salah satu boneka jadi narator untuk alur yang disuguhkan. Dengan demikian jelas sekali sudut pandang yang dihadirkan adalah melalui boneka ini. Dia (boneka) menceritakan dirinya dan apa yang dialaminya dalam kerangkanya berhubungan dengan Jack, si tokoh protagonis. Boneka bertindak layaknya manusia, dia mengutarakan perasaannya mengenai nasibnya dan pandangannya. Mulanya dia menceritakan keberadaannya di sebuah tempat lembab dan penuh asap di mana botol minuman berjejer pada lemari. Bersama boneka-boneka lain dia berada di tempat itu. Layaknya manusia punya juga satu boneka yang sentral dalam pikirannya. Dia pun berkelakar pada boneka lainnya ‘’Kamu memiliki banyak teman sementara aku sendirian. Teman-temanmu menghilang bersama pengunjung  yang pulang, satu demi satu. Hingga hanya kita berdua yang tersisa’’. Bisa dipahami, boneka ini menyalurkan sudut pandangnya melalui nasib yang dialaminya dimana dia bersama boneka yang satu lagi merupakan sisa-sisa yang tak dilirik di antara boneka lainnya. Secara estetika itu sangat menggugah emosi dimana ini menghadirkan refleksi ke pembaca untuk juga memahami bahwa boneka pun punya rasa kesedihan.

Alur cerita mulai beranjak kala Jack membawa mereka ke rumahnya karena ingin menghadiahi anak perempuannya sepasang boneka saat ulang tahun. Tinggallah kedua boneka itu kembali bersama di tempat yang berbeda. Kehidupan baru pun dijalani sepasang boneka ini bersama Mary, anak Jack. Bersama-sama mereka melalui hari-hari yang unik dimana Mary memperlakukan mereka tanpa kata-kata. Seakan-akan ketiganya saling memahami tanpa perlu bahasa. Suatu waktu tibalah momen yang mengakhiri kebersamaan mereka bertiga. Dalam pandangan si boneka Mary dibawa terbang oleh sesosok berpakaian putih. Artinya Mary telah tak berada di dunia lagi. Itu terlihat dari pandangannya terhadap Jack yang terus menangis. Boneka berceloteh meneriaki Jack, ‘’Cari dia, seseorang telah menculiknya! Namun dia tak hiraukan kita. Jack dan istrinya Jane hanya menangis, entah mengapa dan untuk apa. Apa yang terjadi, Jack? Mengapa kamu menangis? Mengapa hanya menangis?’’. Cara seperti ini tentu mengundang simpati. Kehidupan Jack pun kacau. Ia sering pulang malam dan mabuk-mabukan menurut pandangan boneka itu.

Tiba akhirnya Jack punya ide membuka toko boneka. Kehidupan yang lebih baik kembali datang dimana Jack sudah mulai bergairah. Mereka bersanding dengan boneka-boneka lain dan berharap tak ada yang membawa mereka karena sudah nyaman bersama Jack. Suatu saat pernah seorang gadis ingin membeli salah satu boneka yang adalah boneka perempuan bersepatu. Dengan polosnya boneka satu lagi berharap boneka itu tak dibawa karena tak ingin berpisah dan begitu pula perasaan boneka satunya lagi. Untungnya Jack tak menjualnya karena ia berkata bahwa itu boneka anaknya. Tiap hari mereka menikmati hidup bersama Jack dan Jane. Boneka yang narator berada tepat di depan cermin dan boneka perempuan dalam lemari kaca. Kadang-kadang mereka di bawa makan bersama oleh Jack dan Jane dan juga bercanda tawa serta sering mengucapkan kalimat ‘’aku mencintaimu’’ dimana dalam pandangan boneka narator dia juga jadi sering ingin mengucapkan itu ke boneka perempuan. Seiring waktu, Jane juga telah meninggalkan mereka dan tak beberapa lama kemudian Jack juga. Sebelum pergi akhirnya Jack bicara ke boneka untuk pamit pergi menyusul Mary dan Jane.

Kepolosan boneka inilah yang membuat cerita jadi sangat hidup. Di dalamnya ada kejujuran dan sikap yang dilandasi tanpa niat jahat sekecil apapun. Salah satu yang membuat cerpen ini menarik memang dalam segi estetika dan daya imajinasi pengarang yang pandai merekayasa cerita melalui karakter boneka menjadi sangat menyentuh. Bisa juga dilihat di sini bahwa adanya pergeseran nilai pandangan terhadap manusia. Karena cerita ini secara implisit bisa diinterpretasikan sebagai contoh komparasi antara manusia yang berakal dan benda mati yang tidak. Itu terjadi pada sudut pandang manusia yang cenderung tak dipercayai lagi karena selalu berpandangan dalam kerangka subjektif. Beda dengan benda mati yang berpandangan polos. Dalam kata lain, pemilihan benda mati sebagi karakter adalah implikasi dari ketidakpercayaan lagi terhadap manusia.

Pada cerpen lainnya karya Ayu Maesa Djenar, ‘’Mandi Sabun Mandi’’, karakternya adalah meja dan cermin. Karakter-karekter ini adalah properti dalam suatu kamar motel. Cerpen ini menceritakan adegan hubungan intim yang disaksikan cermin dan meja dan meja dan mereka melakukan dialog di sini. Dialog itu merupakan pembicaraan mereka tentang pasangan yang berhubungan dan sesekali mereka juga taruhan mengenai proses hubungan intim sendiri, ejakulasi dalam atau luar. Meja dan cermin hadir tak berkomunikasi dengan karakter pasangan yang berhubungan. Mereka ternyata bukan pasangan resmi, satu lelaki setengah baya dan satu lagi perempuan Indo muda.

Pemunculan karakter cermin dan meja di sini adalah suatu satir pada kehidupan modern ala urban di kota besar. Ini menggambarkan pola hidup kebohongan dengan direpresetasikan selingkuh. Satire atau sindiran yang ingin dialamatkan adalah untuk mengejek manusia yang merasa mereka bisa bersembunyi dan tampil palsu dalam realitanya. Kecongkakan ini terbantahkan bahwa sebenarnya sepandai apapun kita bersembunyi pasti ada yang melihat kita, dalam cerpen ini direpresentasikan oleh cermin dan meja. Adanya karakter ini juga ingin memperlihatkan bahwa ulah manusia yang telah melampaui batas dalam bermain dengan kesenangan dunia. Ini diperlihatkan di mana meja dan cermin pun juga menggeleng dengan perilaku manusia seakan-akan makhluk yang dikaruniai akal, tapi berlaku seperti binatang yang mementingkan nafsu seperti terlihat dari dialog di bawah ini,

‘’Cermin bukankah itu perempuan yang datang kemarin?’’
‘’Ya. Meja.’’
‘’Tapi ia tak bersama laki-laki yang kemarin.’’
‘’Meja... meja... begitu saja kok heran. Lelaki itu juga sering gonta-ganti pasangan kemari.’’
‘’Wah...wah... jaman modern sekarang ini tak ada yang luar biasa lagi ya cermin. Semuanya menjadi super biasa.’’

***

Bayu Agustari Adha
Tutor Bahasa Inggris di EasySpeak