Sebuah karya seni tak pelak lagi merupakan suatu hal
yang bersifat sangat ekploratif. Beragam fenomenan kehidupan dihadirkan
sehingga menjadi suatu bahan yang sangat menarik untuk digali. Tak terkecuali
pementasan teater grup “Riau Beraksi” yang mementaskan “Bengak” adaptasi dari
“Pakaian dan Kepalsuan” yang merupakan saduran bebas Achiat K. Mihardja dari
cerita sandiwara Rusia “The Man with the Green Necktie” karya Averchenko.
Pementasan ini sendiri disutradari oleh Willy Fwl yang dipentaskan di anjungan
seni Idrus Tintin, Ahad (18/12) malam. Karya ini dengan sangat gamblang
merepresentasikan fenomena hipokrit atau kemunafikan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bahkan bernegara.
Hipokrit secara harfiah merupakan suatu bentuk sikap
dan kondisi berpura-pura, berbohong dan berdusta. Jadi hipokritisasi diri
merupakan sikap mendustai diri sendiri dengan berpura-pura tidak mengetahui
kebenaran yang telah diketahuinya. Sifat ini bisa mengarah pada diri sendiri
ataupun orang lain. Dengan demikian hipokritisasi diri merupakan suatu upaya
pemunafikan diri dalam melihat kebenaran itu sendiri. Hal ini terjadi akibat
adanya kepentingan dan intervensi tertentu dalam rangka pemuasan diri sehingga
mengangkangi kebenaran yang ada.
Munafik merupakan suatu jenis sifat, jadi sangat
sinkron sekali untuk membahas karya ini melalui pendekatan psikologi dengan
mengacu pada terminology Sigmund Freud yang terdiri dari “id, superego, dan
ego”. Id merupakan suatu naluri alamiah yang ada pada diri manusia seperti
hasrat atau nafsu makan ataupun seksual yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
ataupun kesenangan. Pada intinya id ini menuntut pemenuhkebutuhan dan dalam
memenuhinya, id bisa saja menggunakan cara-cara biasa dan juga bisa bersifat
destruktif yang bisa berdampak merugikan diri sendiri dan orang lain. Sedangkan
superego merupakan kawasan pikiran yang bersifat sublime atau mulia. Hal ini
diperoleh dan disimpan dari nilai-nilai yang telah diajarkan ataupun diperoleh
melalui pengalaman berupa sebuah hikmah. Nilai tersebut bisa didapat dari
nasehat atau ajaran kemanusiaan, adat, dan agama. Terakhir, Ego adalah pikiran
yang menyaring dua hal tadi setelah keduanya berkontraksi. Setelah itu Ego
mengambil keputusan mengenai tindakan yang akan diambil. Bisa saja tindakan itu
lebih menuruti superego atau mengacuhkannya.
Dalam pementasan “Bengak” sendiri dapat dilihat
fenomena pertarungan id, superego, dan id. Hal tersebut dapat dilihat dari
karakter Young Sungut, Boy, Ucok yang akhirnya menyerah pada id dan melakukan
hipokritisasi diri. Kemudian juga ada tokoh Sob dan Bro yang membongkar
kemunafikan mereka. Untuk dapat lebih melihat bagaimana terjadinya
hipokritisasi diri, perlu didalami karakter mereka.
Pertama, tokoh Young Sungut merepresentasikan orang
Melayu yang berani membela hak-haknya sebagai warga pribumi. Dalam dialognya
dia menceritakan keberaniannya dalam melawan keswenang-wenangan. Hal ini
terjadi pada masa mudanya dimana dia dihadang oleh sekelompok preman dan dialah
satu-satunya orang yang berani melawan walaupun hanya dengan sebuah ketapel.
Kejadian ini mengindikasikan adanya suatu nilai keberanian dan sifat yang tidak
pengecut dalam melakukan perlawanan kepada pihak-pihak yang melakukan perbuatan
zalim. Perlawanan dilakukannya dalam posisinya sebagai rakyat sehingga dapat
disimpulkan bahwa Young Sungut adalah orang yang pro rakyat dengan melawan
penindasan yang ada.
Dari cerita Young Sungut dapat dilihat jelas bahwa dia
menyerap suatu nilai keberanian dan pembelaan atas kaum lemah. Dengan sendirinya
nilai-nilai ini akan terserap dalam pikirannya dan menempel pada sisi pikiran
superegonya. Oleh karena itu dalam melihat dan menghadapi kondisi apapun nilai
mulia ini tentu akan selalu dibawanya dan mempengaruhi tindakannya yakni nilai
keberanian dan pembelaan atas kaum lemah.
Namun apa yang terjadi ketika Young Sungut telah
menjadi pegawai tinggi?. Dia memberikan dan menawarkan proyek kepada Boy,
seorang pengusaha. Hal ini jelas-jelas menistai kepercayaan rakyat sekaligus
nilai-nilai pembelaan kepada rakyat yang dipegang teguhnya dulu. Seharusnya
sebagai pegawai yang merencanakan program, dia harus melakukan tender terlebih
dahulu dalam memberikan proyek karena dana proyek itu berasal dari uang rakyat.
Tapi kenyataannya dia melakukan penunjukan langsung terhadap perusahaan si Boy.
Tentu saja motif dari pemberian proyek ini adalah untuk mendapatkan “fee” dari
dana yang diberikan. Dapat dibayangkan berapa biaya yang disunat sehingga
tentunya proyek akan asal-asalan karena biaya dikurangi untuk fee dan masyarakat
tidak menikmatinya secara penuh. Disinilah
letak hipokritisasi diri yang dilakukan Young Sungut. Dia dengan sadar
mengangkangi kebenaran dan keadilan yang pernah diperjuangkannya. Hal ini
terjadi karena ketidakmampuannya mengendalikan id dalam rangka upaya pemenuhan nafsunya
akan materi. Intervensi yang bersifat materi inilah yang mengalahkan
nilai-nilai pembelaan yang diketahuinya dimana hal tersebut terekam dalam sisi
pikiran superegonya. Namun akhirnya Ego lebih memilih untuk memuaskan id dan mengabaikan
pengaruh dari superego. Young Sungut disini berhasil memunafikkan dirinya
sendiri demi pemuasan nafsu akan harta.
Tokoh kedua yang melakukan hipokritisasi diri adalah
Boy. Dia merupakan representasi dari kalangan pengusaha. Boy yang berlogat Minang
dengan gegap gempita menceritakan kisahnya melawan aksi pembalakan liar. Dialah
yang memimpin aksi perlawanan kepada bulldozer dan shin saw yang dengan buas
menebang hutan. Aksinya ini mengindasikan keteguhan pendiriannya sebagai
aktivis pembela segala kegiatan pengrusakan. Dengan pengalaman ini tentu saja
Boy menyerap nilai dan ideology pembelaan atas rakyat dan melawan penindasan.
Hal inilah yang tersimpan rapi dalam superegonya.
Akan tetapi ketika dia sudah menjadi pengusaha,
superegonya tak kuat menahan godaan akan kilau gemilau materi. Intervensi
berupa materi ini mengundang id untuk mendapatkannya tanpa peduli bahwa
prakteknya telah mendustai nilai-nilai ideology pembelaan rakyat dengan memakan
uang rakyat. Boy memang sempat mempertanyakan pemberian proyek itu. “Bukankah
ini penunjukan langsung namanya?” Tanya Boy pada Young Sungut. Namun setelah
terus digoda Boy tak kuasa lagi menahan nafsunya. Begitulah pergolakan
psikologi Boy dimana akhirnya id mengalahkan superego sehingga ego mengambil
keputusan untuk menuruti perintah id. Disinilah letak hipokritisasi diri dalam
tokoh Boy. Dia berpura-pura, berbohong dan mendustai kebenaran yang telah
diketahuinya.
Hal yang sama juga terjadi pada tokoh Ucok. Dulunya
dia merupakan aktivis mahasiswa yang selalu berada di garda depan dalam setiap
aksi demonstrasi membela kepentingan rakyat. Dengan keberaniannya dia berani
mempertaruhkan nyawanya demi kebenaran. Nilai-nilai ini melekat erat semasa dia
menjadi aktivis mahasiswa. Nilai-nilai perjuangan membela tanpa henti terhadap
suatu penindasan. Tentunya juga nilai ini kokoh berada pada sisi pikiran
superegonya.
Sekarang dia telah menjadi anggota dewan terhormat.
Ternyata nilai-nilai tersebut ditelanjangi oleh dirinya sendiri. Sebagai wakil
rakyat yang menerima aspirasi seluruh rakyat, dia turut berpartisipasi dalam
memberikan proyek pada Boy yang merupakan kalangan rakyat tertentu saja. Ucok
adalah orang yang turut mensukseskan dan menyetujui permintaan dari Young
Sungut untuk meloloskan proyek ini. Dengan iming-iming persenan dari Young
Sungut akhirnya Ucokpun takluk dan mendustai dirinya sendiriuntuk melakukan
praktik haram tersebut demi mendapatkan materi berupa persenan dari proyek dana
rakyat tersebut. Disinilah letak kekalahan superego Ucok yang terabaikan karena
kuatnya hasrat dari id dalam upaya pemenuhan nafsu. Egopun mengambil keputusan
berpihak pada nafsu walaupun kebenaran itu diketahui oleh Ucok sendiri. Sekali
lagi inilah hipokritisasi diri yang nyata dimana telah banyak orang yang
mempraktekkannya.
Kemudian dalam pementasan ini ada karakter Sob dan Bro
yang merepresentasikan masyarakat. Sob dan Bro adalah pengangguran. Sob
merupakan seorang mantan aktifis yang masih gelisah akan keadaan Negara.
Sedangkan bro adalah masyarakat yang bersifat apatis dan menganggap politik itu
kotor. Konflik terjadi ketika Sob dan Bro mendengarkan pembicaraan ketiga orang
itu di sebuah tempat hiburan yang biasa ditongkronginya. Dengan modal pistol
tanpa peluru milik Bro, mereka berhasil mempermainkan ketiga orang tersebut beserta
seorang wanita istri si Ucok. Dari kejadian itu terlihat bagaimana keberanian 3
orang tersebut tak seperti apa yang diceritakannya. Ketiganya berubah menjadi
pengecut dengan ketakutan yang sangat akut.
Dari pementasan ini dapat dilihat bagaimana pilar-pilar
Negara yang terdiri dari pejabat, anggota dewan, dan pengusaha merupakan
orang-orang yang lebih mementingkan nafsunya dengan mengangkangi kebenaran yang
diketahuinya. Mungkin disini kita punya superhero yakni Sob dan Bro, tapi kita
tidak tahu apakah setelah mereka punya posisi mereka juga meng-hipokritisasi
dirinya?.hal itu bisa saja terjadi ketika intervensi dan godaan itu ada
sehingga id terus berusaha memenuhi hasratnya dan nilai-nilai yang terserap di
superego diabaikan. Hingga akhirnya ego mengambil keputusan untuk memenangkan
id walaupun tahu superego juga memiliki dan memberikan pertimbangan.
Patut kita cermati apa yang terlihat di brosur
pementasan. Di sana tertulis “Suka atau tidak suka kondisi ini ada di sekitar
kita sekarang dan disini…..pertanyaannya adalah apakah kita juga masuk dalam
perangkap setan itu? Jawab sendiri dalam hati…”.
Bayu
Agustari Adha
Penikmat
Seni
No comments:
Post a Comment